HTI

Telaah Kitab (Al Waie)

Departemen Luar Negeri Negara Khilafah

Islam adalah agama untuk seluruh umat manusia dan Rasulullah saw. diutus untuk seluruh alam (QS al-Anbiya’ [21]: 107). Dengan demikian, Khilafah adalah negara yang mengemban misi untuk mewujudkan Islam rahmat[an] lil ‘âlamîn. Demi mewujudkan misi tersebut, Khilafah wajib menerapkan Islam dalam semua urusan baik di dalam maupun di luar negeri.

Jika untuk kepentingan penanganan urusan dalam negeri, Khilafah membentuk Departemen Keamanan Dalam Negeri (Dâa’irah al-Amni ad-Dâkhili), maka untuk kepentingan penanganan urusan luar negeri, Khilafah juga membentuk departemen yang bertanggung jawab atas semua urusan luar negeri.

Telaah Kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam: Pasal 73, yang berbunyi: “Departemen Luar Negeri menangani seluruh urusan luar negeri yang berkaitan dengan hubungan negara Khilafah dengan negara-negara asing baik dalam aspek politik, ekonomi, perindustrian, pertanian, perdagangan, pertelekomunikasian pos, telekomunikasi dengan kabel maupun nirkabel, dan sebagainya.” (Hizbut Tahrir, Masyrû’ Dustûr Dawlah al-Khilâfah, hlm. 20).

Departemen Luar Negeri dan Tugasnya

Untuk menangani seluruh urusan luar negeri yang berkaitan dengan hubungan Khilafah dengan negara-negara asing, Khilafah membentuk Departemen Luar Negeri (Dâ’irah al-Khârijiyah). Departemen inilah yang bertugas dan bertanggung jawab mengurusi seluruh urusan luar negeri Khilafah dengan negara-negara asing, apapun jenis perkara dan bentuk hubungan luar negeri itu; baik perkara yang berkaitan dengan aspek politik dan turunannya—seperti perjanjian, kesepakatan damai, gencatan senjata, pelaksanaan berbagai perundingan, tukarmenukar duta, pengiriman berbagai utusan dan delegasi, serta pendirian berbagai kedutaan dan konsulat—ataupun perkara yang berkaitan dengan aspek ekonomi, pertanian, perdagangan, pertelekomunikasian pos, telekomunikasi dengan kabel maupun nirkabel, dan sebagainya. Semua perkara tersebut diurusi oleh Departemen Luar Negeri karena semua itu menjadi kepentingan bagi hubungan Khilafah dengan negara-negara lain (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 230; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 101, Zallum, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 144).

Pada masa Rasulullah saw., beliau banyak melakukan hubungan luar negeri dengan banyak negara dan institusi lainnya. Berikut beberapa contoh aktivitas hubungan luar negeri yang pernah beliau dilakukan:

  1. Mengadakan perjanjian.

Contohnya adalah Perjanjian Hudaibiyah. Perjanjian Hudaibiyah ini dari sisi hubungan luar negeri dan strategi politik, memiliki peranan sangat penting, bahkan tidak kalah pentingnya dari Perang Badar Kubra. Dalam hal ini, Al-Hafidz Ibnu Abdil Bar rahimahulLâh berkata:

لَيْسَ فِى غَزَوَاتِ الرَّسُولِ صَلَّى عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ مَا يَعْدِلُ بَدْرًا أَو يَقْرُبُ مِنْهَا إِلاَّ غَزْوَةُ الحُدَيْبِيَةِ

Tidak ada peperangan-peperangan yang dilakukan oleh Rasulullah saw. yang sebanding dengan Perang Badar, atau yang mendekatinya, kecuali Perang Hudaibiyah.” (As-Safaraini, Syarakh Tsulâatsiyât Musnad al-Imâm Ahmad, 1/278).

Hingga saat ini pun kita terus membaca pengakuan al-Quran terhadap Perjanjian Hudaibiyah sebagai sebuah kemenangan yang nyata (Lihat: QS al-Fath [48] : 1).

Mengapa Perjanjian Hudaibiyah dianggap sebagai kemenangan yang nyata? Sebab, Perjanjian Hudaibiyah ini telah mengantarkan Rasulullah saw. pada opini umum yang mendukung dakwah Islam di kalangan seluruh bangsa Arab pada umumnya, di Makkah, dan dengan kaum Quraisy pada khususnya. Hal itu menyebabkan semakin kuatnya kewibawaan kaum Muslim, sekaligus melemahkan kewibawaan kaum Quraisy (An-Nabhani, Ad-Dawlah al-Islâmiyah, hlm. 94).

