(Tafsir QS at-Takwir [81]: 15-21)
فَلاَ أُقْسِمُ بِالْخُنَّسِ، الْجَوَارِ الْكُنَّسِ، وَاللَّيْلِ إِذَا عَسْعَسَ، وَالصُّبْحِ إِذَا تَنَفَّسَ، إِنَّهُ لَقَوْلُ رَسُولٍ كَرِيمٍ، ذِي قُوَّةٍ عِنْدَ ذِي الْعَرْشِ مَكِينٍ، مُطَاعٍ ثَمَّ أَمِينٍ،
Sungguh, Aku bersumpah dengan bintang-bintang, yang beredar dan terbenam. Demi malam jika telah hampir meninggalkan gelapnya. Demi subuh jika fajarnya mulai menyingsing. Sesungguhnya al-Quran itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril); yang mempunyai kekuatan; yang mempunyai kedudukan tinggi di sisi Allah yang mempunyai ‘Arasy; yang ditaati di sana (di alam malaikat) lagi dipercaya (QS at-Takwir [81]: 15-21).
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Falâ uqsimu bi al-khunnas; al-jawâr al-kunnas (Sungguh, Aku bersumpah dengan bintang-bintang, yang beredar dan terbenam). Menurut beberapa mufassir, kata falâ merupakan zâ’idah (tambahan).1 Adapun lafal uqsimu digunakan untuk bersumpah. Dalam ayat ini, Allah SWT bersumpah. Yang dijadikan sebagai al-muqsam bih adalah al-khunnas.
Menurut Syihabuddin al-Alusi, al-khunnas merupakan bentuk jamak dari kata khânis, yang terambil dari kata al-khunûs; artinya al-inqibâdh wa al-istihfâ‘ (menghilang dan tersembunyi).2
Adapun al-jawâr merupakan bentuk jamak dari kata al-jâriyah. Kata al-jarî berarti al-marr as-sarî‘ (yang berlalu dengan cepat). Pada awalnya kata itu digunakan untuk menyebut air mengalir dan ketika air itu mengalir pada alirannya.3
Al-kunnas merupakan bentuk jamak dari kata al-kânis dan kânisah (yang masuk). Ini dari kalimat: Kanasa al-wahsy (binatang liar itu masuk), idzâ dakhala kanâsahu (ketika binatang itu masuk ke dalam sarangnya), yakni sarang yang terbuat dari ranting-ranting pohon.4
Dalam konteks ayat ini, ada beberapa penafsiran yang disampaikan para ulama tentang makna kata-kata tersebut. Sebagian besar para ulama menafsirkan kata sebagai bintang-bintang. Diriwayatkan dari Ali ra. bahwa makna ayat ini adalah al-kawâkib (bintang-bintang).5
Pendapat yang sama juga dikemukakan Ibnu Abbas, Mujahid, al-Hasan, Qatadah, as-Sudi, dan lain-lain. Mereka semua menafsirkan kata tersebut dengan an-nujûm (bintang-bintang).6
Demikian pula dengan Imam al-Qurthubi, Fakhruddin ar-Razi, asy-Syaukani, al-Khazin, dan lain-lain. Mereka juga menafsirkan kata itu sebagai bintang-bintang.7 Kata al-Khazin, “(Itulah) bintang-bintang yang tampak dan terang pada malam hari, dan bersembunyi pada siang hari di bawah sinar matahari.”8
Sebagian lainnya menafsirkan kata itu dengan sapi liar atau banteng yang bersembunyi di kandangnya. Ketika Abdullah bin Mas’ud ditanya tentang makna al-jawâr al-kunnas, beliau menjawab, “Itu adalah sapi liar.”9
Jabir bin Zaid juga berkata, “(Itu adalah) sapi liar yang bersembunyi di kandangnya.”
