HTI

Tafsir (Al Waie)

Kepastian Berita Al-Quran (2)

(Tafsir QS at-Takwir [81]: 22-29)

وَمَا صَاحِبُكُمْ بِمَجْنُونٍ * وَلَقَدْ رَآهُ بِالأفُقِ الْمُبِينِ * وَمَا هُوَ عَلَى الْغَيْبِ بِضَنِينٍ * وَمَا هُوَ بِقَوْلِ شَيْطَانٍ رَجِيمٍ * فَأَيْنَ تَذْهَبُونَ * إِنْ هُوَ إِلا ذِكْرٌ لِلْعَالَمِينَ * لِمَنْ شَاءَ مِنْكُمْ أَنْ يَسْتَقِيمَ * وَمَا تَشَاءُونَ إِلا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ *

Teman kalian (Muhammad) itu sekali-kali bukanlah orang gila. Sesungguhnya Muhammad itu melihat Jibril di ufuk yang terang. Dia (Muhammad) bukanlah orang yang bakhil untuk menerangkan yang gaib. Al-Quran itu bukanlah perkataan setan yang terkutuk. Karena itu ke manakah kalian akan pergi? Al-Quran itu tiada lain hanyalah peringatan bagi alam semesta, (yaitu) bagi siapa saja di antara kalian yang mau menempuh jalan yang lurus. Kalian tidak dapat berkehendak (menempuh jalan itu) kecuali jika dikehendaki oleh Allah, Tuhan alam semesta (QS at-Takwir [81]: 22-29).

Dalam ayat-ayat sebelumnya diterangkan tentang kebenaran dan keutamaan al-Quran. Hal itu bisa dilihat dari segi utusan Allah SWT yang menjadi penyampainya. Yang mendapatkan tugas menyampaikan kitab tersebut adalah Jibril as., malaikat yang kuat, memiliki posisi dan kedudukan yang tinggi dan mulian, ditaati oleh penduduk langit dan terpercaya. Selain itu bisa dilihat dari pihak yang menerima, yakni Rasulullah saw. Ayat-ayat ini pun menjelaskan sebagian hal tentang beliau.

Tafsir Ayat

Allah SWT berfirman: Wamâ shâhibukum bi majnûn (Temanmu [Muhammad] itu sekali-kali bukanlah orang gila). Yang dimaksud dengan shâhibukum adalah Nabi Muhammaad saw. Demikian penjelasan para mufassir.1

Ayat ini menegaskan bahwa Muhammad itu bukan orang yang majnûn (gila) sebagaimana dituduhkan oleh orng-orang kafir Makkah. Mereka menuduh beliau sebagai orang gila dan semua yang diucapkan beliau sesunguhnya berasal dari beliau sendiri. Ayat ini pun menafikan tuduhan gila itu dari beliau, juga tuduhan bahwa al-Quran itu berasal dari diri beliau.2

Penggunan kata shâhibukum (sahabat kalian) mengisyaratkan bahwa mereka mengetahui benar keadaan beliau; bahwa beliau tidak gila dan lain-lain seperti yang mereke tuduhkan; dan bahwa mereka membuat-buat tuduhan dusta. Padahal mereka mengetahui beliau adalah orang yang paling cerdas dan paling sempurna di antara mereka.3

Sebagaimana ayat Innahu laqawl Rasûl Karîm, ayat ini juga berkedudukan sebagai jawâb al-qasam, perkara yang ditegaskan dalam sumpah sebelumnya. 4Dalam hal ini Allah SWT bersumpah bahwa al-Quran diturunkan melalui Jibril as., juga bahwa Muhammad saw. tidak seperti yang mereka klaim, yakni orang gila dan mendatangkan al-Quran sendiri.5

Kemudian Allah SWT berfirman: Walaqad râ‘ahu bi al-ufuq al-mubîn (Sesungguhnya Muhammad itu melihat Jibril di ufuk yang terang). Ayat ini masih melanjutkan tentang Rasulullah saw., yakni mengisahkan sebuah peristiwa besar yang beliau alami, bahwa belaiu benar-benar telah melihat dia. Dia yang dimaksud ayat ini adalah Jibril as. Menurut para mufassir, Nabi Muhammad saw. telah melihat Jibril yang membawa risalah dari Allah SWT itu dalam bentuk aslinya, yang memiliki enam ratus sayap.6