Dari aspek hubungan luar negeri, Perjanjian Hudaibiyah ini telah mengeluarkan Negara Islam dari lingkaran blokade politik regional dan internasional. Lewat perjanjian ini Negara Islam juga mendapatkan pengakuan dari negara-negara besar di kawasan yang pada saat itu, yang merupakan negara-negara yang paling memusuhi Negara Islam (Al-Faituri, Shulhu al-Hudaybiyyah wa Ab’âduhu as-Siyâsiah al-Mu’âshirah, hlm. 16).

  1. Melakukan diplomasi.

Di antara diplomasi yang dilakukan Rasulullah saw. terkait aktivitas hubungan luar negeri adalah mengirim para duta ke negara-negara dan insititusi-institusi lainnya. Langkah diplomasi Rasulullah saw. ini tiada duanya dalam catatan sejarah. Hal ini menjadi bukti baru yang mencerminkan luapan keberanian dan kekuatan iman beliau terhadap risalah yang beliau emban. Meski pada waktu itu Islam belum merupakan kekuatan yang diperhitungkan, Rasulullah saw. mengirim para duta dengan membawa surat untuk Kaisar dan Kisra. Surat itu berisi seruan kepada mereka agar mengikuti dakwahnya sebab Rasulullah saw. diutus untuk seluruh umat manusia sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan (QS Saba’ [34]: 28).

Karena itu, menjadi keharusan bagi Rasulullah saw setelah berhasil menciptakan stabilitas dalam negeri dan penguatan dakwah, untuk memulai diplomasi, yaitu melakukan hubungan luar negeri dengan menyampaikan dakwah beliau melalui para duta.

Yang dimaksud dengan hubungan luar negeri dalam kaitannya dengan Rasululllah saw. adalah hubungan dengan berbagai pihak kafir di luar teritorial pemerintahannya. Ketika kekuasaan Rasulullah saw. masih seputar Madinah, hubungan beliau dengan kafir Quraisy dan orang-orang di luar Madinah dianggap sebagai hubungan luar negeri. Ketika kekuasaan Rasulullah saw. meliputi seluruh Hijaz, hubungan beliau dengan pihak-pihak yang ada di luar Hijaz dianggap hubungan luar negeri. Ketika kekuasaannya sudah mencakup seluruh Jazirah Arab, maka hubungan beliau dengan pihak-pihak yang ada di luar jazirah, seperti bangsa Persia dan Romawi, juga dianggap hubungan luar negeri (An-Nabhani, Ad-Dawlah al-Islâmiyah, hlm. 96).

Setelah menandatangani Perjanjian Hudaibiyah dan menyelesaikan masalah Khaibar, kekuasaan Rasulullah saw. berhasil meliputi hampir seluruh Hijaz. Sejak itu mulailah Rasulullah saw. mengirimkan sejumlah duta ke luar negeri. Beliau tidak melakukan pengiriman para duta tersebut, kecuali setelah kondisi politik dalam negeri telah aman dan stabil. Pada bulan Dzul Hijjah tahun VI Hijriyah (April tahun 628 Masehi) Rasulullah saw. mengirim para duta untuk membawa surat yang berisi ajakan untuk masuk Islam kepada para raja dan penguasa ajam (non-Arab) dan Arab, seperti Hiraklius, Kisra, Muqauqis, al-Harits al-Ghassani Raja Hirah, al-Harits al-Himyari Raja Yaman, Raja Najasyi di Habasyah, Kerajaan ‘Amman, Kerajaan Yamamah dan Raja Bahrain. Untuk legalitas suratnya, beliau membuat stempel yang terbuat dari perak dengan ukiran, “Muhammad Rasulullah”.

Mereka adalah para raja dan penguasa yang mengontrol Jazirah Arab ketika itu. Namun, yang terpenting dari mereka adalah Kaisar Romawi dan Raja Persia, sebab pada dua kekuasaan ini dunia lama bermuara. Kekuasaan Romawi terbentang sampai di Syam, hingga wilayah selatan dan utara Hijaz. Adapun kekuasaan Persia terbentang hingga timur lalut Jazirah. Romawi adalah pemimpin umat Kristen (Nasrani), sedangkan Persia merupakan pemimpin kaum paganis (An-Nabhani, Ad-Dawlah al-Islâmiyah, hlm. 97; Annan, Mawâqif Hâsimah fî Târîkh al-Islâm, hlm. 203).

