Al-Wadh’u adalah mashdar dari wadha’a-yadha’u-wadh’[an] yang artinya membuat atau menetapkan. Jika digunakan dalam konteks hukum, kata tersebut artinya syara’a (mensyariatkan). Dari sini secara bahasa khithâb al-wadh’i artinya seruan pensyariatan atau seruan penetapan.
Hanya saja istilah khithâb al-wadh’i merupakan istilah para ulama ushul fikih. Karena itu frasa tersebut harus dipahami menurut makna yang ditetapkan oleh para ulama ushul fikih.
Khithâb al-Wadh’i Secara Istilah
Khithâb asy-Syâri’ telah datang dan menjelaskan hukum-hukum perbuatan manusia dari sisi tuntutan (al-iqtidhâ’) dan pilihan (at-takhyîr). Seruan Asy-Syâri’ ini disebut khithâb at-taklîf. Khithâb asy-Syâri’ juga datang dan mensyariatkan hukum-hukum perbuatan apa yang dituntut oleh hukum-hukum itu, berupa perkara-perkara yang menentukan perealisasiannya atau kesempurnaannya. Artinya, khithâb asy-Syâri’ datang mensyariatkan apa yang dituntut oleh hukum syariah. Jadi, khithâb asy-Syâri’ itu, sebagaimana menyatakan tuntutan dan pilihan, juga menyatakan apa yang dituntut oleh tuntutan dan pilihan itu. Hal itu dengan menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, mâni’, sahih, batil, fâsid, ‘azimah atau rukhshah. Inilah yang oleh para ulama ushul fikih disebut khithâb al-wadh’i.
Jika khithâb at-taklîf dalam bentuk al-iqtidhâ’ (tuntutan) atau at-takhyîr (pilihan) datang menyelesaikan perbuatan manusia, khithâb al-wadh’i menyelesaikan hukum-hukum itu dan kaitan-kaitannya. Jadi khithâb at-taklîf itu adalah hukum-hukum untuk perbuatan manusia, sedangkan khithâb al-wadh’i merupakan hukum-hukum untuk hukum perbuatan manusia dan memberinya sifat-sifat tertentu. Karena itu khithâb al-wadh’i disebut hukmu al-hukmi.
Khithâb asy-Syâri’ jenis ini disebut khithâb al-wadh’i. Az-Zarkasyi di dalam Bahr al-Muhîth menjelaskan, khithâb al-wadh’i adalah yang diberitahukan kepada kita bahwa Allah SWT wadha’ahu (mensyariatkannya), dan disebut juga khithâb al-ikhbâr.
Ath-Thufi yang dikutip di dalam Syarh al-Kawâkib al-Munîr menjelaskan, jenis ini disebut khithâb al-wadh’i wa al-ikhbâr. Makna al-wadh’u bahwa syariah wadha’a yakni mensyariatkan perkara-perkara itu, dan disebut sebab, syarat, mâni’. Ketika hal itu ada, diketahuilah hukum-hukum syariah dari sisi penetapan atau penafian. Jadi hukum itu ada karena adanya sebab dan syarat. Hukum itu hilang dengan adanya al-mâni’ dan karena tidak adanya sebab dan syarat.
Makna al-ikhbâr bahwa dengan mensyariatkan perkara-perkara ini, syariah memberitahukan ada dan tiadanya hukum, ketika perkara-perkara itu ada dan tidak ada.
Jika ada nishâb yang menjadi sebab wajibnya zakat dan hawl yang menjadi syarat nishâb itu, maka saat itulah mengeluarkan zakat wajib. Jika ada utang yang menjadi mâni’ dari kewajibannya atau hilangnya sifat digembalakan yang menjadi syarat kewajibannya dalam hal binatang ternak, maka saat itu tidak ada kewajiban menunaikan zakat.
Jenis Khithâb al-Wadh’i
Keberadaan khithâb al-wadh’i seperti itu tidak mengeluarkan hukum syariah dari kenyataannya yang berkaitan dengan perbuatan manusia. Sebab, khithâb al-wadh’i itu berkaitan dengan hukum yang berkaitan langsung dengan perbuatan manusia.
Keberadaan idhthirâr (keadaan darurat) jadi sebab bolehnya bangkai; tergelincir dan tenggelamnya matahari jadi sebab adanya kewajiban shalat; dan semacamnya. Semuanya adalah khithâb asy-Syâri’ berkaitan dengan hukum yaitu hukum kebolehan bangkai dan adanya kewajiban shalat. Alhasil, sebab merupakan bagian dari khithâb al-wadh’i.
Keberadaan hawl menjadi syarat dalam sebab wajibnya zakat (nishâb); balig menjadi sebab dalam taklif secara mutlak; pengutusan rasul menjadi syarat adanya pahala dan sanksi; mampu menyerahkan barang menjadi syarat keabsahan jual-beli; dan semacamnya. Semua itu merupakan khithâb asy-Syâri’ berkaitan dengan hukum. Dari sini, syarat adalah termasuk khithâb al-wadh’i.
Keberadaan haid menjadi penghalang (mâni’) persetubuhan dan tawaf, kewajiban menunaikan shalat, dan penunaian puasa; keadaan gila menjadi mâni’ dari pelaksanaan ibadah dan tasharruf secara mutlak; dan semacam itu. Semuanya merupakan khithâb asy-Syâri’ yang berkaitan dengan hukum. Dari situ, mâni’ termasuk khithâb al-wadh’i.
Sakit yang mengakibatkan tidak mampu berdiri memberikan rukhshah (keringanan) kepada seseorang untuk shalat secara duduk; safar memberikan ruskhshah kepada seorang yang berpuasa boleh berbuka pada Ramadhan; keadaan terpaksa memberikan rukhshah kepada seseorang boleh mengucapkan kekufuran; dan semacamnya. Semua itu merupakan khithâb asy-Syâri’ berkaitan dengan hukum. Dari sini, rukhshah adalah termasuk khithâb al-wadh’i.