Malaikat Jibril itu bi al-ufuq al-mubîn. Yang dimaksud dengan al-ufuq al-mubîn (ufuk yang terang) adalah tempat terbitnya matahari dari arah timur. Hal itu karena ufuk tersebut, ketika matahari terbit darinya, menjadi terang. Dari arah tersebut pula terlihat segala sesuatu.7

Selanjutnya Allah SWT berfirman: Wamâ huwa ‘alâ al-ghayb bi dhanîn (Dia [Muhammad] bukanlah seorang yang bakhil untuk menerangkan yang gaib). Ayat ini masih memberitakan keadaan Nabi Muhammad saw. Dhamîr huwa masih menunjuk kepada beliau.

Yang dimaksud dengan al-ghayb dalam ayat ini adalah al-Quran beserta semua kabar dan kisah yang ada di dalamnya.8 Dhanîn berarti bakhîl (bakhil, kikir). Kata al-dhannah adalah bakhil terhadap sesuatu yang bagus dan berharga.9 Dengan demikian, ayat ini menegaskan bahwa Nabi Muhammad tidak kikir dan bakhil terhadap al-Quran beserta kabar dan semua yang diwahyukan kepada beliau. Semua disampaikan kepada manusia.

Qatadah berkata, “Al-Quran adalah sesuatu yang gaib. Lalu Allah SWT menurunkan al-Quran itu kepada Muhammad saw. Beliau pun tidak bakhil untuk menerangkan al-Quran itu kepada manusia. Beliau justru menyebarkan, menyampaikan, dan mencurahkan upayanya untuk setiap orang yang menginginkan al-Quran.” Pendapat ini juga disetujui oleh Ikrimah, Ibnu Zaid, dan lain-lainnya.10

Abu Ali al-Farisi berkata, “Beliau menerima berita ghaib, lalu menerangkan dan tidak menyembunyikannya; tidak seperti para peramal yang menyembunyikan (berita ghaib) dan tidak mau menyampaikan kecuali mendapatkan imbalan atasnya.”11

Ada juga sebagian ulama yang membaca ayat ini dengan bi zhanîn (dengan huruf al-zha‘, bukan dhad). Kata tersebut bermakna bi mazhnûn. Artinya, at-tuhmah (dituduh);12 yakni dituduh menambah, mengurangi, mengubah, atau menukarnya.13

Kemudian Allah SWT berfirman: Wamâ huwa bi qawl syaythân rajîm (Al-Quran itu bukanlah perkataan setan yang terkutuk). Jika dhamîr al-ghâ’ib pada ayat sebelumnya menunjuk kepada Rasulullah saw., maka dalam ayat ini menunjuk pada al-Quran. Menurut Imam al-Qurthubi, frasa wamâ huwa yakni al-Quran.

Ditegaskan bahwa al-Quran bukan perkataan syaythân rajîm. Kata rajîm bermakna marjûm; artinya ma’lûn (terkutuk), sebagaimana dinyatakan kaum Quraisy.14 Ibnu Katsir berkata, “Al-Quran ini bukanlah perkataan setan. Artinya, setan tidak mampu membawa al-Quran, tidak menginginkan al-Quran dan tidak layak bagi dia.”15

Asy-Syaukani berkata, “Al-Quran bukanlah perkataan setan yang mencuri-curi dengar berita-berita dari langit, yang dilempari dengan panah api.”

Oleh karena itu, ayat ini menegasikan ucapan mereka bahwa al-Quran itu merupakan perdukunan.16

Dengan demikian, semua tuduhan mereka terbantahkan sehingga tidak ada alasan bagi mereka untuk mendustakan al-Quran dan rasul penerimanya, Nabi Muhammad saw. Terhadap mereka, Allah SWT pun berfirman: Fa ayna tadzhabûna (Karena itu ke manakah kalian akan pergi?).