Ibnu Abbas dalam suatu riwayat dan Said bin Jubair juga berpendapat sama. 10
Ada pula yang menafsirkan kata itu dengan azh-zhibâ‘ (kijang atau rusa). Ini merupakan penafsiran Ibnu Abbas dan Said bin Jubair dalam riwayat lainnya, Mujahid, dan adh-Dhahhak.11
Menarik apa yang diyatakan oleh Ibnu Jarir ath-Thabari dalam menyikapi semua penafsiran tersebut. Menurut ath-Thabari, maknanya lebih tepat jika dikembalikan pada makna asalnya. Mufassir tersebut berkata, “Yang benar adalah Allah SWT bersumpah dengan sesuatu yang kadang tersembunyi, kadang beredar dan kadang menghilang. Kata kunûsuhâ berarti bersembunyi di tempatnya. Adapun al-makânis menurut orang Arab adalah tempat-tempat persembunyian banteng dan rusa.”12
Kemudian mufassir tersebut berkata, “Tidak diingkari pula bahwa kata ini juga bisa digunakan untuk menyebut tempat-tempat peredaran bintang di langit. Jika demikian halnya—sementara dalam ayat ini tidak ada petunjuk yang menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan itu adalah bintang-bintang dan bukan banteng; atau banteng dan bukan kijang—maka yang benar adalah yang mencakup semua benda yang memiliki sifat kadang-kadang al-khunûs (yang bersembunyi), al-jarî (yang beredar), dan al-kunûs (menghilang) sebagaimana digambarkan sifatnya oleh Allah SWT.”13
Kemudian Allah SWT berfirman: Wa al-layl idzâ ‘as’as (Demi malam jika telah hampir meninggalkan gelapnya). Kata al-layl merupakan dhidd an-nahâr (kebalikan dari waktu siang). Itulah waktu saat matahari mulai terbenam hingga terbit lagi pada pagi hari.
Adapun kata ‘as’as merupakan kata yang mengandung makna berlawanan. Kata al-‘as’asah bisa bermakna iqbâluhu, bisa pula bermakna idbâruhu. Oleh karena itu, terdapat perbedaan penafsiran di kalangan para ulama tentang makna ayat ini.
Pertama: Iqbâluhu bi zhulâmihi (datangnya malam dengan gelapnya). Mujahid berkata, “Azhlama” (menjadi gelap).” Said bin Jubair berkata, “Idzâ nasya`a´ (ketika datang). Al-Hasan al-Bashri berkata, “Ketika menutupi manusia.”14
Pendapat ini juga dipilih oleh Ibnu Katsir. Menurut Ibn Katsir, sekalipun kata al-‘as’asah bisa dimaknai sebagai al-idbâr (berlalu), makna al-iqbal (menjelang) lebih relevan. Seolah-olah Allah SWT bersumpah dengan malam beserta kegelapannya ketika menjelang dan dengan fajar beserta cahayanya ketika telah terbit. Ini sebagaimana dalam firman Allah SWT yang lain (Lihat: QS al-Lail [92]: 1-12; QS al-Dhuha [93]: 1-2; QS al-An’am [6]: 96, dan ayat-ayat lainnya).15
Kedua: Idbâruhu (berlalunya malam). Ibnu Abbas berkata, “Idzâ adbara (jika telah berlalu).”16 Mujahid, Qatadah, adh-Dhahhak dan Zaid bin Aslam juga berpendapat demikian.17
Pendapat ini juga dipilih oleh Ibnu Jarir ath-Thabari, Ibnu Juzyi al-Kalbi, dan asy-Syaukani. Menurut ath-Thabari, penafsiran ini didasarkan pada ayat sesudahnya: Wa ash-shub-hi idzâ tanaffas. Dengan demikian, ini menunjukkan sumpah dengan malam yang telah berlalu dan siang yang telah menjelang.18
Kemudian Allah SWT berfirman: Wa ash-shub-hi idzâ tanaffas (Demi subuh jika fajarnya mulai menyingsing). Kata at-tanaffus bermakna keluarnya udara dari perut atau bagian dalam.19 Kata tersebut disematkan pada kata al-layl atau malam merupakan bentuk majaz.20
Pengertian tanaffas di sini adalah thala’a (terbit). Adh-Dhahhak berkata, “Idzâ thala’a (ketika telah terbit).” Qatadah berkata, “Ketika bersinar dan telah datang.” Said bin Jubair berkata, “Ketika telah muncul.” Demikian pula yang diriwayatkan dari Ali ra.21
Lalu dilanjutkan dengan firman-Nya: Innahu laqawlu rasûl karîm (Sesungguhnya al-Qur’an itu benar-benar firman [Allah yang dibawa oleh] utusan yang mulia [Jibril]). Ini merupakan jawâb al-qasam.22 Itulah perkara yang ingin dikukuhkan dengan sumpah tersebut.
