Bagaimana kondisi kita? “Saya prihatin,” ujar Pak Tyasno Sudarto.
Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat 1999-2000 ini menegaskan, “Berdasarkan berbagai informasi, daerah di dunia yang dijadikan sebagai rebutan saat ini adalah Timur Tengah. Kawasan yang diperebutkan ini akan bergeser ke Indonesia.”
Beliau menambahkan, “Hal ini karena Indonesia sangat strategis. Sumberdaya alamnya melimpah. Negerinya berupa kepulauan.”
Saat ini memang Indonesia tengah dikuasai oleh Barat pimpinan AS. Pangkalan militer AS ada di Darwin, Australia, sebelah selatan Indonesia. Bahkan pihak Australia jauh hari sebelum terjadi peledakan di Thamrin mengumumkan akan terjadi peledakan di Indonesia. Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi, saat itu sampai heran mendengar ungkapan tersebut. Kini, dari Utara ada ancaman Cina. Tidak heran, mantan Pangdam IV/Diponegoro ini mengungkapkan kegalauannya, “Bila terjadi, hal ini merugikan kita dan bangsa kita.”
Tahun lalu, Cina sengaja melakukan manuver agresif di Laut Cina Selatan. Tidak tanggung-tanggung, tiga kapal perang ditempatkan Cina di Atol Laut James Shoal, Malaysia. Salah satunya adalah Kapal Induk Liaoning. Kapal ini mampu mengangkut belasan jet tempur J-15. Manuver geopolitik Cina berpotensi mencaplok sebagian wilayah Kabupaten Natuna, Provinsi Kepulauan Riau. Itu dalam konteks geopolitik. Geopolitik terancam asing.
Lalu bagaimana terkait ekonomi saat ini? Pemerintah menggandeng Cina dalam pembangunan 24 pelabuhan, 15 bandara, pembangunan jalan sepanjang 1.000 km, pembangunan jalan kereta api sepanjang 8.700 km, serta pembangunan pembangkit listrik berkapasitas 35.000 megawatt (MW). China juga dilibatkan dalam pembangunan jalur kereta supercepat Jakarta-Bandung dan Jakarta-Surabaya. Ringkas kata, proyek infrastruktur disapu bersih Cina. Tak heran, Mantan Menteri Hukum dan HAM, Yusril Ihza Mahendra mengungkapkan kekhawatirannya, “Itu menjadi kekhawatiran sangat serius bagi kita. Sebab, membangun kerjasama ekonomi dengan pemerintahan Cina tidak pernah lepas dengan persoalan-persoalan politik juga.”
Mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden, Ryaas Rasyid mengatakan, “Berkaitan kereta cepat. Kan tidak sesuai Amdal. Namun, dalam tempo 3 hari, Menteri langsung mengatakan bahwa sesuai dengan Amdal. Bagaimana ini? Padahal, dana yang terlibat Rp78 triliun.”
Jelas, dalam ekonomi, negeri Muslim terbesar ini sedang dicengkeram oleh asing.
Pada sisi lain, dalam aspek sosial perilaku LGBT (lesbi, gay, biseks, dan transgender) terus disuarakan. Para pejabat yang menentang LGBT langsung diperkarakan. Mengapa mereka begitu berani menyuarakan kemungkaran dengan lantang? Ternyata, memang hal ini di Asia (termasuk Indonesia) sudah merupakan program dari lembaga UNDP Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Dalam situs resmi UNDP disebutkan, “Being LGBTI in Asia is a regional programme aimed at reducing inequality and marginalization on the basis of sexual orientation and gender identity (SOGI). The programme is a collaboration with civil society, and engages national and regional institutions to advance protective laws and policies, and empower civil society. It supports policy and operational research, and strategy development among vulnerable groups and a range of key stakeholders at national and regional level.”