Menurut Ibnu Katsir, ayat ini bermakna: “Ke manakah perginya akal kalian ketika kalian mendustakan al-Quran. Padahal sudah jelas, terang dan nyata bahwa al-Quran itu berasal dari Allah SWT?”17

Qatadah berkata, “Lalu ke manakah kalian berpaling dari perkataan ini dan ketaatan kepadanya.”18

Hal yang sama juga dikemukakan al-Khazin, seraya berkata, “Padahal di dalamnya terdapat obat, petunjuk dan penjelasan.”19

Sedikit berbeda, menurut az-Zajjaj ayat ini berarti, “Lalu manakah jalan yang kalian tempuh itu lebih terang dari jalan ini yang telah dijelaskan kepada kalian?”20

Penjelasan serupa juga dikemukakan Fakhruddin ar-Razi.21

Kemudian Allah SWT berfirman: In huwa illâ dzikr li al-‘âlamîn (Al-Qur’an itu tiada lain hanyalah peringatan bagi alam semesta). Perkara yang dibicarakan ayat ini masih tetap, yakni al-Quran. Ditegaskan ayat ini bahwa al-Quran tidak lain hanyalah dzikr li al-‘âlamîin.

Kata dzikr di sini bermakna mawizhah wa zajr (nasihat dan peringatan).22 Adapun al-‘âlamîn meliputi jin dan manusia,23 bahkan menurut ar-Razi dan al-Khazin, mencakup seluruh makhluk. Al-Khazin berkata, “Nasihat bagi seluruh makhluk.”24

Fakhruddin ar-Razi juga berkata, “Bayân wa hidâyah li al-khalq ajma’în (penjelasan dan petunjuk bagi seluruh makhluk).25

Dengan demikian, sebagaimana dinyatakan Ibnu Katsir, al-Quran adalah peringatan bagi seluruh makhluk, agar mereka selalu ingat dengannya dan menjadikannya sebagai nasihat bagi mereka.

Allah SWT berfirman: Li man syâ‘a minkum an yastaqîm (yaitu) bagi siapa di antara kalian yang mau menempuh jalan yang lurus). Menurut az-Zamakhsyari, Fakhruddin ar-Razi dan asy-Syaukani, ayat ini merupakan badal (keterangan pengganti) bagi kata sebelumnya, yakni kata: al-‘âlamîn.26

Menurut ar-Razi, diperkirakan kalimat sebenarnya adalah: Al-Quran itu tiada lain hanyalah peringatan bagi orang-orang di antara kalian yang ingin menempuh jalan lurus. Badal atau keterangan pengganti itu dapat memberikan pengertian bahwa orang-orang yang menginginkan istiqamah (hidup lurus) dengan masuk ke dalam Islam adalah orang-orang yang mendapatkan manfaat dari peringatan tersebut sehingga seolah-olah selain mereka tidak dinasihati. Artinya, sesungguhnya al-Quran hanya berguna bagi orang-orang yang mau saja.27 Padahal sesungguhnya nasihat dan peringatan itu ditujukan untuk semua.

Asy-Syaukani berkata, “Bagi orang-orang di antara kalian yang menghendaki istiqamah dalam kebenaran, keimanan dan ketaatan.”

Menurut al-Khazin, “Bagi orang yang mengikuti kebenaran dan menegakkannya, serta bermanfaat baginya.”28

Ibnu Katsir berkata, “Siapa saja yang menginginkan hidayah, harus dengan al-Quran ini. Sebab, al-Quran adalah penyelamat dan petunjuk bagi mereka. Tidak ada petunjuk selain al-Quran.”29

Lalu surat ini diakhiri dengan firman Allah SWT: Wamâ tasyâ‘ûna illâ an yasyâ‘ul-Lâh Rabb al-‘âlamîn (Kalian tidak dapat berkehendak (menempuh jalan itu) kecuali jika dikehendaki oleh Allah, Tuhan alam semesta). Menurut al-Qurthubi dan al-Khazin, dengan ayat ini Allah SWT menerangkan bahwa tidak ada seorang pun hamba mengerjakan kebaikan kecuali dengan taufik Allah SWT; dan tidak pula mengerjakan keburukan kecuali Dia membiarkannya.30 Menurut asy-Syaukani, ada beberapa ayat lain isinya yang serupa dengan ayat ini, seperti QS Yunus [10]: 100, al-An’am [6]: 111, dan al-Qashash [28]: 56.

