HTI

Iqtishadiyah

PHK Massal: Buah Kebijakan Liberal

Lesunya pertumbuhan ekonomi di Tanah Air, yang tahun lalu hanya tumbuh 4,79 persen, telah memberikan dampak pada maraknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Sejumlah perusahaan pertambangan sejak tahun lalu telah melakukan PHK besar-besaran sebagai imbas dari anjloknya harga barang tambang, khususnya minyak mentah dan batubara. Bagaimana tidak, harga minyak yang pernah tembus US$145 perbarel kini berada pada level US$30 perbarel. Belakangan, sejumlah perusahaan elektronik seperti Panasonic dan Toshiba juga telah mem-PHK karyawannya. Sejumlah perusahaan otomotif juga diberitakan akan melakukan pengurangan jumlah karyawan akibat penjualan yang terus melemah. Perusahaan otomotif asal AS, Ford, bahkan telah hengkang dari Indonesia.

Jika aksi korporasi tersebut terus berlangsung, maka angka pengangguran dipastikan semakin membesar. Menurut BPS, jumlah pengangguran terbuka pada September 2015 lalu mencapai 7,56 juta orang atau 6,18 persen dari total angkatan kerja. Angka ini menjadi lebih besar jika ditambah setengah pengangguran yang mencapai 9,74 juta orang. Pengangguran terbuka sendiri menurut BPS adalah penduduk yang berusia produktif (15 tahun ke atas) yang tak punya pekerjaan namun sedang mencari pekerjaan, mempersiapkan usaha atau tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan. Adapun setengah pengangguran adalah penduduk yang berusia produktif yang bekerja di bawah jam kerja normal (kurang dari 35 jam seminggu) dan masih mencari pekerjaan atau masih bersedia menerima pekerjaan.

Penyebab Pengangguran

Selain akibat perlambatan ekonomi yang merupakan imbas krisis ekonomi global, tingginya akan pengangguran di negara ini tak bisa dilepaskan dari dampak sistem kapitalisme yang diadopsi negara ini. Sebagai contoh, pada tahun 2015 jumlah petani di Indonesia sebanyak 37,7 juta turun dari tahun 2010 yang mencapai 41,5 juta orang. Salah satu penyebabnya, insentif petani untuk bekerja di sektor pertanian semakin tidak menarik. Liberalisasi ekonomi yang makin gencar membuat pangan impor menggusur produk petani domestik. Di sisi lain, margin pendapatan petani semakin kecil akibat biaya produksi yang semakin mahal, antara lain akibat pengurangan berbagai jenis subsidi seperti pupuk dan BBM. Salah satu indikator untuk mengukur hal ini adalah Nilai Tukar Petani (NTP). Indikator ini membandingkan pendapatan dan pengeluaran petani. Pada bulan Januari 2016, angkanya hanya 102. Artinya, pendapatan yang didapatkan petani hanya dua persen lebih tinggi dari biaya produksi dan biaya konsumsi yang mereka keluarkan. Kondisi ini memaksa sebagian petani meninggalkan usaha mereka.

Di sektor industri manufaktur, beberapa industri seperti tekstil, elektronika, besi dan baja, juga mempersoalkan tingginya arus barang impor dengan harga yang relatif lebih murah. Pada saat yang sama, biaya produksi yang mereka tanggung juga semakin besar. Sejak penghapusan subsidi listrik, biaya produksi, terutama industri yang banyak bergantung pada listrik, semakin besar. Di sisi lain, gas alam yang harganya jauh lebih murah dibandingkan dengan solar juga sulit mereka dapatkan. Padahal merujuk data PGN, harga gas tahun 2015 hanya US$ 9 per MMBTU, jauh lebih murah dibandingkan minyak diesel jenis MFO (Marine Fuel Oil) dan IDO (Industrial Diesel Oil) yang mencapai US$15 dan US$ 22 per MMBTU. Hanya saja, karena telah terikat kontrak jangka panjang, gas alam Indonesia justru lebih banyak dinikmati oleh industri di Cina, Jepang dan Korea Selatan. Barang-barang mereka kemudian masuk ke negara ini yang sebagian besar tarifnya telah nol persen. Ini adalah dampak dari perjanjian perdagangan bebas yang telah diteken Pemerintah.

