HTI

Jejak Syariah

Sudan: Terkoyak Oleh Intervensi Asing (Bagian 2)

Karut-marut Sudan semakin tajam tatkala intervensi negara-negara luar (Barat, red.) semakin kuat. Upaya-upaya ’membelah’ Sudan adalah target akhir dari semua rekayasa dan intervensi yang ada. Surat kabar The Washington Post melaporkan bahwa konflik Darfur telah melibatkan banyak pihak, termasuk Amerika Serikat. Hal ini dapat ditelusuri dari peristiwa yang terjadi pada 20 Agustus 1998. Pada hari itu, sejumlah pesawat tempur AS menghancurkan Pabrik Asy-Syifa’, pabrik farmasi terbesar di Sudan Selatan. Pemerintah AS yang saat itu dipimpin oleh Bill Clinton menjelaskan, bahwa penyerangan ini dilakukan karena pabrik tersebut ’diduga’ memproduksi sejumlah bahan yang digunakan untuk membuat senjata kimia. AS ’merekayasa alasan’ untuk intervensi Sudan melalui isu terorisme. Sudan dianggap ’terlibat’ dalam support maupun pendanaan teroris. Pejabat AS meyakini keberadaan pabrik itu mempunyai koneksi dengan Osama bin Laden. Dugaan ini tidak bisa dibuktikan dan penuh kedustaan.

Peristiwa serangan AS ke Pabrik Asy-Syifa’ itu mendapatkan kecaman dari berbagai pihak. Aksi brutal AS di Sudan tersebut sangat mengerikan dan memakan banyak korban sipil yang mati akibat ketiadaan obat. Intervensi semakin masif tatkala ada ‘payung hukum’ secara internasional yang dibuat oleh PBB. Atas rekayasa AS, Dewan Keamanan PBB akhirnya mengeluarkan resolusi kepada Pemerintah Sudan. Pemerintah Sudan diperintahkan untuk menyerahkan 51 tersangka dalam kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan yang umumnya melibatkan pejabat militer Sudan dan anggota milisi Junjuwaid. Sudan harus menyerahkan mereka ke Mahkamah Pengadilan Internasional (ICC). Inilah klaim sepihak oleh AS melalui DK PBB untuk ’melabeli negatif’ beberapa pejabat Sudan dengan tersangka penjahat perang. Dengan legitimasi ini, akan mudah bagi AS untuk menekan secara langsung pemerintahan Sudan agar tunduk dan mengikuti apa yang menjadi arahan dan kehendak dari AS.

Namun, hal ini mendapatkan tantangan keras dari Pemerintah Sudan. Mereka bersikeras untuk menyelesaikan segala permasalahan di dalam negeri tanpa campur tangan pihak asing sedikitpun. Presiden Al-Basyir bahkan menegaskan dalam pidatonya bahwa Pemerintah Sudan tidak pernah takut dengan Inggris, Amerika, dan Dewan Keamanan PBB.

Pada tahun 1993 AS memasukkan Sudan ke dalam daftar negara pendukung teroris. AS menggerakkan agennya di negara-negara tetangga Sudan untuk memuluskan strategi pemecahbelahan Sudan. Pada tahun 1993 pemimpin Eritrea, Etiopia, Uganda dan Kenya merancang prakarsa perdamaian di Sudan melalui IGAD (Intergovermental Authority for Development). Di antara hasil terpenting dari IGAD adalah rancangan Declaration of Principle (DOP) pada tahun 1994. DOP mengidentifikasi elemen dasar yang diperlukan bagi penciptaan perdamaian di Sudan, yaitu: hubungan agama dan negara, pembagian kekuasaan, pembagian kekayaan dan hak untuk menentukan nasib sendiri bagi Sudan Selatan. Pemerintah Sudan tidak menandatangani DOP pada tahun itu.

