Al-Jurjani di dalam At-Ta’rifât mengatakan, qarînah dalam bahasa adalah dalam wazan fa’îlah dengan makna al-mufâ’ilah diambil dari al-muqârinah (istri). Menurut Rawas Qal’ah Ji di dalam Mu’jam Lughah al-Fuqahâ’, al-qarînah adalah bentuk muannats dari al-qarîn dari qarina, artinya al-mushâhibu (yang menemani/menyertai).
Secara istilah, menurut Rawas Qal’ah Ji al-qarînah adalah apa yang menunjukkan sesuatu yang dimaksudkan yang tidak dinyatakan secara jelas. Menurut al-Jurjani, al-qarînah dalam istilah adalah amrun yusyîru ilâ al-mathlûb (apa saja yang menunjukkan pada apa yang dituntut).
Al-Qarînah yang dibahas di sini adalah al-qarînah untuk mengetahui apa yang dimaksud oleh seruan Asy-Syâri’, yakni dari sisi hukum. Seruan Asy-Syâri’ itu dalam bentuk thalab (tuntutan) untuk mengerjakan, untuk meninggalkan atau pilihan untuk mengerjakan atau tidak. Thalab itu dinyatakan dalam bentuk perintah dan larangan. Hukum asal perintah dan larangan adalah ath-thalab (tuntutan). Al-Qarînah-lah yang menunjukkan maksud dari ath-thalab itu apakah tegas atau tidak tegas, atau berupa pilihan; yakni apakah fardhu, haram, mandûb (sunnah), makruh atau mubah.
Al-Qarînah dalam hal ini, seperti dijelaskan oleh Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah dalam bukunya Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl, adalah semua yang menjelaskan jenis ath-thalab (tuntutan) dan menentukan maknanya jika al-qarînah itu dihimpun atau digabungkan pada ath-thalab itu dan menyertainya.
Untuk menentukan hukum syariah perbuatan manusia maka ditempuh dua hal: Pertama, mencari dan membahas dalil yang menyatakan ath-thalab baik berupa thalab fi’l[in] (tuntutan untuk melaksanakan) atau thalab tark[in] (tuntutan untuk meninggalkan). Kedua, mencari atau membahas al-qarînah yang jika digabungkan pada dalil yang menyatakan ath-thalab tersebut maka al-qarînah itu menjelaskan jenis ath-thalab itu dan menentukan maknanya.
Sesuai dengan jenis ath-thalab, al-qarînah ada tiga jenis yaitu: al-qarînah yang menunjukkan jazm (tegas), al-qarînah yang menunjukkan tidak jazm (tidak tegas) dan al-qarînah yang menunjukkan pilihan.
Al-Qarînah yang Menunjukkan Jazm
Al-Qarînah ini untuk menentukan fardhu dan haram, yakni thalab yang jâzim (tegas) untuk melakukan perbuatan atau thalab[un] jâzim[un] untuk meninggalkan perbuatan. Di antaranya: Pertama, adanya penjelasan berupa perkataan atau perbuatan atas sanksi di dunia atau di akhirat, atau yang maknanya sama. Contohnya adalah QS al-Mudatstsir ayat 42-43; atau sanksi di dunia, misal atas pencurian (QS al-Maidah [5]: 38); atau sanksi di neraka atas orang yang memakan harta anak yatim secara zalim (QS an-Nisa’ [4]: 10).
Kedua, apa yang di dalamnya ada penjelasan berupa perbuatan atau perkataan atas kekontinuan (dawâm) penerapannya, kecuali ada uzur sehingga menjadi rukhshah atau qadha’ atau dimaafkan. Contohnya adalah qadha’ untuk shaum Ramadhan (QS al-Baqarah [2]: 183-184), tentang wudhu dan tayamum (QS al-Maidah [5]: 6); atau qadha shalat dalam sabda Nabi saw.:
مَنْ نَامَ عَنْ صَلاَةٍ أَوْ نَسِيَهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا
Siapa yang tidur dari (melewatkan) shalat atau melupakannya, hendaklah ia menunaikan shalat itu jika ia mengingatnya (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa’i, Ibnu Majah dan Ahmad).