Beberapa Perkara Penting

Terdapat banyak pelajaran yang dapat di ambil dari ayat-ayat ini. Pertama: Kebenaran Rasulullah saw. sebagai penerima wahyu. Ketika Rasulullah saw. menyampaikan al-Quran kepada mereka dan keberadaan beliau sebagai utusan Allah SWT, beliau banyak menuai penolakan; termasuk dari kaumnya sendiri, yakni kaum Quraisy. Tak hanya itu, mereka juga melontarkan berbagai tuduhan dusta kepada Rasulullah saw. Di antaranya beliau dituduh gila. Selain dalam ayat ini, tuduhan mereka itu juga diberitakan dalam beberapa ayat lain, seperti QS al-Hijr [15]: 6, al-Qalam [68]: 51, dan lain-lain.

Tentu tuduhan tersebut sama sekali tidak berdasar. Mereka mengetahui sejarah kehidupan Rasulullah saw., mulai dari kecil hingga dewasa. Mereka juga bergaul bersama beliau puluhan tahun lamanya. Sama sekali tidak ada tanda-tanda gila pada tindakan dan ucapan beliau. Sebaliknya, yang tampak adalah kecerdasan dan kemuliaan beliau. Karena itu tuduhan mereka bahwa Nabi Muhammad adalah orang gila menjadi gugur.

Tuduhan lainnya, al-Quran itu merupakan perkataan kâhin (dukun atau paranormal). Sumber perkataan mereka tentang yang gaib adalah setan. Tuduhan tersebut juga jelas mengada-ada. Bagaimana mungkin berasal dari setan, sementara di dalam al-Quran amat banyak ayat yang berisi larangan mengikuti ajakan dan langkah-langkah setan. Mengikuti setan hanya akan menyebabkan pelakunya sensara di dunia. Di dalam al-Quran juga ada peringatan bahwa setan adalah musuh yang nyata bagi manusia. Karena itu dalam ayat ini ditegaskan bahwa al-Quran bukan perkataan setan. Selain ayat ini, penegasan yang sama juga disebutkan dalam beberapa ayat lain, seperti QS ath-Thur [52]: 29 dan al-Haqqah [69]: 42.

Jika semua klaim kaum kafir itu telah terbantah dan telah terbukti dengan terang bahwa al-Quran berasal dari Allah SWT, atas dasar apa mereka tetap bersikeras menolak al-Quran? Jika demikian, ke manakah akal mereka yang dianugerahkan Allah SWT untuk berpikir? Ataukah mereka memang sengaja berpaling dari kebenaran? Ingatlah, bumi yang mereka injak ini adalah milik Allah SWT. Jika mereka tetap tidak mau tunduk kepada Sang Pamilik bumi dan langit beserta seluruh isinya, ke manakah mereka akan pergi? Di manakah mereka bisa terbebas dari kekuasaan Allah SWT?

Kedua: Orang yang mendapatkan petunjuk dan manfaat dari al-Quran. Al-Quran adalah kitab yang berisi petunjuk dan nasihat bagi seluruh manusia. Akan tetapi, faedah itu hanya didapatkan oleh mereka yang mengimani dan mengamalkan al-Quran. Kehidupan mereka di dunia akan berada di jalan yang lurus. Itulah jalan yang mengantarkan pelakunya ke surga dan ridha Allah SWT. Inilah yang ditegaskan ayat ini. Al-Quran itu menjadi nasihat dan peringatan li man syâ‘a minkum an yastaqîm, bagi orang-orang yang menginginkan jalan lurus.

Hal ini juga ditegaskan dalam beberapa ayat lainnya. Dalam QS al-Baqarah ayat 2, misalnya, disebutkan bahwa al-Quran itu huda[n] li al-muttaqîn, petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa. Demikian juga dalam firman Allah SWT yang lain (Lihat, misalnya: QS al-A’la [87]: 10)

Sebaliknya, bagi mereka yang ingkar, al-Quran sama sekali tidak bermanfaat. Bahkan al-Quran hanya menambah kerugian bagi mereka (Lihat: QS al-Isra‘ [17]: 82).