Surat beliau kepada Heraklius, Kaisar Negara Romawi Timur dibawa oleh Dahyah bin Khalifah al-Kalabi. Berikut ini isi surat beliau, seperti yang terdapat dalam kitab Sîrah dan hadis sahih:

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Dari Muhammad, hamba Allah dan Rasul-Nya, kepada Heraklius, Raja Romawi. Keselamatan bagi orang yang mengikuti petunjuk. Amma ba‘du.

Sesungguhnya aku menyeru Anda kepada Islam. Masuklah Islam, maka Anda akan selamat, dan Allah akan memberi Anda pahala dua kali. Jika Anda berpaling maka Anda harus menanggung dosa para penganut Arianisme.

Wahai Ahlul Kitab, marilah kita menuju pada satu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan di antara kami dan kalian, bahwa kita tidak menyembah kepada selain Allah dan kita tidak mempersekutukan Dia dengan sesuatu pun; tidak pula sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan-tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka, Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah). (Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 68; Annan, Mawâqif Hâsimah fî Târîkh al-Islâm, hlm. 204).

Terkait dengan aktivitas diplomasi ini, Rasululah saw. pernah mengutus Utsman bin Affan untuk bernegosiasi dengan kaum Quraisy, sebagaimana beliau juga pernah bernegosiasi secara langsung dengan delegasi kaum Quraisy. Rasulullah saw. tidak hanya mengirim sejumlah duta dan utusan kepada para raja, namun juga menerima para duta dan utusan dari para raja dan pemimpin. Beliau juga pernah menjalin berbagai kesepakatan dan perjanjian damai. Demikian pula para khalifah sesudah beliau. Para Khalifah senantiasa melangsungkan hubungan politik dengan negara-negara dan institusi-institusi lain. Mereka juga mengangkat orang yang mengurusi masalah tersebut. Dasarnya adalah bahwa apa yang bisa dilakukan sendiri oleh seseorang boleh mewakilkan pelaksanaannya kepada orang lain, dan boleh juga ia diwakili oleh orang yang telah ia angkat untuk melaksanakan urusan tersebut (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 234; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 105).

Kedudukan Departemen Luar Negeri

Kedudukan Departemen Luar Negeri sama seperti struktur-struktur negara yang lain. Karena begitu kompleksnya kehidupan politik internasional, juga karena semakin luas dan beragamnya hubungan politik internasional, maka dalam hal ini Hizbut Tahrir mengadopsi bahwa Khalifah harus mengangkat struktur tersendiri untuk mengurusi hubungan luar negeri, yaitu Departemen Luar Negeri (Dâ’irah al-Khârijiyah). Selanjutnya, Khalifah yang mengontrol Departemen Luar Negeri ini, sebagaimana Khalifah juga mengontrol struktur-struktur negara yang lainnya, baik struktur pemerintahan maupun administratif; baik Khalifah yang mengontrolnya sendiri, atau melalui Wazîr Tanfîdz, sesuai dengan ketentuan hukum syariah yang berhubungan dengan masalah itu (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 234; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 105).

WalLâhu a’lam bish-shawâb. [Muhammad Bajuri]

Daftar Bacaan

Annan, Muhammad Abdullah, Mawâqif Hâsimah fî Târîkh al-Islâm, (Husein Annan), Cetakan V, 1997.

Al-Faituri, Dr. Abdul Hakim al-Shadiq, Shulhu al-Hudaybiyyah wa Ab’âduhu as-Siyâsiyah al-Mu’âshirah, (Kairo: Darul Madani), Cetakan III, 2005.

Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fî al-Hukm wa al-Idârah, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan I, 2005.

Hizbut Tahrir, Masyrû’ Dustûr Dawlah al-Khilâfah, edisi Mu’tamadah, (versi terbaru tanggal 03/06/2014), http://www.hizb-ut-tahrir.info/info/index.php/contents/entry_28722.

Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.

An-Nabhani, Taqiyuddin, ad-Daulah al-Islâmiyah, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan VII, 2002.

Zallum, Asy-Syaikh Abdul Qadim, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan VI, 2002.

As-Safaraini, al-‘Allamah asy-Syaikh Muhammad al-Hambali, Syarakh Tsulâtsiyât Musnad al-Imâm Ahmad, (Beirut: Al-Maktab Al-Islami), tanpa tahun.

 

 

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*