Upaya Organisasi Papua Merdeka (OPM) untuk memisahkan Papua dari Indonesia terus berlanjut. OPM telah meresmikan Kantor United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) pada Senin (15/2) di Wamena Kabupaten Jayawijaya Papua. Dalam klaimnya, kegiatan ini dihadiri perkumpulan negara-negara di kawasan Melanesia, sebagai upaya mendorong referendum Papua ke Dewan PBB.
Menurut Juru Bicara OPM Sebby Sambom, peresmian ini didukung oleh Perdana Menteri Kepulauan Solomon, Manasye Sovagare, yang menjabat sebagai pimpinan Masyarakat Melanesia Selatan, Melanesian Spearhead Group (MSG). ULMWP sebelumnya telah mendirikan kantor di Port Vila, ibukota Vanuatu, dan di Honiara, Kepulauan Solomon Island Honiara.
Meskipun pembukaan ini dibantah oleh Pemerintah, pihak Kepolisian Resort Jayawijaya menyita papan Kantor ULWP milik OPM di Jalan Trikora, Wamena Papua. Penyitaan ini sempat panas karena ditolak oleh salah satu tokoh adat di Wamena. Polisi mengakui adanya kegiatan peresmian ULMWP ini bersamaan dengan peresmian kembali Gedung Dewan Adat Papua yang terbakar beberapa waktu yang lalu.
Pembukaan Kantor OPM ini jelas menunjukkan makar terbuka OPM sebagai bagian dari internasionalisasi isu kemerdekaan Papua. OPM menuntut adanya referendum oleh PBB, sebagaimana yang pernah dilakukan di Timor-Timur yang berujung pada lepasnya wilayah itu dari Indonesia.
Pembukaan kantor ini jelas merupakan bukti kelemahan dan ketidakpedulian Pemerintah Indonesia terhadap upaya disintegrasi Indonesia. Pemerintah cenderung membiarkan berbagai manuver untuk mengondisikan kemerdekaan Papua.
Pada 1 Desember 2014, sekitar 300 mahasiswa asal Papua melakukan unjuk rasa di Bundaran HI Jakarta. Seruan mereka jelas: “Papua Merdeka”. Pemilihan 1 Desember sebagai tanggal aksi bukan tanpa maksud. Tanggal itu selama ini diklaim sebagai Hari Kemerdekaan Papua. Namun, tidak ada tindakan jelas Pemerintah terkait hal ini.
Pemerintah juga membiarkan kelompok-kelompok LSM liberal asing maupun lokal gencar menyerukan Papua Merdeka, termasuk pihak Gereja yang mendorong disintegrasi Papua. Gereja diketahui aktif mendorong disintegrasi Papua. Ini terlihat dari hasil sidang sinode GKI (Gereja Kristen Indonesia) Oktober 2011 yang mengeluarkan pesan mendorong “Hak Menentukan Nasib Sendiri” orang Papua. Pesan ini sejalan dengan rekomendasi Aliansi Gereja-gereja Reformasi se-Dunia (World Alliance of Reformed Churches) 2004. Padahal berdasarkan pengalaman disintegrasi di Timor Timur, Gereja bekerjasama dengan kekuatan imperialis asing dan LSM komprador untuk memuluskan disintegrasi.
Lemahnya sikap Pemerintah juga terlihat dari sikap Pemerintah yang cenderung diam, tidak melakukan protes terhadap negara-negara yang memberikan jalan pembukaan kantor kelompok separatis Papua. Dalam waktu dua tahun sejak pembukaan kantor pertama di Kota Oxford Inggris April 2013, kelompok separatis Free West Papua pimpinan Bennya Wenda membuka kantor di beberapa negara seperti Australia dan Belanda. Celakanya, Pemerintah Indonesia malah bekerjasama erat dengan negara-negara imperialis ini.
Padahal Pemerintah seharusnya paham, negara-negara imperialis tidak akan membiarkan Indonesia menjadi negara yang utuh dan kuat. Negara-negara imperialis ini akan selalu membuat makar di berbagai wilayah dunia untuk kepentingan ekonomi dan politik mereka. Isu kemerdekaan Papua, bukan rahasia lagi. kerap dimainkan oleh Amerika Serikat, untuk menekan Indonesia agar membiarkan Freeport merampok kekayaan alam Indonesia. Seolah Indonesia diberikan dua pilihan oleh AS: biarkan Freeport atau kami akan mendukung kemerdekaan Papua!
Seperti yang berulang kita ingatkan, senjata ampuh yang digunakan adalah demokrasi. Sebelumnya, nilai penting demokrasi, yaitu hak menentukan nasib sendiri, telah terbukti sukses memecah Timor Timur dari Indonesia. Seharusnya ini menjadi alasan yang kuat bagi kita untuk menolak sistem demokrasi. Bayangkan, kalau setiap wilayah di Indonesia, atas nama hak menentukan nasib sendiri, menuntut kemerdekaan diri, maka dipastikan Indonesia akan terpecah menjadi beberapa negara kecil yang lemah tak berdaya.
Mulusnya upaya disintegrasi tidak bisa dilepaskan dari kegagalan Pemerintah rezim liberal untuk mensejahterakan rakyat Papua. Meskipun Papua memiliki kekayaan alam yang luar biasa, rakyatnya hidup dalam kemiskinan. Lagi-lagi pangkalnya adalah sistem demokrasi, yang telah memuluskan berbagai UU liberal. Inilah yang melegitimasi perusahaan mancanegara seperti Freeport untuk merampok kekayaan alam Papua untuk kepentingan mereka sendiri.
Kepada rakyat Papua, kami menasihati, disintegrasi bukanlah solusi bagi persoalan rakyat Papua. Meminta bantuan negara-negara imperialis untuk memisahkan diri merupakan bunuh diri politik. Itu adalah perangkap yang akan memangsa kita dengan rakus. Memisahkan diri akan memperlemah Papua. Negara-negara imperialis yang rakus justru akan lebih leluasa memangsa kekayaan alam negeri Papua. Disintegrasi hanyalah untuk kepentingan segelintir elit yang berkerjasama dengan negara-negara asing untuk mendapatkan tahta dan harta.
Karena itu tidak ada jalan lain untuk keluar dari persoalan ini, kecuali kita mencampakkan sistem kapitalisme. Lalu kita menerapkan syariah Islam secara totalitas di bawah naungan Khilafah. Syariah Islam inilah yang akan mampu menjaga keamanan rakyat dan menjamin kesejahteraan rakyat tanpa pandang bulu; tidak melihat suku, bangsa, warna kulit maupun agama.
Kebijakan politik ekonomi negara Khilafah yang berdasarkan syariah Islam berlaku sama untuk menjamin pemenuhan kebutuhan sandang, pangan dan papan setiap individu rakyat; juga menjamin pendidikan dan kesehatan gratis bagi seluruh rakyat. Syariah Islam juga akan menghentikan penjajahan negara-negara imperialis seperti Amerika, Inggris dan Australia
Walhasil, pesan penting kami, marilah kita sama-sama memperjuangkan penegakan Khilafah Islam yang akan menerapkan seluruh syariah Islam. Aturan Islam yang rahmatan lil ‘alamin, kalau diterapkan secara totalitas, pasti akan memberikan kebaikan kepada siapapun, termasuk non-Muslim. Syariah Islam inilah yang akan memberikan kebaikan kepada kita di dunia dan di akhirat. Dengan syariah dan Khilafah, Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin akan bisa nyata-nyata diwujudkan. AlLâhu Akbar [Farid Wadjdi]