Pengantar Redaksi:
Islam adalah rahmatan lil ‘alamin. Setiap Muslim pasti paham tentang hal ini. Pasalnya, itulah yang memang ditegaskan oleh Allah SWT sendiri dalam al-Quran (QS al-Anbiya’ [29]: 107). Persoalannya, ternyata tidak semua paham makna hakiki Islam rahmatan lil ‘alamin. Ada anggapan, misalnya, Islam rahmatan lil ‘alamin adalah Islam yang ramah terhadap “perbedaan” yang esensinya adalah penyimpangan, seperti keharusan bersikap toleran terhadap pendirian gereja di tengah komunitas Muslim, toleran terhadap aliran sesat seperti Ahmadiyah, termasuk toleran terhadap LGBT, toleran terhadap pemimpin kafir, dll. Padahal semua itu tegas diharamkan oleh Islam. Sebaliknya, yang nyata-nyata ajaran Islam seperti hudûd, jihad dan Khilafah dianggap bertentangan dengan konsep Islam rahmatan lil ‘alamin dan malah dianggap sebagai ancaman.
Jika demikian, apa makna hakiki Islam rahmatan lil ‘alamin? Seperti apa bentuknya? Bagaimana pula cara mewujudkannya? Lalu apa kaitannya Islam rahmatan lil ‘alamin dengan kampanye syariah dan Khilafah?
Untuk menjawab beberapa pertanyaan di atas, Redaksi kembali mewawancarai Juru Bicara Hizbut Tahrir Indonesia, M. Ismail Yusanto. Berikut petikan wawancaranya.
.
Sebagian kalangan menuding syariah dan Khilafah adalah ancaman bagi negeri ini. Bagaimana menurut Ustadz?
Kita semua tahu, sebagaimana disebut dalam al Quran surah al-Anbiya ayat 107, Nabi Muhammad saw. dengan risalah Islamnya, diturunkan oleh Allah SWT sebagai rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin). Bila risalah Islam diturunkan sebagai rahmat, bagaimana mungkin syariah dan khilafah, yang merupakan bagian dari ajaran Islam itu, dianggap sebagai ancaman? Ini tentu tidak masuk akal. Ini pasti hanya anggapan orang yang tidak paham atau salah paham, atau perkataan orang yang sangat membenci Islam yang takut kepentingan busuk dan segala kejahatannya dihentikan oleh Islam. Sejatinya, syariah dan Khilafah itu justru akan menyelamatkan negeri ini.
Syariah akan menyelamatkan Indonesia dari keterpurukan akibat sistem sekular. Khilafah akan menghentikan neoimperialisme yang kini tengah menimpa negeri-negeri Islam, termasuk Indonesia, yang dilakukan oleh negara adikuasa. Kejahatan adikuasa hanya mungkin bisa dihentikan oleh kekuatan adikuasa juga. Itulah Khilafah.
Jika begitu, apa yang sebenarnya mengancam negeri ini?
Secara riil, ada dua ancaman utama terhadap negeri ini. Pertama: sekularisme dengan neo-liberalnya yang makin memurukkan negeri ini. Sejak Indonesia merdeka, telah lebih dari 60 tahun negeri ini diatur oleh sistem sekular, baik bercorak sosialistik pada masa Orde Lama, bercorak kapitalistik pada masa Orde Baru dan bercorak neoliberal pada masa reformasi ini. Dalam sistem sekular, syariah tidak pernah secara sengaja selalu digunakan. Agama Islam, sebagaimana agama dalam pengertian Barat, hanya ditempatkan dalam urusan individu dengan tuhannya saja, misalnya pada saat shalat, puasa, zakat, haji, kelahiran, pernikahan dan kematian. Dalam urusan sosial kemasyarakatan, syariah Islam ditinggalkan. Karena itu, di tengah-tengah sistem sekularistik ini, lahirlah berbagai bentuk tatanan yang jauh dari nilai-nilai Islam. Sebutlah tatanan ekonomi yang kapitalistik, perilaku politik yang oportunistik dan machiavellistik, budaya hedonistik yang amoralistik, kehidupan sosial yang egoistik dan individualistik, sikap beragama yang sinkretistik serta sistem pendidikan yang materialistik.