Beban pengusaha semakin berat tatkala buruh terus menuntut kenaikan upah akibat biaya hidup mereka yang terus meningkat. Padahal pengusaha telah dibebani aneka kewajiban seperti tanggungan iuran BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, macam-macam pajak, berbagai pungutan resmi dan tidak resmi lainnya. Tingginya biaya usaha ini menjadi salah satu faktor yang membuat daya saing industri domestik melemah. Sebagian perusahaan terpaksa gulung tikar. Sebagian lagi melakukan relokasi ke negara lain. PHK pun tak terhindarkan.

Selain faktor permintaan tenaga kerja yang menyusut, masalah kualitas tenaga kerja juga menjadi persoalan di negara ini. Menurut data BPS, 67% pendidikan tenaga kerja saat ini hanya lulusan SMP ke bawah. Persoalan ini tentu tidak bisa dilepaskan dari sulitnya penduduk mengakses pendidikan formal di negara ini. Apalagi biaya pendidikan yang semakin mahal membuat rakyat yang berpenghasilan rendah sulit mengecap pendidikan berkualitas.

Sekadar ilustrasi, jumlah siswa yang duduk di sekolah negeri menurut Kemendiknas per Januari 2016 yaitu SD (89%), SMP (76), SMU (75%) dan SMK (43%). Di beberapa provinsi yang penduduknya besar seperti DKI Jakarta, angkanya jauh lebih kecil yaitu: SD (73%), SMP (61%), SMU (57%) dan SMK (23%). Fakta ini bisa menjadi indikasi rendahnya kemampuan Pemerintah dalam menyediakan layanan pendidikan pada jenjang menengah atas. Pada saat yang sama, lembaga-lembaga pelatihan formal yang disediakan Pemerintah seperti Balai Latihan Kerja (BLK) secara umum masih sangat minim baik dari sisi jumlah, sarana dan prasarananya.

Impor Tenaga Kerja

Ironisnya, meskipun jumlah pengangguran di negara itu cukup tinggi, Pemerintah justru membuka lebar-lebar pintu masuknya tenaga kerja asing. Menurut Kementerian Ketenagakerjaan dan Transmigrasi, hingga November 2015, jumlah tenaga kerja asing yang terdaftar mencapai 79 ribu orang. Cina menjadi penyumbang nomor satu. Meningkatnya jumlah TKA asal Cina itu sejalan dengan meningkatnya aliran investasi dan pemberian utang dari negara komunis itu ke negara ini. Merujuk pada pengalaman investasi Cina di Afrika, berbagai klausul investasi tersebut sarat dengan berbagai kepentingan yang menguntungkan negara itu. Selain meminta konsesi proyek dalam waktu panjang, proyek-proyek yang didanai harus memakai barang-barang dari Cina. Bukan itu saja, dalam kenyataannya, tenaga kerja proyek-proyek itu, termasuk tenaga kerja kasar, sebagian diimpor dari negara itu.

Peluang masuknya tenaga kerja asing ke negara ini juga semakin terbuka dengan berlakunya Masyarakat Ekonomi ASEAN tahun ini. Dengan demikian, tenaga kerja profesional yang berasal dari negara-negara ASEAN seperti Singapura, Malaysia dan Thailand semakin berpeluang merebut lapangan pekerjaan di negara ini. Padahal tenaga kerja profesional di negara ini masih banyak yang belum diperlakukan secara layak.

Peran Negara

Di negara yang menganut sistem kapitalisme, isu pengangguran menjadi salah satu indikator utama untuk menilai keberhasilan pemerintah. Di Indonesia, angka pengangguran bersama dengan indikator lainnya seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi dan tingkat kemiskinan dimasukkan dalam target-target Pemerintah baik dalam APBN maupun dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah dan Jangka Panjang.

