Gencatan Senjata Suriah, Upaya Amerika Selamatkan Rezim Assad
Gencatan senjata yang terjadi di Suriah dinilai Hizbut Tahrir sebagai upaya Amerika untuk menyelamatkan rezim brutal Bashar Assad. “Begitulah, gencatan senjata ini merupakan keamanan untuk rezim dan sebaliknya bencana untuk orang yang menerimanya,” tegas Direktur Kantor Media Pusat (CMO) Hizbut Tahrir Osman Bakhach dalam pers rilisnya, Rabu (24/2).
Menurut Osman, gencatan senjata ini tidak akan menjaga keamanan bagi faksi-faksi hingga yang moderat atau rata-rata, bahkan juga warga sipil Suriah. Amerika dan Rusia telah memperluas konotasi kata teroris. Setiap orang yang menolak rekonsiliasi yang menghinakan dan khianat, dalam pandangan AS dan Rusia akan dipandang sebagai penjahat teroris. “Para penjahat itu (Amerika dan Rusia, red.) lupa atau pura-pura lupa bahwa mereka adalah poros dan sumber teroris. Mereka adalah pelaku pembantaian Jepang, Vietnam, Irak, Afganistan, kebrutalan Baghram, Abu Ghraib dan Guantanamo. Mereka adalah pelaku pembantaian Grozny, Krimea, dan Eropa Timur. Mereka adalah pelaku kejahatan dan anak-anak kejahatan. Dengan izin Allah mereka akan ditimpa api kejahatan mereka meski setelah beberapa waktu,” beber Osman.
Osman juga menyebut, Amerika menyiapkan gencatan senjata besar sejak memulai rangkaian gencatan senjata kecil. Mulai dari gencatan senjata Kofi pada 10/4/2012 hingga sekarang, tetapi semua dilanggar rezim Assad. “Membatalkan gencatan senjata bukan hal baru dari aksi rezim diktator. Semua orang berakal mengetahui, melanggar perjanjian bagi rezim lebih ringan dari mengedipkan mata! Rezim telah melanggar semua perjanjian yang dia ikat. Orang yang berakal tidak dipatok ular dari lubang yang sama dua kali, lalu bagaimana jika orang dipatok dari lubang yang sama berkali-kali?!” tegas Osman.
Muak dengan Janji-Janji Palsu, Protes Meluas di Berbagai Kota di Tunisia
Gelombang protes masyarakat yang meluas di Kasserine dan beberapa kota lain di Tunisia menurut Hizbut Tahrir Tunisia disebabkan karena ketidakadilan penguasa. “(Semua aksi itu, red.) mengungkapkan betapa rezim telah mengabaikan perannya dalam menjaga martabat rakyat, yang diwajibkan oleh Islam, melalui tindakan yang baik dan adil. Kami telah melihat adanya ketidakadilan rezim yang terus-menerus dan janji-janji palsu yang meminggirkan dan melakukan tindakan tidak layak dalam menjaga kesejahteraan bagi rakyat,” ungkap Kantor Media Hizbut Tahrir Tunisia dalam siaran persnya tertanggal 1 Rabiul Tsani 1437 H/ 21 Januari 2016.
Rezim ini telah membelakangi Islam dan jatuh ke dalam pelukan kaum kafir penjajah Barat. Rezim merasa puas dengan perintah-perintah mereka, dengan berbangga bahwa Tunisia telah dipuji oleh organisasi-organisai internasional dan negara-negara Barat. “Namun, rezim lupa bahwa organisasi-organisasi dan negara-negara itu hanya memuji sistem mereka, dan bahwa apa yang mereka rencanakan untuk negara kami adalah untuk melayani kepentingan perusahaan-perusahaan yang hanya datang ke negara kami dan negara-negara Muslim lainnya untuk mengeksploitasi kekayaan kami dan memanfaatkan energi dari anak-anak kami,” beber rilis tersebut.
Hizbut Tahrir Tunisia juga mengingatkan seluruh masyarakat agar jangan tertipu oleh remah-remah dan solusi tambal-sulam yang ditawarkan pemerintah maupun Barat. Itu hanyalah obat penenang dan pengalihan perhatian. Tujuannya hanya untuk mengurangi sebagian rasa sakit selama beberapa waktu dan kemudian akan kembali sakit.