Contoh lain, pemaafan untuk wanita sehingga tidak perlu meng-qadha’ shalat yang ditinggalkan selama haid. Nabi saw. bersabda kepada para wanita, “Tinggalkan shalat pada hari-hari haidhmu.” (HR Ahmad dan ad-Darimi).
Ketiga, apa yang di dalamnya ada penjelasan dalam bentuk perbuatan atau ucapan atas pentingnya berpegang teguh dengannya meski ada kesulitan tanpa berganti kepada yang lain. Contoh keharusan berperang meski dibenci (QS al-Baqarah [2]: 216). Rasul saw. tetap berpegang teguh pada aktivitas thalab an-nushrah meski di dalamnya ada kesulitan besar tanpa beliau beralih kepada yang lain. Al-Qarînah berupa adanya kesulitan (masyaqqah) bisa dipahami dari sabda Nabi saw.:
لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِيْ َلأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْذَ كُلِّ صَلاَةٍ
Andai aku tidak menyulitkan umatku niscaya aku memerintahkan agar mereka bersyiwak ketika setiap shalat (HR al-Bukhari, Muslim, Abu Dawud, an-Nasaiy, Ibnu Majah dan Ahmad).
Konotasi hadis ini di antaranya: andai satu perkara yang di dalamnya ada kesulitan (masyaqqah), namun Nabi saw. tetap memerintahkannya, artinya perkara itu wajib.
Keempat, apa yang di dalamnya ada penjelasan untuk satu perkara yang hukumnya wajib, atau topiknya fardhu, atau penunjukkannya adalah penjagaan untuk Islam. Contoh: wajib adanya jamaah (QS Ali Imran [3]: 104).
Kelima, apa yang di dalamnya ada penjelasan untuk penerapan perkara atas pilihan di antara sejumlah hukum yang dibatasi pada pilihan itu saja. Contoh, wajibnya membalas salam dengan serupa atau yang lebih baik (QS an-Nisa’ [4]: 86), atau kafarah melanggar sumpah (QS al-Maidah [5]: 89).
Keenam, apa yang di dalamnya ada penjelasan pengulangan perbuatan yang andai itu bukan wajib niscaya terlarang. Contoh, rukuk tambahan pada shalat khusyuf.
Ketujuh, lafal yang menunjukan kefardhuan atau wajib atau haram pada nash yang sama. Cotohnya, lafal farîdhatan min Allâh (QS an-Nisa’ [4]: 11) menunjukkan wajibnya pembagian waris sesuai syariah; atau lafal haram (QS an-Nisa’ [4]: 23); atau lafal lâ yahillu.
Kedelapan, penyifatan satu perbuatan dengan sifat sesuai yang dipahami untuk larangan yang tegas, misalnya dengan adanya kemurkaan Allah SWT; atau adanya celaan keras, misal dengan lafal fâhisyah atau min ‘amali asy-syaythân; atau penafian keimanan atau penafian Islam, dsb.
Kesembilan, jika thalab dikaitkan dengan iman atau yang posisinya sama dengan iman, misalnya diikutkan pada lafal “man kâna yarjûllâh wa al-yawm al-âkhir….”
Kesepuluh, thalab tersebut dikaitkan dengan larangan atas hal yang mubah, misalnya perintah shalat Jumat yang dikaitkan dengan pelarangan jual-beli ketika terdengar azan Jumat.
Kesebelas, perintah melakukan hal sunnah atau sedekah setelah melakukan perkara pokok masalah itu, misalnya perintah memberi tenggat debitur yang mu’sir lalu setelah perintah itu dilanjutkan perintahkan bersedekah (QS al-Baqarah [2]: 280).
Keduabelas, apa yang termasuk dalam cakupan kaidah: Mâ lâ yatimmu al-wâjib illâ bihi fahuwa wâjib[un] (Satu kewajiban tidak sempurna kecuali dengan sesuatu maka sesuatu itu hukumnya wajib).
