HTI

Siyasah & Dakwah (Al Waie)

Kaidah “adh-Dharûrât tubîhu al-mahzhûrât”

Kaidah ‘Adh-Darûrah Tubîhu al-Mahzhûrât’ (Keadaan Darurat Membolehkan Hal-hal Terlarang) banyak digunakan dalam banyak masalah. Kaidah ini sering dijadikan justifikasi untuk membolehkan sesuatu yang dilarang dengan alasan dararat. Karena itu kaidah ini penting untuk dibahas dan didudukkan menurut syariah.

Untuk membahas kaidah itu, Redaksi menukil silsilah jawaban Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah, Amir Hizbut Tahrir, atas pertanyaan di akun Facebook beliau “Fiqhiy[un]” tertanggal 16 Rabiuts Tsani 1437 H – 26 Januari 2016 M. Jawaban ini terkait atas pertanyaan yang disampaikan oleh Abu al-Qasim Nashar. Berikut lengkapnya:

Pertanyaan:

Syaikh yang saya cintai, as-salâmu ‘alaykum wa rahmatulLâh wa barakâtuh.

Saya ingin bertanya kepada Anda tentang kaidah syar’iyyah yang menyatakan, Adh-Dharûrât tubîhu al-mahzhûrât. Apa maksud syar’i dari kata adh-dharûrât? Saya akan sebutkan dua kondisi untuk menjelaskan maksud saya: Pertama, terkait fatwa Syaikh Yusuf al-Qaradhawi tentang kebolehan menanggalkan jilbab di sekolah-sekolah asing dengan maksud untuk belajar. Beliau menilai hal itu termasuk adh-dharûrât.

Kedua, kelahiran wanita dibantu oleh dokter laki-laki. Jika kita mengatakan bahwa adh-dharûrât hanya berarti sampainya kematian dan kebinasaan, lalu bagaimana jika dokter laki-laki menyingkap aurat wanita hamil dan melakukan proses kelahiran mereka pada beberapa kondisi, dan ini bisa termasuk tuntutan adh-dharûrât karena tidak adanya wanita, misalnya?

Kami mendapati bahwa adh-dharûrât, jika kita katakan itu adalah kematian, tidak terjadi pada dua kondisi tersebut; baik dalam pengajaran (ta’lîm) maupun kelahiran.

Semoga Allah SWT melimpahkan berkah kepada Anda dan memberi balasan Anda berupa surga.

Jawab:

Wa’alaykum as-salam wa rahmatulLâh wa barakâtuh.

Sebagian ulama memang mengambil kaidah adh-dharûrât tubîhu al-mahzhûrât (keadaan darurat membolehkan hal-hal yang terlaranng [haram]). Mereka yang menyatakan kaedah ini berdalil dengan dalil-dalil semisal firman Allah SWT:

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلاَ إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Namun, siapa saja dalam keadaan terpaksa (memakan itu), sementara dia tidak menginginkan itu dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa bagi dia. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS al-Baqarah [2]: 173).

فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ غَيْرَ مُتَجَانِفٍ ِلإِثْمٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Siapa saja yang terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS al-Maidah [5]: 3).

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atas kalian (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah. Namun, barangsiapa yang terpaksa memakan itu dengan tidak melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS an-Nahl [16]: 115).

Orang yang meneliti kaidah ini menjadi jelas bagi dia bahwa kaidah ini tidak benar. Dalil-dalil yang digunakan oleh mereka yang mengatakan kaidah ini tidak menunjukkan pada pendapat mereka. Akan tetapi, paling jauh yang ditunjukkan oleh dalil-dalil itu adalah kebolehan pada saat keterpaksaan untuk memakan bangkai dan semisalnya disebabkan kelaparan.

فَمَنِ اضْطُرَّ فِي مَخْمَصَةٍ …

Siapa saja yang terpaksa karena kelaparan… (QS al-Maidah [5]: 3)

Al-Makhmashah adalah kelaparan, sementara kelaparan itu dekat dengan kebinasaan. Pada kondisi demikian boleh bagi seseorang memakan yang haram. Keterpaksaan seperti yang jelas dalam ayat tersebut dibatasi dengan kelaparan dan tidak lebih dari itu. Lafalnya bukan bersifat umum atau mutlak hingga madlûl-(makna)-nya bisa menjangkau lebih dari itu. Akan tetapi, lafalnya muqayyad (dibatasi) dengan kelaparan.

Di dalam beberapa syarh (penjelasan) atas pasal ini, menurut mereka yang mengatakan kaidah ini, mereka menjadikan kondisi demikian sebagai rukhshah. Masalahnya, rukhshah itu memerlukan nash, bukan ditetapkan oleh akal tanpa nash. Misalnya, al-fithru (berbuka) pada Ramadhan selama safar atau ketika sakit merupakan rukhshah. Hal itu karena adanya nash, seperti firman Allah SWT:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ * أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَر

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa, sebagaimana puasa itu diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa, (yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Siapa saja di antara kalian ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah atas dia berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain (TQS al-Baqarah [2]: 183-184).