Dana sebesar US$ 8 juta (setara dengan Rp 108 miliar; 1$ = Rp13.500) pun dikucurkan dengan fokus ke empat negara: Indonesia, China, Filipina dan Thailand. Para tokoh pun menentang hal ini. Yunahar Ilyas mengatakan salah satu kewaspadaan masuknya dana asing untuk promosi LGBT adalah untuk mengubah pandangan masyarakat. “Selama ini masyarakat Indonesia menganggap perilaku LGBT tidak normal dan termasuk menyimpang. Promosi itu ditakutkan akan berusaha merubah pandangan masyarakat menjadi normal melihat perilaku LGBT. Masyarakat melihat itu sebagai gaya hidup,” tegas Ketua PP Muhammadiyah ini.
Pihak asing telah dengan sengaja berupaya menghancurkan tata keluarga kaum Muslim.
Tak berhenti di situ. Ketika ledakan terjadi di Thamrin, Jakarta, tuduhan Pemerintah langsung tertuju bahwa pelakunya adalah teroris. Muslim. ISIS! Berbasis kejadian ini, revisi UU Antiterorisme bergulir kembali. Bahkan hal ini dibawa ke tingkat nasional. Dalam Konferensi AS-Asean, 15-17 Februari 2016, Presiden Jokowi dijadwalkan memimpin sesi pembahasan mengenai terorisme. Dalam acara itu, Presiden Jokowi mengatakan, “Serangan di Jakarta mengingatkan pentingnya kerjasama dalam tiga hal, yakni mempromosikan toleransi, memberantas terorisme dan ekstremisme, serta mengatasi akar masalah dan menciptakan suasana kondusif terhadap terorisme.”
“Oleh karena itu, kita harus bekerjasama dengan media sosial dalam menyebarkan perdamaian dan toleransi sebagai counter narasi,” kata Presiden.
Ada sebuah pertanyaan, apa latar belakang Jokowi diminta memimpin sesi pembahasan terorisme? Sebab, Indonesia merupakan negeri Muslim yang dianggap berhasil menangami terorisme. Persoalannya, mengapa OPM tidak disebut teroris, padahal jelas-jelas meneror bahkan menembaki polisi dan tentara? Mengapa pelaku peledakan di Mall Alam Sutera Tangerang tidak disebut teroris? Apakah karena bukan Muslim? Mengapa AS yang setiap hari membombardir umat Islam di berbagai negeri Muslim tidak disebut teroris? Terlihat bahwa cara pandang tentang hal ini pun telah mengikuti asing.
Berdasarkan beberapa realitas di atas, tampak Indonesia tengah dicengkeram asing dalam banyak bidang. China menambah cengkeraman setelah sebelumnya terdapat cengkeraman AS. Asing diberi jalan untuk menguasai umat Islam. Padahal di dalam al-Quran disebutkan (yang artinya), “Allah tidak akan memberi jalan kepada orang kafir untuk mengalahkan/menguasai kaum Mukmin.” (TQS an-Nisa’ [4]: 14).
Imam Ibnu Katsir dalam memahami ayat itu mengutip pernyataan Sayidina ‘Ali kw., bahwa hal itu terjadi di akhirat. Namun, ahli tafsir ternama ini pun menyatakan bahwa hal tersebut mengandung makna di dunia ini. Orang kafir tidak akan menguasai kaum Muslim secara keseluruhan sekalipun mungkin saja terjadi di sebagian wilayah. Selain itu, ‘Allah tidak akan memberi jalan’ juga bermakna: haram orang Mukmin memberikan jalan bagi kaum kafir untuk menguasai mereka.
Kalau dulu kakek saya pernah cerita ada semangat heroik, “Inggris kita linggis, Belanda kita setrika,” kini kita perlu semangat baru untuk menghentikan cengkeraman asing dalam wujud neoliberalisme dan neoimperialisme. [Muhammad Rahmat Kurnia; DPP Hizbut Tahrir Indonesia]