Akibatnya, bukan kebaikan yang diperoleh oleh rakyat Indonesia yang mayoritas Muslim itu, melainkan berbagai problem berkepanjangan yang datang secara bertubi-tubi. Lihatlah, meski Indonesia adalah negeri yang amat kaya dan sudah lebih dari 70 tahun merdeka, bila kita menggunakan garis kemiskinan yang dibuat oleh World Bank 2 USD/orang/hari, ada lebih dari 100 juta orang terpaksa hidup dalam kemiskinan. Puluhan juta angkatan kerja menganggur. Jutaan anak putus sekolah. Jutaan lagi mengalami malnutrisi. Hidup semakin tidak mudah dijalani, sekalipun untuk sekadar mencari sesuap nasi. Beban kehidupan bertambah berat seiring dengan kenaikan harga-harga yang terus menerus terjadi. Ajaib! Ini negeri agraris dengan panjang pantai paling panjang di seluruh dunia. Namun, beras masih impor, bawang merah impor, bahkan garam juga impor. Bagi mereka yang lemah iman, berbagai kesulitan yang dihadapi itu dengan mudah mendorong mereka untuk melakukan tindak kejahatan. Berbagai bentuk kriminalitas mulai dari pencopetan, perampokan maupun pencurian dengan pemberatan serta pembunuhan dan tindak asusila, budaya permisif, pornografi dengan dalih kebutuhan ekonomi terasa semakin meningkat tajam. Fenomena LGBT juga marak dimana-mana. Tak aneh jika oleh AFP Indonesia pernah dinobatkan sebagai negara paling liberal setelah Rusia. Sejak krisis melanda negeri ini 1998, kriminalitas dilaporkan meningkat 1000%, angka perceraian meningkat 400%, penghuni rumah sakit jiwa meningkat 300%. Korupsi juga meningkat. Wajar bila lantas orang bertanya, sudah 70 tahun merdeka, hidup kok makin susah.
Kedua: Neoimperialisme. Indonesia memang telah merdeka. Namun, penjajahan ternyata tidaklah berakhir begitu saja. Nafsu negara adikuasa untuk tetap melanggengkan dominasi mereka atas Dunia Islam, termasuk terhadap Indonesia, tetap bergelora. Neoimperialisme dilakukan untuk mengontrol politik pemerintahan dan menghisap sumberdaya ekonomi negara lain. Melalui instrumen utang dan kebijakan global, lembaga-lembaga dunia seperti IMF, World Bank dan WTO dibuat tidak untuk sungguh-sungguh membantu negara berkembang, tetapi sebagai cara untuk melegitimasi langkah-langkah imperialistik mereka. Akibatnya, negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, tidak lagi merdeka secara politik. Penentuan pejabat, misalnya, khususnya di bidang ekonomi, harus memperturutkan apa mau mereka. Wajar bila kemudian para pejabat itu bekerja tidak untuk rakyat, tetapi untuk kepentingan “tuan-tuan’ mereka. Demi memenuhi kemauan “tuan-tuan” itu, tidak segan mereka merancang banyak aturan yang merugikan rakyat. Lihatlah UU Kelistrikan yang pernah dianulir oleh Mahakamah Konstitusi, UU Migas dan UU Penamanan Modal yang penuh dengan kontroversi, juga UU SDA. Mereka juga membuat kebijakan yang merugikan negara. Lihatlah penyerahan blok kaya minyak Cepu kepada Exxon Mobil, pembiaran terhadap Exxon yang terus mengangkangi 80 triliun kaki kubik gas di Natuna meski sudah 25 tahun tidak diproduksi dan kontrak sudah berakhir Januari 2007 lalu; juga bagaimana sikap Pemerintah terhadap Freeport serta terhadap investasi dari Cina dalam megaproyek Kereta Cepat, listrik 35.000 MW dan lainnya. Tak pelak lagi, rakyatlah yang akhirnya menjadi korban, seperti yang kita saksikan sekarang.
Lalu bagaimamana menghilangkan ancaman itu dari negeri ini?
Ancaman itu hanya bisa dihilangkan bila hadir penggantinya yang lebih tangguh. Ancaman sekularisme dan neolibelarisme hanya mungkin bisa dihilangkan dengan syariah Islam. Adapun ancaman neoimperialisme yang dilakukan oleh negara adikuasa hanya mungkin dihilangkan oleh kekuatan yang setara. Itulah Khilafah. Kekuatan adikuasa tentu hanya mungkin dihadapi oleh kekuatan adikuasa.
