HTI

Opini (Al Waie)

Demokrasi Menindas Wanita

Indonesia kini disebut-sebut sebagai salah satu negara “the third largest democracy in the world” setelah India dan Amerika Serikat. Padahal demokrasi adalah dogma jahiliah yang memborgol umat manusia saat ini ke dalam abad kegelapan. Empat pilar penyangga demokrasi diyakini para penganutnya sebagai pembawa kemajuan yaitu: kebebasan beragama, kebebasan berpendapat, kebebasan kepemilikan dan kebebasan berperilaku. Sistem demokrasi telah melahirkan sistem ekonomi kapitalisme yang rakus dan eksploitatif.

Sebagai sistem politik, demokrasi gagal membangun peradaban. Kerusakan telah tampak di muka bumi akibat penerapan demokrasi. Aristoteles dan Mantan PM Inggris Winston Churchil pun pernah menyatakan bahwa demokrasi adalah sistem yang akan gagal.

Atas nama kebebasan, yang didukung oleh paham feminisme, perempuan berbondong-bondong keluar rumah untuk berkarier dan menuntut persamaan kedudukan dan hak-haknya agar setara dengan kaum laki-laki.

Perempuan pun didorong untuk mandiri dalam finansial. Selanjutnya perempuan yang telah mandiri secara finansial tidak perlu bergantung pada laki-laki (suami). Bila perempuan telah berperan dalam finansial keluarga, maka peran domestik tidak lagi menjadi tanggung jawab perempuan.

Perempuan juga diarahkan pada kebebasan dalam menentukan hak reproduksinya sendiri. Dengan legalisasi aborsi, kaum perempuan tidak perlu khawatir untuk menghentikan kehamilan yang menghambat mereka beraktivitas publik. Legalisasi seks bebas dikuatkan melalui program kondomisasi dengan dalih mencegah HIV/AIDS dan program Kesehatan Reproduksi Remaja (KRR).

Di negara-negara pelopor kebebasan perempuan seperti Amerika, single parent banyak menjadi pilihan para perempuan yang berkarir. Pernikahan tidak lagi penting. Seks bebas menjadi solusi hak reproduksi perempuan.

Demokrasi juga merampas suara kaum wanita. Dalam kontestasi pemilu demokrasi, partisipasi kaum wanita relatif lebih tinggi dibanding laki-laki. Namun, dalam konteks politik transaksional yang dilestarikan oleh demokrasi, suara-suara perempuan tidak didengarkan, bahkan kemerdekaan mereka dirampas habis.

Realitasnya, demokrasi menipu, merusak dan menindas, khususnya terhadap kaum wanita. Ide-ide kebebasan demokrasi tidak memuliakan wanita; wanita justru bertambah rusak moralnya.

Sebaliknya, Islam telah memuliakan wanita dengan tugas pokok menjadi ibu serta pengatur rumah.  Mereka pun mulia karena peran utama tersebut juga ditunjang dengan beberapa peran dalam kehidupan melalui ketentuan syariah yang berlaku bagi laki-laki dan wanita.

Islam juga telah memuliakan perempuan dengan menjamin hak-haknya sebagai manusia. Islam menjamin hak perempuan untuk dilindungi kehormatan, akal, harta, jiwa, agama dan keamanannya. Islam juga menjamin hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan. Perempuan juga dijamin hak berpolitiknya oleh syariah Islam.

Dalam konteks sistem politik Islam, Khilafah Islam mampu membangun masyarakat yang peduli sehingga dapat melakukan kontrol terhadap semua bentuk serangan kepada perempuan dan pelanggaran terhadap hukum syariah. Khilafah pun melakukan kontrol atas media massa yang bisa merusak gaya hidup perempuan.

Clear, demokrasi harus diganti. Umat Islam harus membatalkan kontrak politik demokrasi dengan kontrak politik yang baru yang manusiawi, yakni tegaknya tatanan yang bermartabat: Khilafah Rasyidah ‘ala minhajin nubuwwah, di bawah kepemimpinan seorang khalifah yang adil. WalLâhu a’lam. [Ustadzah Ainun Dawaun Nufus; MHTI Kediri (Ibu Rumah Tangga)]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*