Peluit kaum LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender) semakin nyaring terdengar. Dalam satu dekade terakhir para penganut penyimpangan orientasi seksual ini bisa bernafas lebih lapang. Bila dulu mereka harus menyembunyikan orientasi seksualnya di kamar sunyi, kini hal itu dapat diekspresikan di ruang publik. Perlahan-lahan khalayak seperti sudah menganggap LGBT sebagai hal biasa. Mereka sepertinya mulai bisa menerima kehadiran LGBT. Tentu, bukan karena hal itu benar secara logika apalagi norma agama, tetapi karena ada arus kuat di belakang kaum LGBT ini yang berhasil memanipulasi pikiran publik.
Peluit itu siapa lagi yang meniupnya kalau bukan kelompok liberalis. Di antara tema liberalisme, isu LGBT termasuk hardcore sehingga cukup sering dilempar ke publik. Beberapa tahun silam seorang tokoh lesbian Muslim, Irshad Mandji, diundang untuk menjadi pembicara ke sejumlah kampus dan LSM di Tanah Sir untuk mempromosikan LGBT.
Lengkingan kencang peluit kaum LGBT tidak berhembus sendiri, tetapi didukung oleh kekuatan di belakang yang meniupnya. Kekuatan ini bukan datang dari arus lokal, tetapi dunia internasional. Sejumlah negara besar seperti Amerika Serikat, termasuk PBB, sudah menjadi penyokong kaum Sodom ini.
Pada Oktober 2015, Sekjen PBB Ban Ki-Moon mengaku akan menggencarkan perjuangan persamaan hak-hak LGBT. Namun, upaya tersebut masih belum sepenuhnya berhasil lantaran beberapa negara anggota PBB justru menentang langkah tersebut.
Lebih lanjut United States Agency for International Development (USAID) juga turut mendukung hak asasi kaum LGBT yang sering merasakan diskriminasi, penganiayaan, hingga kekerasan di lingkungan masyarakat. USAID bahkan membangun kemitraan untuk mengadvokasi hak asasi, akuntabilitas, pembangunan ekonomi keberlanjutan dan perlindungan bagi kaum LGBT di seluruh dunia.
Peluit nyaring yang mereka tiup bukan saja menjadi tanda kepada sesama penganut LGBT untuk berani tampil ke permukaan, tetapi juga tanda perlawanan kepada pihak-pihak yang coba menghalangi sepak terjang mereka. Kaum LGBT di Tanah Air bukan saja bernyali untuk menampakkan diri, tetapi juga berani menggugat kelompok masyarakat yang mengkritik orientasi seksual mereka.
Somasi kaum LGBT dan para pendukungnya kepada Harian Republika yang menurunkan headline ‘LGBT Ancaman Serius’ (Ahad, 24/1) hanyalah salah satu aksi unjuk nyali mereka kepada publik. Dalam somasi itu mereka seperti ingin mengirimkan pesan: kami ada dan jangan coba-coba mengusik kami!
Barangkali hal itu yang dirasakan Menristek Dikti Mohamad Nasir usai mengatakan bahwa kelompok LGBT tidak boleh masuk kampus (Antara, 23/1). Namun, ia akhirnya melunak setelah dihujani protes berbagai kelompok pro LGBT, “Bukan berarti saya melarang segala kegiatan yang ada kaitannya dengan LGBT. Mau menjadi lesbian atau gay itu menjadi hak masing-masing individu. Asal tidak mengganggu kondusivitas akademik.”
Tiga Jurus Kaum LGBT
Dukungan dan opini yang terus menerus dibangun kepada kaum LGBT secara masif sudah pasti by design; dirancang dan dibuat. Sudah puluhan tahun mereka memperjuangkan apa yang disebut SRHR (Sexual And Reproductive Health Rigths). Salah satu perjuangan mereka yang cukup mendapat perhatian adalah melalui International Conference on Population and Development Programme of Action atau ICPD di Mesir pada tahun 1994.
Di antara rumusan ICPD adalah “reproductive health therefore implies that people are able to have a satisfying and safe sex life that they have capability to reproduce and the freedom to decide it when and how often to do.”1 Artinya, siapapun mendapat jaminan untuk melakukan hubungan seks yang aman dan memuaskan serta bebas untuk menentukan hal itu kapan saja. Tentu rumusan ini dibuat tanpa memandang apakah hubungan seks itu dilakukan antara suami-istri, perzinaan, ataukah gay dan lesbian. Pastinya, pertemuan di Kairo tahun 1994 silam itu mendorong agar tercipta kebebasan dalam masalah seksualitas.
