Pertanyaan:
Dinyatakan di dalam Kitab Nizhâm al-‘Uqûbât, bahwa pembunuhan itu ada empat jenis. Jenis keempat adalah pembunuhan yang diserupakan dengan pembunuhan karena keliru (mâ ujriya majrâ al-khatha’), yakni pembunuhan tanpa keinginan si pelaku. Pertanyaannya: Jika pembunuhan itu bukan karena keinginan pelaku, lalu mengapa harus ada diyat (denda)? Padahal ada hadis yang menyatakan bahwa telah diangkat pena (sanksi hukum, red.) dari umatku karena keliru (khathâ’).
Jawab:
Pertama: Apa yang ditanyakan di dalam Nizhâm al-‘Uqûbât adalah bahwa, “Pembunuhan itu ada empat bentuk: yang disengaja (al-‘amad); yang mirip disengaja (syibhu al-‘amad); karena keliru (al-khathâ’); yang diserupakan dengan pembunuhan karena keliru (mâ ujriya majrâ al-khatha’).”
Pembunuhan disengaja jelas dari firman Allah SWT:
وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِناً مَتَعَمِداً
Siapa saja yang membunuh seorang Mukmin dengan sengaja (QS an-Nisa’ [4]: 93).
Yang mirip dengan pembunuhan yang disengaja (syibhu al-‘amadi) juga jelas dari apa yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Amru bin al-‘Ash bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
أَلاَ إِنَّ دِيَةَ الْخَطَإِ شِبْهِ الْعَمْدِ مَا كَانَ بِالسَّوْطِ وَالْعَصَا مِائَةٌ مِنَ الإِبِلِ مِنْهَا أَرْبَعُونَ فِى بُطُونِهَا أَوْلاَدُهَا
Ketahuilah, diyat pembunuhan yang keliru yang mirip dengan pembunuhan disengaja, yang dilakukan dengan cemeti atau tongkat, adalah 100 ekor unta, yang 40 di antaranya sedang bunting (HR Abu Dawud dan al-Baihaqi).
Pembunuhan karena keliru (al-khatha’) juga jelas dinyatakan di dalam firman Allah SWT:
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَن يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلاّخَطَأً وَمَن قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُّؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُّسَلَّمَةٌ إِلَىٰ أَهْلِهِ إِلاَّ أَن يَصَّدَّقُوا
Tidak layak seorang Mukmin membunuh Mukmin (yang lain), kecuali karena keliru. Siapa saja yang membunuh seorang Mukmin karena keliru (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah (QS an-Nisa’ [4]: 92).
Adapun pembunuhan yang diserupakan dengan pembunuhan karena keliru merupakan bagian dari pembunuhan karena keliru. Hanya saja, terhadap jenis pembunuhan semacam ini tidak berlaku definisi pembunuhan karena keliru. Ini karena faktanya berbeda dengan pembunuhan karena keliru. Pembunuhan karena keliru disertai dengan keinginan pelaku, tetapi pembunuhan itu salah sasaran. Adapun pembunuhan yang diserupakan dengan pembunuhan karena keliru tidak disertai dengan keinginan pelaku sama sekali. Jadi pembunuhan itu terjadi benar-benar tanpa keinginan sang pelaku. Pembunuhan semacam ini jelas berbeda dengan fakta pembunuhan karena keliru. Contoh: Seseorang sedang tidur, lalu dia berbalik dan tanpa sengaja menindih seseorang (misal: bayi, red.) yang mengakibatkan dia terbunuh. Contoh lain: Seseorang terjatuh dari ketinggian menimpa seseorang dan menyebabkan orang itu terbunuh; atau ia terkena musibah, misal terjatuh, lalu menimpa seseorang yang menyebabkan orang itu terbunuh. Karena itu hukumnya adalah seperti hukum bagian pertama, yakni seperti pembunuhan karena keliru (al-khatha’); di dalamnya ada diyat 100 ekor unta, juga ada kaffarah, yaitu membebaskan seorang budak, yang jika tidak ditunaikan harus diganti dengan berpuasa dua bulan berturut-turut.
Kedua: Terkait hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dari Ibnu Abbas bahwa Nabi saw. pernah bersabda:
إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا اسْتُكْرِهُوا عليه
Sesungguhnya Allah mengabaikan (hukuman, red.) dari umatku karena al-khatha’ (kekeliruan), lupa dan karena apa yang dipaksakan atas dirinya (HR Ibn Hibban).
Hadis ini bermakna, bahwa Allah SWT tidak menghukum orang yang keliru, lupa atau dipaksa. Artinya, perbuatan mereka tidak berkonsekuensi dosa karena Allah SWT memang mengabaikan hal itu. Karena itu orang yang membunuh orang lain karena keliru—misalnya dia menembakkan senapan ke arah seekor burung tetapi malah pelurunya nyasar mengenai seseorang—tidak dianggap berdosa secara syar’i. Demikian pula orang yang membunuh orang lain dengan pembunuhan yang diserupakan dengan pembunuhan karena keliru, seperti dia jatuh dari ketinggian dan menimpa orang lain hingga dia terbunuh, dia tidak berdosa secara syar’i. Alasannya, karena kasus pembunuhan dalam dua kondisi tersebut tidak terkait dengan hadis yang mulia tersebut.