Keempat ini (sebab, syarat, mâni’ dan rukhshah) menunjukkan dengan jelas bahwa khithâb asy-Syâri’ mendatangkan hukum dan perkara-perkara yang berkaitan dengan hukum itu. Adapun yang datang berupa tasyrî’ secara umum dan harus ditunaikan oleh seorang hamba, seperti shalat sebagaimana adanya, puasa sebagaimana puasa, jihad dari sisi jihad itu sendiri, maka khithâb al-wadh’i dalam hukum-hukum ini adalah sifatnya dari sisi keberadaannya yang disyariatkan dengan tasyrî’ bersifat umum, dan dari sisi pengharusan hamba untuk mengamalkannya. Tasyrî’ bersifat umum dan pengharusan itulah yang disebut ‘azimah. Oleh karena itu ‘azimah termasuk khithâb al-wadh’i. ‘Azimah dan rukhshah dianggap sebagai satu bagian sebab ‘azimah merupakan asal dan darinya terderivasi rukhshah. Alhasil, rukhshah dan ‘azimah termasuk khithâb al-wadh’i.
Adapun berkaitan dengan pengaruh perbuatan di dunia, khithâb al-wadh’i menampakkan pengaruhnya. Contoh: shalat sah jika memenuhi rukunnya; jual-beli dan syirkah sah jika memenuhi syarat-syaratnya. Ini adalah sifat untuk hukum shalat, jual-beli, dan syirkah dari sisi penunaiannya, bukan dari sisi pen-tasyrî’-annya. Asy-Syâri’ telah mendatangkan semua itu dan menganggap jual-beli dan shalat sebagai sah.
Demikian juga jika jual-beli kosong dari ijab, shalat tanpa rukuk, syirkah tanpa qabul, maka semua itu menjadi batil. Kebatilannya adalah sifat untuk hukum dari sisi penunaiannya, bukan dari sisi pen-tasyrî’-annya. Asy-Syâri’ mendatangkan seruan hal itu dan menganggap itu batil.
Dari sini, sah dan batil adalah satu bagian sebab seruan Asy-Syâri’ tentang keduanya berkaitan dengan hukum yang satu, sah atau batil.
Jadi, khithâb al-wadh’i terdiri dari lima jenis: (1) sebab; (2) syarat; (3) mâni’; (4) sah, batil dan fasad; (5) ‘azimah dan rukhshah. Sesuatu ditetapkan menjadi khithâb al-wadh’i harus ada khithâb asy-Syâri’ yang menetapkannya sebagai bagian dari kelima jenis khithâb al-wadh’i itu. Karena itu khithâb al-wadh’i bisa didefinisikan sebagai khithâb asy-Syâri’ yang berkaitan menjadikan sesuatu sebagai sebab, syarat, mâni’, sahih, batil, fasad, ‘azimah dan rukhshah.
Perbedaan Khithâb at-Taklîf dan Khithâb al-Wadh’i
Pertama: Khithâb at-taklîf hanya berkaitan dengan perbuatan seorang mukallaf. Adapun khithâb al-wadh’i berkaitan dengan perbuatan mukallaf dan ghayru mukallaf. Seandainya hewan atau anak kecil merusak sesuatu maka pemilik hewan atau wali anak kecil itu harus menjamin kerusakan itu.
Kedua: Khithâb at-taklîfi hanya berkaitan dengan perbuatan yang dilakukan, sedangkan khithâb al-wadh’i tidak. Karena itu pembunuhan karena tersalah, atau dalam posisi seperti pembunuhan karena tersalah, diyat-nya jadi kewajiban ‘aqilah pelaku. Padahal pembunuhan itu bukan berasal dari perbuatan ‘aqilah itu. Akan tetapi, pembunuhan dua jenis itu yang berasal dari perbuatan kerabatnya, menjadi sebab wajibnya diyat bagi ‘aqilah itu.
Ketiga: Khithâb at-taklîf karena berupa tuntutan untuk melakukan, atau meninggalkan atau pilihan antara melakukan atau meninggalkan, maka hal itu mengharuskannya berada dalam kemampuan seorang mukallaf. Berbeda dengan khithâb al-wadh’i. Khithâb al-wadh’i ada yang berada dalam batas kemampuan mukallaf atau yang berada di luar kemampuan mukallaf. Contohnya sebab, yang ada dalam kemampuan mukallaf; misalnya peredaksian akad dan tasharruf, pengakuan atas kejahatan menjadi sebab konsekuensi hukumnya atau dijatuhkannya sanksinya. Mencuri adalah sebab sanksi potong tangan.
Kadang sebab di luar kemampuan mukallaf. Contohnya, kekerabatan menjadi sebab waris dan waris menjadi sebab kepemilikan. Tergelincir dan terbenamnya matahari adalah sebab wajibnya shalat zhuhur dan shalat magrib. Semua itu jelas di luar kemampuan mukallaf.
Contoh syarat yang berada dalam kemampuan mukallaf: kehadiran dua orang saksi menjadi syarat sah akad nikah, suci menjadi syarat sah shalat, dan sebagainya. Syarat yang di luar kemampuan mukallaf, balig menjadi syarat berakhirnya perwalian dalam hal jiwa, dan itu di luar kemampuan atau kontrol seorang mukallaf.
Contoh mâni’ yang ada dalam kemampuan mukallaf: pembunuhan terhadap al-muwarrits menjadi mâni’ dari waris. Status orangtua (bapak ibu) menjadi mâni’ yang menghalangi qishâsh (balas dibunuh) atas orangtua yang membunuh anaknya.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]