Kongres itu sendiri terbilang berani dan aneh karena diadakan di jantung peradaban Islam, Mesir. Arahannya jelas agar Dunia Islam, yang dikenal paling resistan terhadap isu-isu kebebasan seksual ini, mau menerima konsensus liberal ini. Logikanya, bila Kairo saja mau menjadi tuan rumah perhelatan ini, harusnya Jakarta lebih lagi.
Untuk membela dan memperjuangkan orientasi seksualnya, kelompok LGBT ini melakukan tiga jurus: Pertama: Publisitas media. Media massa sekular telah lama menjadi corong LGBT. Mereka membuat opini untuk menetralisasi pandangan negatif publik tentang LGBT. Untuk itu mereka menghadirkan aktivis LGBT, akademisi dan psikolog untuk meyakinkan publik bahwa gay bukanlah ancaman kemanusiaan. Sama sekali tidak pernah diundang narasumber dari tokoh agama (Islam) yang kontra dengan pandangan mereka.
Kalangan sineas, budayawan dan penulis juga turut mengkampanyekan LGBT. Lewat novel dan film, gaya hidup LGBT dikampanyekan agar diterima publik sebagai kewajaran. Bukan saja datang dari Hollywood, sejumlah sineas di Tanah Air juga sudah berani membuat beberapa film bertema LGBT, atau menampilkan karakter dengan orientasi seksual gay atau lesbi. Film-film tersebut makin populer karena terus-menerus diberitakan oleh media sekular, dibuat ulasannya sehingga membuat publik semakin penasaran. Puncaknya, sejumlah film dan aktor atau aktrisnya diganjar berbagai penghargaan.
Kedua: Dukungan kaum akademisi melalui pendekatan saintifik dan edukasi serta konseling. Langkah ini penting untuk ditempuh oleh para pendukung LGBT agar publik termakan opini bahwa ‘menjadi gay’ bukanlah sebuah penyimpangan, tetapi natural dan wajar. Karena itu berbagai teori pseudo-sains pun dibuat untuk membohongi publik bahwa menjadi gay, selain karena faktor psikologis dan sosial, juga bisa terjadi karena faktor genetis. Pada sejumlah individu terdapat kromosom yang membuat mereka menjadi seorang gay atau lesbian. Menolak apalagi memusuhi LGBT sama dengan melawan kodrat, bahkan diposisikan sedang ‘menyalahkan Tuhan’. Bukankah Tuhan yang menciptakan seseorang menjadi gay atau lesbian?
Bila kemudian ada di antara anggota masyarakat yang masih kebingungan dengan orientasi seksual mereka, atau kesulitan mengekspresikan hasrat seksual kepada sesama jenis, menemui rintangan di tengah keluarga, maka berbagai terapi dan konseling siap diberikan. Tujuannya sudah pasti bukan untuk menyembuhkan atau menyadarkan individu bersangkutan agar kembali pada orientasi seksual yang benar, yakni heteroseksual, tetapi ia dibuat untuk menerima dirinya sebagai penyuka sesama jenis, menjadi percaya diri dan berani untuk terbuka pada lingkungan.
Gerilya kaum gay bahkan mampu menembus lingkungan gereja. Umat Kristiani terbelah dalam persoalan gay dan lesbian. Sejumlah gereja di beberapa negara telah membuka pintu bagi pernikahan sejenis, seperti di Jerman dan Belanda. Pada tahun 2003, Gereja Anglikan melantik Gene Robinson yang gay menjadi uskup di Keuskupan New Hampshire, AS.
Seperti berlomba-lomba dengan umat Kristiani, kalangan Muslim pro liberalisme juga berusaha keras memanipulasi ayat al-Quran dan hukum fikih, agar LGBT bisa diterima umat Islam. Berbagai pemikiran absurd nan batil dilontarkan untuk membenarkan perilaku LGBT.