Begitulah, setiap rukhshah ada karena adanya nash.

Atas dasar itu, kaidah ini tidak benar karena menjalankan kaidah ini berdasarkan keumuman seperti yang dinyatakan oleh mereka yang mengatakan kaidah ini. Yang benar—yang ditunjukkan oleh dalil-dalil yang dijadikan sandaran mereka yang mengatakan kaidah ini—adalah bahwa rukhshah diberikan kepada seorang Muslim untuk memakan atau meminum apa yang diharamkan oleh Allah SWT berupa makanan yang haram pada kondisi keterpaksaan, tidak selain itu. Rukhshah pada saat darurat pada kondisi-kondisi lain memerlukan dalil-dalil lainnya.

Penting disebutkan bahwa kaidah ini pada masa kita ini menjadi tunggangan untuk menghalalkan semua yang diharamkan dengan menjadikan kata adh-dharûrât sebagai kata yang longgar. Di bawah kata ini masuk banyak perkara sesuai penafsiran mereka yang jadi pandangan mereka. Bahkan banyak orang terjatuh pada yang haram atas nama adh-dharûrah!

Adapun contoh yang disebutkan dalam pertanyaan di atas, yakni mereka membolehkan (membukan jilbab dan dokter laki-laki menyingkap aurat wanita dalam proses persalinan, red.) dengan alasan kaidah adh-dharûrât tubîhu al-mahzhûrât, maka itu tidak boleh. Seorang wanita Muslimah yang sudah baligh secara syar’i dibebani untuk mengenakan kerudung (dan jilbab, red.). Ia tidak boleh menanggalkan kerudungnya dengan alasan sekolah di sekolah asing. Akan tetapi, jika ia ingin sekolah dan tidak mudah bagi dia sekolah di asing, maka ia harus mencari sekolah lain yang membolehkan dirinya mengenakan kerudung dan jilbab, atau bersandar pada wasilah lain untuk bersekolah; atau berhijrah dengan mahram-nya ke negeri yang mudah bagi dia bersekolah tanpa menanggalkan kerudungnya. Sebab, tidak ada dalil-dalil yang membolehkan wanita baligh menanggalkan kerudung (dan jilbabnya) agar bisa sekolah dan belajar.

Adapun dokter mnelihat aurat wanita untuk mengobati dia, maka itu juga tidak berada di bawah kaidah adh-dharûrât tubîhu al-mahzhûrât. Akan tetapi, hal itu ditunjukkan oleh dalil-dalil tentang kebolehan berobat. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi di dalam Sunan-nya dari Usamah bin Syuraik, misalnya, dinyatakan: Oang-orang Arab berkata, “Ya Rasulullah, tidakkah kita berobat?” Beliau menjawab:

نَعَمْ، يَا عِبَادَ اللَّهِ تَدَاوَوْا، فَإِنَّ اللَّهَ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلاَّ وَضَعَ لَهُ شِفَاءً، أَوْ قَالَ: دَوَاءً إِلاَّ دَاءً وَاحِدًا» قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، وَمَا هُوَ؟ قَالَ: الهَرَمُ

“Benar, wahai hamba-hamba Allah, berobatlah kalian. Sesungguhnya Allah tidak meletakkan penyakit kecuali juga meletakkan obat untuk penyakit itu.” Atau beliau bersabda, “Banyak penyakit kecuali satu penyakit.” Mereka berkata, “Ya Rasulullah, apa penyakit itu?” Beliau menjawab, “Kematian.”

Tidak diragukan bahwa menyingkap aurat termasuk hal-hal yang diperlukan dari aktivitas pengobatan atau berobat dalam banyak keadaan. Terkait ini berlaku dalil-dalil tentang kebolehan berobat. Dalam kondisi semacam ini maka penyingkapan aurat boleh dilakukan pada tempat-tempat yang diperlukan oleh pengobatan dan berobat, tidak boleh penyingkapan itu pada tempat aurat lainnya. Artinya hanya pada tempat yang menjadi keharusan pengobatan atau berobat itu.

Saudaramu:

Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah

Selasa, 16 Rabiuts Tsani 1437 H – 26 Januari 2016 M

[Http://hizb-ut-tahrir.info/ar/index.php/ameer-hizb/ameer-cmo-site/35213.html#sthash.EwPocAX8.dpuf

https://www.facebook.com/AmeerhtAtabinKhalil/photos/a.122855544578192.1073741828.122848424578904/438059813057762/?type=3&theater]

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*