Hanya saja, fokus Pemerintah adalah upaya menurunkan pengangguran secara agregat, bukan berupaya menyelesaikan masalah pengangguran per individu. Dengan demikian, solusi yang ditempuh Pemerintah juga bersifat agregat. Pemerintah hanya berusaha mendorong pertumbuhan ekonomi dengan mendorong konsumsi, mempermudah investasi dan menggairahkan ekspor. Harapannya, semakin tinggi pertumbuhan ekonomi, tenaga kerja yang diserap akan semakin banyak. Pemerintah dikatakan berprestasi jika mampu menurunkan pengangguran dalam beberapa persen, tak peduli jika jumlah pengangguran yang tersisa masih jutaan orang.

Paradigma peran negara dalam sistem kapitalisme tersebut jelas berbeda dengan Islam. Dalam pandangan Islam, negara wajib menyediakan lapangan pekerjaan kepada setiap warga negaranya. Negara wajib menanggung mereka yang lemah secara fisik seperti orang cacat, orang tua, termasuk wanita jika mereka tidak memiliki kerabat atau kerabatnya tidak sanggup menafkahi mereka. Negara juga wajib membantu mereka yang lemah secara hukum, yakni mereka yang mampu bekerja namun tidak mendapatkan pekerjaan yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Negara wajib menyediakan anggaran yang berasal dari Baitul Mal untuk menyediakan pekerjaan kepada mereka sehingga mereka dapat bekerja secara mandiri. Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah saw.:

الْإِمَامُ رَاعٍ وَمَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

Imam (kepala negara) adalah pemimpin dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia pimpin (HR al-Bukhari).

Salah satu bentuk pelayanan pemimpin yang paling penting adalah menyediakan lapangan pekerjaan bagi orang yang mampu namun belum memiliki pekerjaan.

Rasulullah saw. juga bersabda:

مَنْ تَرَكَ مَالًا فَلِوَرَثَتِهِ وَمَنْ تَرَكَ كَلًّا فَإِلَيْنَا

Siapa saja yang meninggalkan harta maka harta itu untuk ahli warisnya. Siapa saja yang meninggalkan orang yang menjadi tanggungannya maka ia menjadi tanggungan kami (HR al-Bukhari dan Muslim).

Dari hadis ini dapat dipahami orang yang wajib dinafkahi oleh negara. Hal ini juga bermakna wajib bagi negara menyediakan pekerjaan agar ia mampu menafkahi dirinya.

Bahkan secara khusus Rasulullah saw. sebagai kepala negara pernah menyelesaikan masalah seorang sahabat Anshar yang tidak memiliki pekerjaan. Rasulullah saw. meminta sahabat tersebut menjual aset yang dia miliki. Beliau bahkan ikut membantu menjualnya. Hasilnya kemudian digunakan untuk membeli kapak yang dijadikan sebagai sarana mencari nafkah sahabat tadi (HR Ibn Majah).

Khilafah Islam, selain menjamin pemenuhan kebutuhan pokok (pangan, sandang dan perumahan) setiap rakyatnya, layanan pendidikan dan kesehatan juga digratiskan. Dengan kata lain, pembiayaan layanan primer tersebut tidak ditanggung oleh rakyat, termasuk pengusaha. Para pengusaha juga tidak perlu menanggung aneka pajak yang berlaku permanen dan biaya asuransi sosial. Penentuan upah juga ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pekerja dan pemberi kerja; tidak dikenal istilah upah minimum ala sistem kapitalisme atau upah mengikuti harga barang versi komunisme. Sistem keuangan pun tidak mengenal istilah bunga yang selama ini memberatkan para investor. Dengan demikian, iklim bisnis akan sangat kondusif.

Lebih dari itu, negara di dalam Islam, juga tidak terlibat dalam bentuk perjanjian ekonomi yang diharamkan dan merugikan negara seperti perjanjian yang mengandung liberalisasi ekonomi. Pasalnya, setiap kegiatan perdagangan barang dan jasa, aliran tenaga kerja dan investasi lintas negara terikat pada hukum-hukum syariah dan wajib diterapkan dan dikontrol pelaksanaanya oleh negara.

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. []

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*