Beberapa tahun sebelumnya Jurnal Justisia dari Fakultas Syariah IAIN Semarang (edisi 25, Th XI, 2004) menurunkan sebuah tulisan yang kemudian menjadi buku berjudul Indahnya Kawin Sesama Jenis: Demokratisasi dan Perlindungan Hak-hak Kaum Homoseksual, (Semarang: Lembaga Studi Sosial dan Agama/eLSA, 2005). Dari Kampus UIN Jakarta, feminis pro LGBT sekaligus profesor di kampus Islam itu, Siti Musdah, menyatakan bahwa Islam tidak pernah mengharamkan homoseksual.
Kelompok liberal pro LGBT bahkan sampai berani memelintir ayat-ayat al-Quran yang mengisahkan pengazaban kaum Sodom. Dengan lancang mereka mengatakan bahwa ayat-ayat itu tidak berhubungan dengan perilaku homo penduduk Sodom, tetapi terkait dengan sebab-sebab lain.
Ketiga: Legitimasi hukum dan dukungan politik. Strategi pamungkas kaum LGBT adalah mengukuhkan eksistensi secara konstitusional. Sejak ICPD di Kairo pada tahun 1994, kalangan liberalis dan LGBT bergerilya untuk mengegolkan rancangan undang-undang yang mengakui dan melegalkan pernikahan sejenis. Hingga hari ini sudah ada 23 negara yang melegalkan pernikahan sejenis.
Di Islandia, Perdana Menteri Johanna Sigurdardottir, bukan saja memberlakukan pernikahan sesama jenis, tetapi secara resmi ia menikahi Jonina Leosdottir yang juga seorang wanita (lesbi) pada tahun 2010. Pernikahan itu sengaja dilakukan bertepatan dengan mulai berlakunya peraturan hukum baru mengenai pernikahan sesama jenis di Islandia, sekaligus bertepatan dengan peringatan hari internasional hak-hak homoseksual.
Entah kebetulan atau tidak, pasca pernikahan tersebut gunung berapi Eyjafjallajokull meletus dan menimbulkan kekacauan penerbangan di seluruh Eropa, seolah murka akibat kelakuan bejat mereka. Awan abu dari gunung Islandia itu memaksa lalu lintas udara sebagian Eropa terhenti selama enam hari. Sekitar seratus ribu penerbangan dibatalkan dan 10 juta penumpang terlantar. Industri penerbangan Eropa mengalami kerugian hingga US$1,7 miliar.
Pemerintah Prancis pada bulan September tahun 2012, bukan saja melegalkan pernikahan sejenis, tetapi juga akan melarang penggunaan kata ibu dan bapak dalam semua dokumen resmi untuk mengesahkan pernikahan kaum gay atau sesama jenis. Sebagai gantinya adalah kata orangtua.2
Amerika Serikat adalah negara yang teranyar melegalkan pernikahan sejenis. Meski paling belakangan mengesahkan pernikahan sejenis, Amerika Serikat berada di garis terdepan mengadvokasi LGBT di dunia internasional. Beberapa kali AS mendesak PBB dan dunia internasional untuk meratifikasi undang-undang yang menjamin dan melindungi keberadaan LGBT dan mengakui pernikahan sejenis.
Pada Sidang Dewan Hak Asasi Manusia (HRC) PBB bulan Juni 2011, Amerika Serikat, Afrika Selatan dan Amerika Latin serta Uni Eropa mengupayakan lolosnya resolusi PBB yang pertama mengenai Hak Asasi Manusia bagi kaum LGBT.
Pada sesi HRC bulan Maret 2011, PBB turut memimpin upaya yang dilakukan sebuah grup inti dari beberapa negara untuk mendeklarasikan sebuah pernyataan berjudul, “Mengakhiri Aksi Kekerasan dan Kekerasan yang terkait dengan Hak Asasi Manusia atas dasar identitas orientasi seksual dan gender”. Pernyataan tersebut mendapatkan dukungan dari 85 negara, termasuk 20 negara yang sebelumnya tidak pernah mendukung pernyataan serupa untuk mempromosikan hak bagi kaum LGBT.
Bagaimana peluang legitimasi keberadaan LGBT dan pernikahan mereka di Tanah Air?