Al-Qarînah yang Menunjukkan Thalab Tidak Jâzim
Itulah al-qarînah yang mengharuskan penentuan mandûb dan makruh, yakni thalab yang tidak jâzim untuk melakukan perbuatan atau meninggalkan perbuatan. Di antara al-qarînah ini adalah: Pertama, thalab fi’l[in] atau thalab tark[in] yang menunjukkan tarjîh dan bebas dari al-qarînah yang menunjukkan jâzim. Contoh yang mandûb adalah sabda Nabi saw.:
تَبَسُّمُكَ فِيْ وَجْهِ أَخِيْكَ صَدَقَةٌ
Senyummu kepada saudaramu adalah (laksana) sedekah (HR at-Tirmidzi).
Contoh makruh, misalnya, hadis:
نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَنْ كَسْبِ الْحَجَّامِ
Rasulullah saw. telah melarang penghasilan (profesi) tukang bekam (HR at-Tirmidzi, Abu Ya’la).
Kedua, bertemunya thalab tarkin dengan persetujuan atau diamnya Nabi saw. dari perbuatan itu. Contohnya: larangan berobat dengan sesuatu yang haram atau najis, sementara Nabi saw. membiarkan orang-orang ‘Urainah yang datang ke Madinah lalu sakit untuk meminum air kencing unta untuk berobat, padahal air kencing unta itu najis.
Ketiga, apa yang di dalamnya ada aspek taqarrub kepada Allah SWT dan bebas dari al-qarînah yang menunjukkan thalab jâzim. Contohnya, sabda Nabi saw.:
إِنَّ السَّلَفَ يَجْرِى مَجْرَى شَطْرِ الصَّدَقَةِ
Sesungguhnya pinjaman (utang) itu berjalan seperti setengah sedekah (HR Ahmad).
Doa itu adalah ibadah (HR ath-Thabarani).
إِنَّ الدُّعَاءَ هُوَ اَلْعِبَادَةُ
Al-Qarînah yang Menunjukkan Kesetaraan Antara Thalab Fi’l[in] dan Thalab Tark[in]
Al-Qarînah ini menunjukkan kemubahan. Di antaranya adalah: Pertama, apa yang di dalamnya ada penjelasan bahwa Rasul saw. kadang melakukan dan kadang yang lain meninggalkannya. Misalnya, riwayat ath-Thabarani yang menyatakan bahwa jenazah melewati Ibnu Abbas dan al-Hasan bin Ali. Lalu salah satu dari keduanya berdiri dan yang lain tetap duduk. Yang berdiri berkata kepada yang duduk, “Bukankah Rasulullah saw. berdiri?” Yang duduk menjawab, “Benar dan beliau juga duduk.” Jadi duduk atau berdiri saat jenazah lewat adalah mubah.
Kedua, apa yang di dalamnya ada pemaafan dari perbuatan dalam pensyariatan bersifat umum, yakni tanpa adanya uzur.
Ketiga, apa yang termasuk perbuatan jibiliyah (perbuatan umumnya manusia) berkaitan dengan karakteristik tubuh dan apa yang diciptakan Allah SWT untuk manusia, dan tidak ada dalil yang mengkhususkan atau membatasinya.
Keempat: Setiap perbuatan haram karena sebab kemudian kembali dihalalkan setelah sebabnya hilang. Penghalalan itu maknanya adalah mubah. Contoh, larangan jual beli saat terdengar azan Jumat, lalu dihalalkan setelah selesai shalat Jumat ditunaikan.
Adapun jika larangannya karena adanya al-mâni’ (penghalang) kemudian kembali dihalalkan karena hilangnya penghalang itu maka penghalalan itu artinya kembali ke hukumnya semula sebelum terjadi penghalang, baik sebelumnya fardhu, mandub atau mubah. Contohnya, menyentuh mushaf adalah mubah untuk orang yang suci. Jika ada penghalang, misalnya, junub, maka haram meyentuh mushaf. Jika penghalangnya (junub) hilang maka kembali ke hukum semula, yaakni mubah menyentuh mushaf untuk orang yang suci. Shalat haram untuk orang yang sedang junub. Jika tidak junub lagi maka kembali ke hukum awalnya; jika shalat fardhu maka fardhu, jika shalat sunnah maka sunnah.
WalLâh a’lam bi ash-shawwâb. [Yoyok Rudianto]