Ada yang memaknai Islam rahmatan lil ‘alamin itu adalah Islam yang ramah terhadap ide-ide Barat; Islam yang substansial dan kultural, bukan formal, atau Islam moderat. Bagaimana pandangan Ustadz?
Ini pemaknaan yang tidak sesuai dengan substansi Islam rahmatan lil alamin itu sendiri. Kita semua tahu, sebagai sebuah risalah yang syâmilah (menyeluruh) dan kâmilah (sempurna), kerahmatan Islam akan bisa dirasakan secara nyata bila keseluruhan Islam dijalankan dengan sebaik-baiknya: akidahnya diyakini, syariahnya dilaksanakan serta amar makruf nahi mungkar digelorakan. Ketika akidah Islam diyakini dengan baik, pasti segala paham yang bertentangan dengan Islam, termasuk ide-ide Barat—seperti pluralisme, sekularisme, liberalisme, materialisme, juga demokrasi dan HAM—akan tertolak. Saat syariah Islam diterapkan secara kâffah, baik oleh individu, keluarga maupun oleh masyarakat dan negara, maka ia akan diterapkan secara kultural maupun struktural dan formal dalam sebuah sistem negara. Bagaimana Islam hanya boleh berjalan secara kultural, sedangkan paham lain seperti kapitalisme, sosialisme bahkan komunisme boleh diterapkan secara struktural dan formal? Ini tentu tak masuk akal.
Ada juga yang beranggapan, Islam rahmatan lil ‘alamin itu bisa diwujudkan melalui sistem yang ada saat ini. Bagaimana, Ustadz?
Kerahmatan Islam hanya mungkin bisa diwujudkan dalam sistem yang memungkinkan risalah Islam bisa diterapkan secara kâffah. Itulah Khilafah. Selain itu tentu tidak akan bisa. Dalam sistem sekular yang ada saat ini, sebagian besar risalah Islam telah ditanggalkan. Yang tersisa hanya ibadah ritual; doa, zikir, wirid, shalat, puasa, zakat, haji, dll. Adapun aturan Islam dalam urusan politik, ekonomi, sosial, budaya dan lainnya sudah banyak ditinggalkan. Dalam sistem seperti ini, yang telah membuat Islam tak lagi utuh, bagaimana kita akan merasakan kerahmatan Islam yang sesungguhnya? Tidak bisa, kan? Faktanya memang tidak bisa.
Jadi apa makna hakiki Islam rahmatan lil ‘alamin itu?
Allah SWT telah menegaskan dalam al-Quran surah al-Anbiya ayat 107: “Wa mâ arsalnâka illâ rahmatan lil ‘âlamîn (Kami tidak mengutus kamu [Muhammad], kecuali untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam].”
Terkait ayat ini, Al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahu-Llâh menjelaskan, bahwa tujuan Rasulullah saw. diutus adalah agar risalah yang beliau bawa, yakni risalah Islam, menjadi rahmat bagi manusia. Konsekuensinya, risalah ini diturunkan untuk mewujudkan kemaslahatan [jalb al-mashalih] dan mencegah kemafsadatan [dar’u al-mafasid] dari mereka.
Dengan kata lain, perwujudan kemaslahatan [jalb al-mashalih] dan pencegahan kemafsadatan [dar’u al-mafasid] merupakan hasil dari penerapan syariah Islam secara kâffah. Pemeliharaan agama [hifzh ad-dîn], jiwa [hifzh an-nafs], akal [hifzh al-‘aql], harta [hifzh al-mâl], keturunan [hifzh an-nasl], kehormatan [hifzh al-karamah], keamanan [hifzh al-amn] dan negara [hifzh ad-dawlah] yang merupakan kemaslahatan bagi semua warga adalah hasil penerapan syariah secara kâffah, bukan sepotong-potong. Sebagai contoh, hukum potong tangan tidak bisa diterapkan sendiri agar harta terjaga, sementara problem kemiskinan dan ketimpangan ekonomi tidak diselesaikan dengan sistem ekenomi syariah. Sistem ekonomi syariah dan hukum potong tangan jelas tidak bisa dijalankan kecuali di dalam Negara Khilafah.
Nah, bila kita rangkum pendapat para ulama tentang makna dan diskripsi dari rahmatan lil ‘alamin, bisa disimpulkan: Pertama, Rasulullah Muhammad saw. diutus sebagai rahmat karena membawa petunjuk atau hidayah bagi manusia yang akan mengeluarkan mereka dari kejahilan dan kekafiran ke pengetahuan dan keimanan; dari penghambaan kepada selain Allah SWT menuju penghambaan hakiki hanya kepada Allah SWT semata. Dengan kata lain, akidah dan syariah Islam adalah bentuk kasih sayang Allah kepada seluruh makhluk-Nya.