Sejak kemunculan SPLA (Sudan People’s Liberation Army) pimpinan John Garang, AS-lah yang berada di belakangnya meski pada awalnya melalui tangan Presiden Etiopia, Meningistu. Dukungan AS itu semakin meningkat pada tahun 1990-an. Strategi AS terhadap Sudan dalam semua itu adalah untuk memecah-belah Sudan menjadi negara-negara kecil, lalu mendirikan pemerintahan Kristen di Sudan Selatan.

The Sunday Times (17/11/1996) pernah mengungkap, Pemerintah Clinton meluncurkan kampanye untuk membuat ketidakstabilan Pemerintah Sudan. Lebih dari 20 miliar dolar peralatan militer dikirim ke Eritrea, Etiopia, Uganda, termasuk ke pemberontak SPLA. Adanya support peralatan militer itu menjadikan SPLA bertambah kuat dan bisa merebut kemenangan dalam beberapa bentrokan dengan pasukan Pemerintah. Dengan adanya beberapa kekalahan itu, ditambah tekanan opini umum internasional, akhirnya Pemerintah Sudan menandatangani DOP pada tahun 1997. Pada tahun yang sama Pemerintah menandatangani tiga kesepakatan dengan tiga kelompok penentang yang signifikan, yaitu kesepakatan Kharthoum, Nuba Mountain dan Fashoda Agreement. Ketiga kesekapatan itu sebenarnya mengikuti TOR yang dirancang oleh IGAD. Ketiganya juga menyerukan adanya otonomi pada tingkat tertentu bagi Sudan Selatan.

AS terus masuk lebih dalam lagi. Pada pertengahan 2001, mantan senator John Danforth ditunjuk oleh George Bush Jr. sebagai utusan Presiden untuk mengeksplorasi kemungkinan peran AS secara lebih dalam bagi penciptaan perdamaian di Sudan, khususnya Sudan Selatan – Sudan Utara. Perdamaian yang dimaksud selama ini adalah adanya hak menentukan nasib sendiri bagi Sudan Selatan. Itu artinya adalah kemerdekaan bagi Sudan Selatan. Dengan demikian kedatangan Joh Danforth itu bisa dimaknai sebagai upaya mengeksplorasi lebih dalam jalan untuk memisahkan Sudan Selatan atau memberikan kemerdekaan bagi Sudan Selatan.

Pada bulan Juli 2002 Pemerintah dan SPLA mencapai kesepakatan tentang kekuasaan negara dan agama serta hak menentukan nasib sendiri bagi Sudan Selatan. Kesepakatan itu dinamakan Protokol Machakos, sesuai nama satu kota di Kenya, tempat dilakukan perundingan tahap pertama yang disponsori oleh IGAD dan dimediasi oleh pensiunan jenderal Kenya, Lazaro Sumbeiywo itu. Perundingan tahap selanjutnya dilakukan pada tahun 2003 terkait pembagian kekayaan dan berkaitan dengan tiga daerah yaitu Nuba Mountain, Nile Biru dan Sudan Timur.

Di sisi lain, dukungan Amerika atas milisi separatis Selatan Sudan ternyata sudah dilakukan sejak lama. Washington Times menyebutkan bahwa di akhir tahun 2009, Amerika telah menggelontorkan bantuan pertahun sebesar satu miliar dolar AS kepada kawasan selatan Sudan untuk menciptakan struktur, infrastruktur dan pelatihan militer. Hal ini juga terlihat dari 25 kali kunjungan utusan khusus AS, Scott Gration, ke Sudan dalam dua tahun terakhir dan rapat intensif di Washington. Inilah rekayasa AS yang sangat rapi dan sistematis.