Tahun 2006, di Yogyakarta ditetapkan satu dokumen bernama “Prinsip-prinsip Yogyakarta” (The Yogyakarta Principles), berisi tentang Penerapan Hukum Hak Asasi Manusia Internasional dalam kaitannya dengan Orientasi Seksual dan Identitas Gender. Wikipedia mencatat, bahwa dokumen ini adalah seperangkat prinsip-prinsip yang berkaitan dengan orientasi seksual dan identitas gender, dimaksudkan untuk menerapkan standar hukum hak asasi manusia internasional untuk mengatasi pelecehan hak asasi manusia terhadap lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT), dan (secara sekilas) interseks.
Selain itu kalangan LGBT berupaya keras merevisi Undang-Undang No.1 tahun 1974 yang menghalangi pernikahan sejenis. Sebuah petisi untuk melegalisasi pernikahan sejenis juga sudah diluncurkan.
Sampai hari ini banyak kalangan akademisi dan pakar hukum, termasuk mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD yang juga Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, yang menyatakan bahwa aktivis LGBT tidak boleh dan tidak bisa berserikat karena bertentangan dengan konstitusi. Namun, bila umat lengah, bukan tidak mungkin akan mereka ditelikung di masa depan.
Ancaman Kemanusiaan
Aktivis LGBT dan para pendukungnya berkilah bahwa tindakan mereka sama sekali bukan ancaman kemanusiaan. Logika sederhananya: Apa dan siapa yang kami rugikan? Toh kami tidak menyakiti siapapun.
Menanggapi pemikiran ini, sungguh kita beriman kepada Allah akan firman-Nya yang haq:
أَفَمَنْ زُيِّنَ لَهُ سُوءُ عَمَلِهِ فَرَآهُ حَسَنًا فَإِنَّ اللَّهَ يُضِلُّ مَنْ يَشَاءُ وَيَهْدِي مَنْ يَشَاءُ فَلَا تَذْهَبْ نَفْسُكَ عَلَيْهِمْ حَسَرَاتٍ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ بِمَا يَصْنَعُونَ
Apakah orang yang ditipu (oleh setan) dengan keburukan amalnya sehingga dia meyakini amalnya itu baik (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh setan)? Sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang Dia kehendaki dan menunjuki siapa yang Dia kehendaki. Karena itu janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka. Sesungguhnya Allah Mahatahu atas apa yang mereka perbuat (TQS Fathir [35]: 8).
Pemikiran dan kampanye LGBT batil dari akar hingga ke daunnya; bertentangan dengan Islam dan mengancam kemanusiaan. Gay dan lesbian meruntuhkan institusi keluarga yang bertujuan melestarikan keturunan. Padahal secara kodrati manusia telah diberkati kemampuan untuk bereproduksi dan fungsi itu hanya akan berjalan manakala ada ikatan pernikahan pria dengan wanita. Karena itu pernikahan bukan sekadar demi mendapatkan cinta dan pemuasan kebutuhan biologis, tetapi untuk melestarikan keturunan manusia.
LGBT bukan saja mengancam laju pertambahan penduduk, tetapi secara mendasar mengeliminasi hasrat untuk memiliki anak. Tidak adanya hasrat pada lawan jenis berkorelasi lurus dengan menurunnya keinginan untuk memiliki anak sendiri. Apalagi memiliki keturunan lebih dari satu.
LGBT juga mempraktikkan perilaku seksual yang menjijikkan. Mereka melakukan hubungan badan dengan cara dan pada organ tubuh yang secara kodrati bukan peruntukkannya. Banyak riset medis yang membuktikan praktek anal seks yang biasa dilakukan para gay mengancam kesehatan, bahkan berpotensi menyebabkan kanker anus lantaran penularan Human Papilloma Virus atau HPV. Selain itu, studi terhadap sejumlah gay yang kerap melakukan anal seks menunjukkan mereka kesulitan mengendalikan pengeluaran feses lantaran pengurangan kepekaan saraf-saraf dubur.
Ala kulli hal, praktik LGBT adalah praktik yang tidak manusiawi dan menghasilkan dehumanisasi; pemusnahan umat manusia secara perlahan. Tidak ada jalan lain untuk menghentikan kebiadaban ini selain mengajak mereka bertobat, atau mereka diberi sanksi keras berupa ancaman hukuman mati. WalLâhu a‘lam bi ash-shawâb. [Iwan Januar]
Catatan kaki:
1 ICPD Poa, para 7.2
2 Merdeka.com, 25/9/2012