Kedua, seluruh manusia pasti akan mendapat rahmat atau kebaikan dengan pengutusan Nabi Muhammad saw. Namun, rahmat yang sempurna hanya didapatkan oleh orang yang beriman dan menaati seluruh risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw. Orang seperti ini akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat; terlindungi jiwa, harta, akal, keluarga, kehormatan dan agama mereka; juga akan hidup di tengah masyarakat yang aman, tenteram, adil dan sejahtera serta berkemajuan. Inilah peradaban Islam yang agung, yang pernah menghiasi sejarah gemilang Islam pada masa lalu.
Ketiga, kafir dzimmi, yakni orang yang tidak beriman, yang mau tunduk dan terikat perjanjian dengan kaum Muslim, juga mendapat rahmat; terjaga jiwa, harta dan kehormatan mereka. Orang munafik, yang mengaku beriman di lisan namun ingkar di dalam hati, juga mendapat rahmat. Mereka mendapat manfaat berupa jiwa, harta, keluarga dan kehormatan mereka yang terjaga. Mereka pun diperlakukan sebagaimana kaum Muslim dalam semua perkara. Dengan cara ini, kerahmatan Islam akan dirasakan bukan hanya oleh orang Islam, tetapi juga orang selain Islam. Inilah makna hakiki dari Islam rahmatan lil ‘alamin. Namun, meski mereka mendapat rahmat dari Islam di dunia, di Akhirat kelak Allah SWT akan menempatkan mereka di dasar neraka Jahanam.
Kalau begitu, penerapan syariah Islam secara keseluruhan menjadi kunci bagi perwujudan Islam rahmatan lil ‘alamin?
Iya, jelas. Hanya melalui penerapan syariah secara keseluruhan (kâffah) secara formal dalam sebuah sistem kenegaraan, semua maqâshid asy-syarî’ah yang akan menjadi kunci kerahmatan Islam tadi bisa diwujudkan.
Berarti, di situkah relevansi kampanye syariah dan Khilafah mewujudkan Islam rahmatan lil ‘alamin itu?
Iya, karena rahmatan lil alamin hanya mungkin terwujud dengan penerapan syariah secara kâffah, termasuk di dalamnya tentang kewajiban persatuan umat Islam sedunia, hanya akan mungkin bisa diwujudkan di bawah naungan Negara Khilafah. Karena itulah kita menegaskan bahwa syariah dan Khilafah mewujudkan Islam rahmatan lil ‘alamin.
Inilah Islâm rahmat[an] li al-‘âlamîn yang sesungguhnya, yang benar-benar pernah diterapkan selama 14 abad di seluruh dunia; memimpin umat manusia, dari Barat hingga Timur, Utara hingga Selatan. Di bawah naungannya, dunia aman, tenteram, adil dan sejahtera. Semua warga negara, baik Muslim, Kristen, Yahudi dan penganut agama lain bisa hidup berdampingan dengan damai selama berabad-abad lamanya.
Begitulah Islâm rahmat[an] li al-‘âlamîn, yang telah terbukti membawa kerahmatan bagi seluruh alam. Inilah Islam yang dirindukan oleh umat manusia untuk kembali memimpin dunia; yang membebaskan umat manusia dari perbudakan dan penjajahan oleh sesama manusia; yang menebarkan kebaikan, keadilan dan kemakmuran di seluruh penjuru dunia. Itulah Islam yang hidup sebagai peradaban di tengah umat manusia; yang diterapkan, dipertahankan dan diemban di bawah naungan Khilafah Rasyidah.
Di sinilah relevansi kampanye syariah dan Khilafah mewujudkan Islam rahmatan lil alamin, yakni guna memberikan pemahaman tentang keterkaitan yang bersifat organik antara perwujudan kerahmatan Islam bagi seluruh alam (rahmatan lil ‘alamin) dengan penerapan syariah dan Khilafah. Dengan kata lain, bila kita ingin mewujudkan Islam rahmatan lil ‘alamin tidak bisa tidak kita harus berjuang dengan sungguh-sungguh bagi perwujudan syariah dan Khilafah. Tidak bisa dengan cara lain. []