Adh-Dhamîr atau kata ganti ketiga menunjuk pada al-Quraan. Adapun al-rasûl al-karîm di sini adalah Jibril.23 Dengan demikian, sebagaimana diterangkan Ibnu Katsir, ayat ini memberikan makna bahwa sesungguhnya al-Quran benar-benar disampaikan oleh rasûl karîm (malaikat yang mulia). 24 Ibnu Jarir juga berkata, “Sesungguhnya al-Quran ini diturunkan oleh utusan yang mulia. Artinya, Jibril menurunkan al-Quran kepada Nabi Muhammad bin Abdullah.”25
Rasûl Karîm di sini bermakna Malaikat Jibril as. merupakan penjelasan Ibnu Abbas, asy-Sya’bi, Maimun bin Mihran, al-Hasan, Qatadah, Rabi’ bin Anas dan Qatadah.26 Demikian pula az-Zamakhsyari, al-Razi, al-Syaukani, al-Baidhawi, al-Khazin, al-Alusi, as-Sa’di, dan lain-lain.27 Penyebutan Jibril sebagai rasûl (utusan) karena tak ada keraguan bahwa dia adalah rasûlul-Lâh (utusan Allah) kepada para nabi sehingga dia adalah rasul, dan seluruh nabi adalah umatnya.28
Malaikat Jibril yang menjadi utusan Allah SWT itu memiliki sifat karîm (mulia). Menurut ar-Razi, termasuk kemuliaannya adalah karena dia memberikan pemberian yang paling utama, yakni al-ma’rifah (pegetahuan), al-hidâyah (petunjuk) dan al-irsyâd (bimbingan).29
Kemudian Allah SWT berfirman: Dzî quwwat[in] ‘inda dzî al-‘arsy makîn (Yang mempunyai kekuatan, yang mempunyai kedudukan tinggi, di sisi Allah yang mempunyai Arasy). Ayat ini masih melanjutkan sifat Jibril as. Pertama disebutkan dzî quwwah (yang memiliki kekuatan). Menurut Abdurrahman as-Sa’di, ini berarti dia memiliki kekuatan untuk menjalankan apa yang diperintahkan Allah SWT.30
Sifat lainnya adalah ‘inda dzî al-‘arsy makîn. Frasa dzî al-‘arsy adalah Allah SWST. Dengan demikian frasa: ‘Inda dzî al-‘arsy bermakna ‘indal-Lâh Jalla tsanâ`hu (di sisi Allah Yang Maha Mulia). Adapun kata makîn berarti dzî manzilah wa makânah (yang memiliki derajat dan kedudukan).31 Menurut Fakhruddin ar-Razi, pegertian al-makîn adalah yang memiliki kehormatan atau kedudukan yang dapat memberikan apa yang diminta.32 Dengan demikian makna ayat ini, sebagaimana diterangkan Ibu Katsir bermakna, “Yang memiliki posisi dan kedudukan yang tinggi di sisi Allah SWT.”33
Berkenaan dengan ketinggian derajat dan kemulian Jibril, Abu Shalih berkata, “Jibril as. bisa masuk ke tujuh puluh cahaya yang tertutupi tanpa harus meminta izin.”34
Kemudian Allah SWT berfirman: Muthâ’[in] tsamma amîn (yang ditaati di sana [di alam malaikat] lagi dipercaya). Ayat ini masih melanjutkan sifat Malaikat Jibril as. Menurut Ibnu Katsir, frasa muthâ’ tsamma memberikan pengertian bahwa Jibril as. memiliki kehormatan dan kemuliaan; didengar dan ditaati perkataannya di langit yang tinggi.35
Sifat berikutnya adalah amîn; bahwa malaikat tersebut memiliki sifat amanah. Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Dia amîn (terpercaya) di sisi Allah atas wahyu-Nya, risalah-Nya dan semua yang diamanahkan kepada dia.”36
Fakhruddin ar-Razi menambahkan, “Sungguh Allah SWT telah menjaga dia dari sifat khianat dan kesalahan.”37
Abdurrahaman as-Sa’di berkata, “Memiliki amanah, mengerjakan apa yang diperintahkan kepada dia, tidak menambah dan tidak mengurangi, dan tidak melampaui batas.”38
Kepastian Berita-Berita dalam al-Quran
Di dalam ayat-ayat ini terdapat beberapa pelajaran yang dapat diambil. Pertama: Kebesaran dan keagungan beberapa mahluk ciptaan Allah SWT. Dalam ayat ini ada beberapa makhluk yang dijadikan sebagai al-muqsam bih, yakni al-khunnas al-jawâr al-kunnas, al-layl idzâ ‘asas dan as-subh idzâ tanaffas.
Sebagaimana telah diterangkan, pengertian al-khunnas al-jawâr al-kunnas menurut para ulama adalah bintang-bintang. Bintang-bintang terlihat di malam hari dan bersembunyi di siang hari. Benda angkasa itu terlihat kecil. Cahayanya pun tidak terlalu terang. Namun, jaraknya yang amat jauh menunjukkan betapa besarnya benda itu dan terangnya sinar yang terpancar darinya. Apalagi jumlahnya yang amat banyak. Itu semua menjadi tanda bagi kebesaran dan kekuasaan Allah SWT. Demikian pula malam, baik menjelang maupun berlalunya; juga terbitnya fajar. Semuanya menunjukkan kebesaran dan keagungan Allah SWT. Siapa yang bisa memutar bumi sehingga berotasi dan berakibat pada pergantian siang dan malam selain Allah SWT. Selain itu, semua itu juga merupakan kenikatan tak terhingga bagi manusia.