Intervensi AS dan Barat atas Sudan juga karena faktor ekonomi. Pada tahun 1979, perusahaan minyak AS, Chevron, menemukan cadangan minyak di Sudan Selatan yaitu di Bentiu dan Heglig di Prop. Unity sebelah barat Upper Nile. Sejak itu faktor minyak ini menjadi rebutan. Otonomi Sudan Selatan menghendaki pembagian hasil minyak. Presiden Sudan, Numairi, berusaha mengubah batas antara Sudan Selatan dengan Sudan Utara agar lapangan minyak itu masuk ke Sudan Utara. Berikutnya Numairi mengambil langkah lebih keras dengan membatalkan keberadaan wilayah otonomi Sudan Selatan pada tahun 1983. Kemudian Sudan dibagi dalam lima wilayah (propinsi) di Utara dan tiga di Selatan; masing-masing wilayah dipimpin oleh gubernur dari militer. Pembagian seperti itu tetap berlangsung sampai 1997. Pada tahun 1983 itu, Numairi membatalkan AAA (Addis Ababa Agreement) dan menampakkan keinginan untuk menerapkan syariah. Langkah itu kembali memanaskan konflik Sudan Selatan – Sudan Utara.

Selama ini pemberontak di Sudan Selatan sangat loyal kepada Inggris. AS bisa dikatakan tidak memiliki pengaruh terhadap kelompok pemberontak Sudan Selatan. Namun, setelah terungkap adanya minyak di Sudan Selatan, hal itu menarik AS dan membuat AS berusaha merebut pengaruh atau kalau bisa mendominasi pemberontak Sudan Selatan. Kebijakan Numairi—yang notabene adalah pengikut AS—tersebut dimanfaatkan sebagai celah untuk melangsungkan niyat itu. Karena itu AS melalui tangan Presiden Etiopia yang menjadi agennya, yaitu Mengistu Haile Meriem, yang menampakkan sebagai seorang Marxist, terbentuk SPLA yang dipimpin oleh John Garang pada Juni 1983. Untuk mengaburkan keagenan itu, karena menampakkan berhaluan Marxist, SPLA juga mendapat dukungan dari Uni Soviet kala itu. Adanya dukungan Soviet itu menunjukkan Uni Soviet juga mengincar Sudan Selatan yang kaya minyak itu. Dengan begitu ada tiga kekuatan besar yang saling bersaing di Sudan Selatan ketika itu, yaitu AS, Inggris dan Uni Soviet. Setelah Uni Soviet bubar, maka SPLA sepenuhnya berada di bawah pengasuhan dan suport AS.

Setelah rekayasa berjalan mulus dan semua persiapan pemisahan Sudan telah mencukupi semua kondisinya, maka ’sentuhan akhir pun’ dilakukan, yakni merekayasa referendum pemisahan. Tahap-tahap rekayasa dimulai dengan perjanjian yang diadakan pada hari Ahad, 28 Dzulqadah 1425/9 Januari 2005, antara Pemerintah Sudan dan SPLA yang dipimpin oleh Dr. John Garank. Perjanjian tersebut telah menyepakati adanya referendum gencatan senjata antarkedua belah pihak dan memberikan kesempatan otonomi daerah kepada pihak Sudan Selatan untuk menjalankan pemerintahan sendiri selama enam tahun. John Garank sendiri diangkat menjadi wakil presiden pertama Sudan dan memegang kepemimpinan tertinggi di Sudan Selatan. Maka dari itu, terbentuklah negara dalam negara. Ketika pihak Aljazeera mengkonfirmasikan hal ini kepada Presiden Al-Basyir, ia menegaskan bahwa seluruhnya tetap berada dalam lingkup Republik Sudan tapi dengan dua macam undang-undang pemerintahan—sebuah langkah awal yang mulus.

Setelah 6 tahun berjalan, waktu referendum pun tiba. Referendum ini bersifat mengikat. Dalam referendum Sudan waktu itu, rakyat Sudan Selatan diberikan 2 pilihan, antara persatuan atau perpisahan. Hasil dari referendum yang berlangsung dari 9 Januari hingga 15 januari 2011 itu menunjukkan hasil; 95% dari warga di Sudan Selatan memilih untuk berpisah (kemerdekaan Sudan Selatan). Dari 3.851.994 penduduk yang memilih, hanya 44.888 yang memilih untuk tetap menyatukan kedua daerah tersebut. Sejak saat itu, Sudan resmi terkoyak. AS berhasil menjalankan makarnya memecah-belah Sudan dan meninggalkan Sudan dalam kondisi porak-poranda. [Gus Uwik – dari berbagai macam sumber]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*