DPR RI akhirnya mengesahkan APBN 2016. APBN 2016 bertumpu pada pendapatan pajak dan cukai. Sistem anggaran neoliberal yang anti subsidi dan gemar berutang menjadi tradisi. Alokasi anggaran untuk kepentingan rakyat, khususnya dalam bentuk subsidi, terus dikurangi bahkan bakal dihilangkan sama sekali.
Menurut Salamuddin Daeng, Ketua Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), pemangsa mau melahap APBN melalui berbagai skema ribuan proyek infrastruktur, penyertaan modal ke BUMN, penyertaan modal ke lembaga keuangan international, seperti AIIB dan World Bank, untuk tujuan melipatgandakan utang.
Terkait masalah subsidi, selain mempermainkan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM), rezim Jokowi-JK kembali akan mencabut sumber energi untuk rakyat. Subsidi listrik 450VA dan 900 VA bagi 21 juta keluarga atau sekitar 65 – 80 juta rakyat Indonesia dicabut pada tahun 2016. Ini tentu sebuah kebijakan zalim.
Hegemoni neoliberalisme inilah alasan prinsipil yang dapat menjelaskan mengapa Pemerintah sering mencabut subsidi berbagai barang kebutuhan masyarakat, seperti subsidi BBM dan listrik. Alasan ideologis inilah yang akhirnya melahirkan alasan-alasan lainnya yang bersifat teknis-ekonomis, misalnya alasan bahwa subsidi membebani negara, membuat rakyat tidak mandiri, mematikan persaingan ekonomi, dan sebagainya. Ini semua bukan alasan prinsipil. Alasan prinsipilnya adalah karena Pemerintah tunduk pada hegemoni neoliberalisme.
Dalam pandangan Islam, subsidi diberikan dalam pelayanan publik, sektor energi, dan individu-individu rakyat. Dalam sektor pendidikan, keamanan dan kesehatan, Islam telah mewajibkan Negara untuk menyelenggarakan pelayanan ketiga sektor tersebut secara cuma-cuma bagi rakyat. Karena itu jika pembiayaan negara untuk ketiga sektor tersebut dapat disebut subsidi maka subsidi menyeluruh untuk ketiga sektor itu adalah wajib hukumnya secara syar’i.
BBM dan listrik dalam Islam termasuk barang milik umum (milkiyah ‘ammah). Subsidi dapat juga diberikan agar BBM dan listrik yang didistribusikan harganya semakin murah dan bahkan gratis jika memungkinkan. Kini, umat mulai sadar untuk mengganti sistem kapitalisme yang rusak dengan penerapan syariah dalam bingkai Khilafah Rasyidah. [Umar Syarifudin ; Lajnah Siyasiyah DPD HTI Kota Kediri]