Karena itu tidak layak bagi manusia kecuali mengagungkan, menyembah dan memohon ridha Allah SWT; membenarkan semua berita yang disampaikan dalam wahyu yang disampaikan melalui utusannya. termasuk di antaranya adalah kepastian datangnya hari Kiamat. Jika selama ini alam semesta masih terpelihara, termasuk bintang-bintang dan bumi, yang beredar dalam garis edarnya, karena kekuasaan Allah SWT, maka dengan mudah pula bagi Allah SWT menghancurkan dan mengakhiri semua itu. Maka dari itu, atas dasar apa manusia bersikap sombong terhadap Allah SWT dengan mengabaikan semua perintah dan larangan-Nya?
Kedua: Tingginya kedudukan Malaikat Jibril as. Dalam ayat ini disebutkan tentang utusan Allah SWT yang menjadi pembawa dan penyampai al-Quran. Dialah Malaikat Jibril. Dalam ayat ini digambarkan beberapa sifat malaikat tersebut, yang semuanya menunjukkan kehormatan dan ketinggian posisinya.
Ketiga: Kemuliaan al-Quran. Dalam ayat ini diberitakan bahwa al-Quran itu dibawa dan disampaikan kepada Rasulullah saw. oleh Malaikat Jibril as. yang memiliki berbagai sifat mulia. Ini menunjukkan betapa mulianya al-Quran itu. Abdurrahman as-Sa’di berkata, “Ini semua menunjukkan kemuliaan al-Quran di sisi Allah SWT. Pasalnya, Dia mengutus malaikat yang mulia yang disifati dengan sifat-sifat yang sempurna untuk membawa al-Quran. Pada umumnya, raja tidak mengutus utusan yang mulia kecuali dalam perkara yang paling penting dan risalah yang paling mulia,”39
Demikianlah. Tidak alasan bagi manusia meragukan berita tentang Hari Kiamat. Semakin kuat tatkala berbagai kejadian tersebut diberitakan dengan jelas dalam kitab-Nya yang paling mulia, al-Quran. Inilah kitab terakhir yang dibawa oleh malaikat yang paling mulia dan disampaikan kepada nabi yang paling mulia, Rasulullah saw.
Karena itu tak ada pilihan bagi manusia kecuali meyakini kedatangan Hari Kiamat dan mengisi hidupnya dengan ketaatan dan amal shalih sehingga dia selamat dari siksa neraka dan berhasil menjadi penghuni surga. Itulah keberhasilan yang sesungguhnya. Semoga kita termasuk di dalamnya.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]
Catatan kaki:
1 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1969), 236; al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5 (Damaskus: Dar al-Kutub al-Thayyib, 1994), 472.
2 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 261. Lihat juga al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31 (Beirut: Dar Ihya` al-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 67.
3 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 261.
4 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 261. Penjelasan yang sama juga dikemukakan al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 236.
5 Al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24 (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 251; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8 (tt: Dar Thayyibah, 1999), 336.
6 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8, 336.
7 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 236; juga al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 67; al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 472; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’â al-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 398.
8 Al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’â al-Tanzîl, vol. 4, 399.
9 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 251.
10 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8, 337
11 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 251; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8, 337.
12 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 254.
13 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 255.
14 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8, 337
15 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8, 338
16 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 255.
17 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8, 338. Lihat juga al-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 256.
18 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 257; Ibnu Juzyi al-Kalbi, al-Tas-hîl li Ulûm al-Tanzîl, vol. 2 (Beirut: Dar al-Arqam, 1996), 456; al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 472.
19 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 240; al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 473
20 Lihat: Az-Zamakhsyari, al-Kasysyaâf, vol. 4. (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, 1987), 711
21 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8, 338
22 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 240.
23 Ibnu Juzyi al-Kalbi, al-Tas-hîl li Ulûm al-Tanzîl, vol. 2, 456.
24 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8, 338; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 240.
25 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 258
26 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8, 338; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 240.
27 Az-Zamakhsyari, al-Kasysyaâf, vol. 4, 711; al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 67; al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 473; al-Baidhawi, Anwâr al-tanîwa Arsâr al-Ta‘wîl, vol. 5 (Beirut: Dar al-Turats al-‘Arabi, 1989), 290; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’â al-Tanzîl, vol. 4, 399; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 262; al-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 912.
28 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 69.
29 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 69.
30 As-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân, 912
31 Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 240.
32 Al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 70.
33 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8, 338
34 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 259; Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8, 338.
35 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8, 339
36 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 258.
37 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 70.
38 As-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 912.
39 As-Sa’di, Taysîr al-Karîm al-Rahmân, 912.