Rilis itu juga menegaskan syariah adalah penjamin untuk penghapusan kemiskinan, pengangguran dan korupsi, melalui sebuah negara yang mengimplementasikannya; yang para penguasanya benar-benar mengurusi urusan rakyat. “Penguasa tidak akan makan sementara anak-anak kaum Muslim kelaparan, dan tidak akan puas, sementara anak-anak kaum Muslim berteriak dari penindasan yang dilakukan oleh para gubernur dan pejabat. Penguasa dan pejabat tidak akan tidur di istananya, sementara anak-anak kaum Muslim menceburkan diri ke laut untuk melarikan diri, dan tunduk terhadap rasa frustasi,” tegas rilis tersebut.
Di akhir rilisnya, Hizbut Tahrir Tunisia menyeru masyarakat agar bersama-sama berjuang menegakkan Khilafah, sistem pemerintahan yang menerapkan syariah Islam secara kâffah.
Proyek Demokratik Arab Spring Gagal Lindungi Kaum Perempuan
Proyek demokratik Arab Spring yang telah berjalan selama lima tahun dinilai gagal melindungi kaum perempuan. “Hanya Revolusi Islam sejati yang dapat membangkitkan mimpi-mimpi mereka tentang masa depan yang bermartabat!” tegas Direktur Divisi Muslimah Kantor Media Pusat (CMO) Hizbut Tahrir Nazreen Nawaz dalam pers rilisnya, Rabu 24 Rabi’ul Akhir 1437 H/3 Februari 2016.
Tunisia dan Mesir, misalnya, bahkan telah kembali pada situasi masa lalunya. Keduanya diperintah oleh kepemimpinan yang represif, yang mengatur masyarakat yang terjerembab dalam ketidakstabilan dan ketidakamanan, pengangguran dan kemiskinan yang meluas, dan terus meningkatnya harga pangan dan bahan bakar. “Semua ini telah menciptakan kondisi hidup yang tak tertahankan bagi kaum perempuan,” beber Nazreen.
Di Libya, kaum perempuan menderita konsekuensi yang penuh malapetaka dari kehidupan di sebuah negara yang gagal, yang didominasi oleh korupsi dan kekerasan.
Di Yaman kaum perempuan sekarang menjadi korban-korban tak berdaya dari perang brutal yang dikemudikan oleh AS, menghadapi kematian baik akibat bom dan peluru atau akibat kelaparan yang telah menjadi bencana kemanusiaan yang mengancam 6 juta orang.
Tunisia mengklaim bahwa negara ini memimpin perjuangan bagi hak-hak perempuan di wilayah tersebut, di bawah sistem demokrasi sekularnya yang baru, melalui pencabutan atas semua pembatasan CEDAW (Convention on the Elimination of all forms of Discrimination against Women atau Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan); atau mengadopsi Pasal 46 yang melegalisasi kesetaraan gender penuh ke dalam konstitusinya yang baru; atau mendirikan keseimbangan gender dalam majelis yang terpilih.
Namun, semua itu tidak berpengaruh apapun untuk memperbaiki kehidupan kaum perempuan di dalam negerinya.
Saat ini hampir 1 dari 2 perempuan di negara ini menjadi korban kekerasan. Pengangguran hampir mencapai 30%. Sekitar 1 dari 6 penduduk berada di bawah garis kemiskinan.
Di Mesir, konstitusi sekularnya yang baru, yang melegalisasi kesetaraan gender yang lebih besar lagi ke dalam hukumnya, juga tidak berkutik untuk mencegah meningkatnya kekerasan terhadap kaum perempuan di negara tersebut; tidak dapat mencegah percepatan drastis kemiskinan anak di dalam negeri (lebih dari 50% anak-anak saat ini menderita kemiskinan); tidak dapat mencegah tingkat pengangguran yang dialami lebih dari seperempat pemuda Mesir; juga tidak dapat mencegah penahanan, penyiksaan, dan pembunuhan ratusan perempuan yang menentang tiran terbaru Mesir, si penjagal, Al-Sisi. “Semua ini tentunya menjadi pengingat yang tegas bahwa tidak secuil pun kebaikan dapat datang kepada putri-putri umat ini melalui sistem demokrasi sekular kufur buatan manusia. Sistem ini telah nyata terbukti tidak mampu memecahkan begitu banyak masalah politik, ekonomi, dan sosial yang mempengaruhi perempuan di dunia Muslim dan di negara-negara lain dari Timur ke Barat,” pungkas Nazreen. [Riza Aulia-MHTI/Joko Prasetyo]