Ketiga: Orang yang mendapatkan taufik dari Allah SWT dalam petunjuk. Dalam ayat ini disebutkan Wamâ tasyâ‘ûna illâ an yasyâ‘ul-Lâh (Kalian tidak dapat berkehendak [menempuh jalan itu]). Sebagaimana diterangkan para ulama, ayat ini menerangkan bahwa tidak ada seorang pun hamba mengerjakan kebaikan kecuali dengan taufik Allah SWT; tidak pula mengerjakan keburukan kecuali Dia telah membiarkannya.

Patut dicatat, taufik dari Allah SWT itu perlu diusahakan oleh manusia. Di antaranya adalah mau beriman dan berkeinginan kuat untuk menjadikan al-Quran sebagai petujuk dalam menjalani kehidupannya. Ketika keinginan ada dan diwujudkan dalam upaya untuk merealisasikannya, niscaya akan taufik-Nya akan diberikan. Mereka diberikan kemudahan dan kelapangan oleh Allah SWT dalam menjalani kehidupan di atas petunjuk-Nya (lihat QS at-Taghabun [54]: 11).

Dalam QS Yunus [10]: 9 juga diterangkan bahwa orang-orang yang beriman dan beramal shalih diberi petunjuk Allah SWT karena keimanan mereka. Di dalam QS al-Anfal: 29, orang-orang yang beriman dijanjikan jika mereka bertakwa kepada Allah SWT akan diberi furqân. Dalam QS al-Lail [92]: 57 diterangkan, siapa saja bersedekah, bertakwa, dan membenarkan yang baik, akan dimudahkan mendapatkan kebaikan.

Sebaliknya, jika keinginan itu tidak ada, bahkan sejak awal menolak, mengingkari dan dan mendustakan serta lebih memilih jalan kesesatan dan berpaling dari petunjuk-Nya, maka taufik itu tidak diberikan. Bahkan pelakunya justru semakin disesatkan sebagai hukuman atas pembangkangan mereka (Lihat: QS al-Shaff [61]: 5).

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.; ]

Catatan kaki:

1       Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8 (tt: Dar Thayyibah, 1999), 339; ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24 (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 259; asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5 (Damaskus: Dar al-Kutub al-Thayyib, 1994), 474; al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 264; al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5 (Madinah: Maktabah al-‘Ulum wa al-Hikam, 2003), 526.

2       Al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’â al-Tanzîl, vol. 4, 399.

3       Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 474.

4       Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1969), 240; al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’â al-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 399.

5       Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 474.

6       Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8, 339; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 241; al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5, 526

7       Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 241; az-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1987), 713. Lihat juga asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 474.

8       Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31 (Beirut: Dar Ihya‘ al-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 70; al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 242.

9       Al-Asfahani, al-Mufradât fî Gharîb al-Qur‘ân (Damaskus: Dar al-‘Ilm, 1992), 512. Lihat juga al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4, 713; al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5, 527; Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, vol. 10 (Beirut: Dar al-Fikr, 1420 H), 419.

10      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8, 339

11      Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 70.

12      Ar-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4, 713; al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5, 527.

13      Al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5, 527.

14      Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 242. Penjelasan serupa juga dikeuakan oleh al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub a;-‘Ilmiyyah, 1995), 265.

15      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8, 339

16      Al-Alusi, h al-Ma’ânî, vol. 15, 265.

17      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8, 340

18      Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 243.

19      Al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’â al-Tanzîl, vol. 4, 400.

20      Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 243.

21      Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 71.

22      Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 243.

23      As-Samarqandi, Bahr al-‘Ulûm, vol. ; al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5, 526.

24      Al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’â al-Tanzîl, vol. 4, 400.

25      Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 71.

26      Az-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4, 713; ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 71; asySyaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 474.

27      Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 71. Lihat juga dalam az-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, vol. 4, 713.

28      Al-Khazin, Lubâb al-Ta‘wîl fî Ma’â al-Tanzîl, vol. 4, 400.

29      Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8,

30      Al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 243.

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*