Mungkin ada anggapan bahwa membayar diyat adalah sanksi atas perbuatan membunuh. Padahal dalam kasus tersebut (pembunuhan karena keliru atau yang diserupakan dengan pembunuhan karena keliru, red.) tidak ada keinginan pelaku, tetapi itu terjadi secara terpaksa. Pertanyaannya: Jika demikian, mengapa dia dihukum?
Jawabannya, karena diyat dalam kasus pembunuhan karena keliru atau yang diserupakan dengan pembunuhan karena keliru bukanlah merupakan bentuk hukuman. Faktanya, diyat tersebut wajib dalam harta al-‘âqilah (kerabat pelaku yang menjadi ‘ashabah-nya) yaitu: saudara laki-lakinya, paman-pamannya (saudara-saudara laki-laki bapak), anak-anak laki-laki mereka dan seterusnya ke bawah. Padahal pada dasarnya mereka ini tidak melakukan apa-apa. Diyat itu bukan wajib dalam harta pembunuh yang membunuh karena keliru. Seandainya hukuman itu berlaku atas pelaku, niscaya diyat itu diwajibkan dalam hartanya, seperti diyat yang diwajibkan dalam harta pembunuh dalam kasus pembunuhan disengaja.
Di antara dalil-dalil syar’i yang menegaskan bahwa diyat pembunuhan karena keliru (al-qatlu al-khatha’) tidak berada dalam harta si pembunuh, melainkan dalam harta al-‘âqilah (kerabat si pelaku yang menjadi ‘ashabah-nya), adalah sebagai berikut:
Ibnu Majah telah mengeluarkan hadis di dalam Sunan-nya dari al-Mughirah bin Syu’bah yang berkata:
قَضَى رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالدِّيَةِ عَلَى الْعَاقِلَةِ
Rasululalh saw. telah memutuskan diyat wajib atas al-‘aqilah (HR Ibn Majah).
Para fukaha yang mengambil pendapat demikian antara lain:
Abu Yusuf, sahabat Abu Hanifah, yang mengatakan di dalam kitab al-Atsâr, “(Di dalam) pembunuhan karena keliru—yakni di dalam pembunuhan yang Anda inginkan, tetapi menimpa sasaran yang salah—dengan menggunakan senjata ada diyat yang wajib atas al-‘âqilah.”
Di dalam As-Sunan al-Kubrâ al-Baihaqi dinyatakan bahwa Asy-Syafii rahimahulLâh berkata, “Saya tidak tahu bahwa Rasulullah saw. memutuskan diyat wajib atas al-‘aqilah. Ini lebih banyak dari hadis yang bersifat khusus dan kami telah menyebutkannya termasuk hadis khusus).”
Demikian juga di dalam Al-Umm karya Imam asy-Syafii, “Diyat itu ada dua jenis: diyat pembunuhan disengaja dalam harta pelaku tanpa menyertakan (harta) ‘âqilah-nya, sedikit atau banyak; diyat pembunuhan karena keliru wajib atas (harta) ‘aqilah (kerabat pelaku yang menjadi ‘ashabah-nya), baik diyat itu sedikit atau banyak.”
Di dalam Al-Mughni, Ibn al-Qudamah berkata: Ibn al-Mundzir berkata, “Seluruh ahli ilmu yang kami ketahui telah berijmak, bahwa terkait pembunuhan karena keliru—yakni seseorang melempar sesuatu lalu mengenai sasaran yang salah—saya tidak tahu mereka berselisih pendapat di dalamnya. Inilah pendapat Umar bin Abdul Aziz, Qatadah, Nakha’i, Az-Zuhri, Ibn Syubrumah, ats-Tsauri, Malik, Syafii dan ulama ahlur-ra’yi. Dengan demikian pembunuhan karena keliru wajib dikenakan diyat atas al-âqilah (kerabat yang menjadi ‘ashabah si pelaku) sekaligus kaffarat dari harta pelaku. Yang kami ketahui, tidak ada ikhtilaf terkait ketentuan ini.
Kesimpulannya, diyat dalam kasus pembunuhan karena keliru bukan merupakan sanksi (‘uqûbat) atas pelakunya, dalam arti dia dianggap telah berdosa karena telah membunuh secara keliru. Jika dia dianggap berdosa, tentu diyat itu harus berasal dari harta pelaku, bukan dari harta ‘âqilah (kerabat dekat pelaku yang menjadi ashabah-nya) yang notabene mereka bukan pelakunya. Karena itulah pelaku pembunuhan karena keliru atau yang diserupakan dengan pembunuhan karena keliru tidak dipandang berdosa. Hadis yang mulia di atas menyatakan demikian.
Jika demikian mengapa syariah mewajibkan diyat atas harta al-‘âqilah dalam kasus pembunuhan karena keliru dan pembunuhan yang diserupakan dengan pembunuhan karena keliru? Dalam hal ini, hikmah terkait itu tidak dijelaskan oleh syariah kepada kita. WalLâhu a’lam wa ahkam.
[Dinukil dari: Silsilah Jawaban Asy-Syaikh al-‘Alim Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah Amir Hizbut Tahrir Atas Pertanyaan di Akun Facebook Beliau “Fiqhiyun”
kepada Hamzeh Shihadeh/https://www.facebook.com/AmeerhtAtabinKhalil/photos/a.122855544578192.1073741828.122848424578904/449111148619295/?type=3&theater]