عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ قَتْلِ رَجُلٍ مُسْلِمٍ
Dari Abdullah bin Amru, dari Nabi saw., beliau bersabda, “Sungguh, lenyapnya dunia lebih ringan di sisi Allah daripada pembunuhan seorang Muslim.” (HR an-Nasa’i, at-Tirmidzi dan al-Baihaqi).
Hadis semakna diriwayatkan dari jalur Abdullah bin Buraidah, dari bapaknya (Buraidah ra.), yang berkata bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
قَتْلُ الْمُؤْمِنِ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ مِنْ زَوَالِ الدُّنْيَا
Pembunuhan seorang Muslim lebih agung di sisi Allah daripada lenyapnya dunia ini (HR an-Nasa’i).
Hadis lainnya diriwayatkan dari jalur Bara’ bin ‘Azib ra., bahwa Rasul saw. pernah bersabda:
لَزَوَالُ الدُّنْيَا أَهْوَنُ عَلَى اللَّهِ مِنْ قَتْلِ مُؤْمِنٍ بِغَيْرِ حَقٍّ
Sungguh, lenyapnya dunia lebih ringan bagi Allah daripada pembunuhan atas seorang Mukmin tanpa haq (HR Ibnu Majah dan al-Baihaqi).
As-Sindi di dalam Hasyiyah as-Sindi ‘ala Ibni Mâjah menjelaskan, bahwa ucapan tersebut ditujukan untuk menyatakan besar dan seriusnya masalah pembunuhan; untuk menyatakan kengeriannya dan bagaimana memberikan impresi (penekanan) lafal. Hal itu karena dunia itu merupakan perkara yang besar di dalam jiwa makhluk. Lenyapnya dunia bagi makhluk (menjadi perkara yang besar) sesuai dengan kadar besarnya dunia itu. Karena itu jika dikatakan lenyapnya dunia lebih ringan dari pembunuhan seorang Muslim, hal itu memberi pengertian betapa besar dan seriusnya pembunuhan seorang Muslim itu; betapa mengerikan, betapa tercela dan betapa buruknya pembunuhan seorang Muslim, yang tidak cukup untuk dideskripsikan.
Betapa berharganya nyawa seorang Muslim itu juga dinyatakan di dalam riwayat dari Abdullah bin Umar ra. Ia menuturkan: Aku melihat Rasulullah saw. tawaf mengelilingi Ka’bah dan bersabda:
مَا أَطْيَبَكِ وَأَطْيَبَ رِيحَكِ مَا أَعْظَمَكِ وَأَعْظَمَ حُرْمَتَكِ وَالَّذِى نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَحُرْمَةُ الْمُؤْمِنِ أَعْظَمُ عِنْدَ اللَّهِ حُرْمَةً مِنْكِ مَالِهِ وَدَمِهِ وَأَنْ نَظُنَّ بِهِ إِلاَّ خَيْرًا
Alangkah baiknya engkau dan alangkah harumnya aromamu. Alangkah agungnya engkau dan agungnya kehormatanmu. Demi Zat Yang jiwa Muhammad ada di genggaman tangan-Nya, sungguh kehormatan seorang Mukmin lebih agung di sisi Allah dari kamubaik menytangkut harta maupun darahnya, dan agar kami hanya berprasangka baik kepada dirinya (HR Ibnu Majah).
Ka’bah merupakan simbol Islam terbesar yang ada saat ini. Seluruh kaum Muslim diwajibkan menghadap ke arah Ka’bah dalam setiap shalatnya. Shalat di Ka’bah dilipatgandakan pahalanya paling tinggi dari semua tempat yang ada di muka bumi; lebih tinggi daripada shalat di Masjid Nabawi dan Masjid al-Aqsha, apalagi masjid-masjid lainnya. Hajar Aswad yang menempel di dinding Ka’bah adalah satu-satunya batu yang disunahhkan untuk kita cium. Meski sedemikian agungnya kedudukan dan kehormatan Ka’bah, kehormatan seorang Mukmin berikut kehormatan darahnya dan hartanya lebih agung di sisi Allah daripada Ka’bah. Karena kehormatannya itu, kita tidak boleh berprasangka kepada seorang Muslim kecuali prasangka yang baik.
Hadis di atas sekaligus menyatakan bahwa membunuh seorang Muslim merupakan kejahatan dan dosa besar. Hanya saja itu tidak mencakup semua pembunuhan seorang Muslim.
Hadis di atas dinyatakan dalam dua bentuk, muthlaq dan muqayyad. Hadis Abdullah bin Buraidah dari bapaknya dan hadis Abdullah bin Amru dinyatakan secara mutlak sehingga maknanya mencakup semua pembunuhan seorang Muslim. Namun, hadis al-Bara’ bin ‘Azib dinyatakan dalam bentuk muqayyad, yaitu dibatasi dengan lafal bighayri haqq[in] (tanpa haq). Jika ada dua nas yang satu muthlaq dan yang lain muqayyad, maka pemahaman nas yang muthlaq harus dibawa ke yang muqayyad dan diamalkan sesuai yang muqayyad. Dengan demikian, pembunuhan atas seorang Muslim yang menjadi kejahatan dan dosa besar itu adalah pembunuhan yang bighayri haqqin (tanpa alasan yang dibenarkan). Adapun pembunuhan yang dibenarkan secara syar’i, misalnya, pembunuhan terhadap orang murtad yang tidak mau bertobat dan kembali pada Islam, pembunuhan terhadap orang yang dijatuhi sanksi syar’i dengan dibunuh—seperti pelaku homoseksual, pelaku pembunuhan yang disengaja yang tidak dimaafkan oleh ahli waris korban, orang yang bersetubuh dengan binatang, dan kejahatan lainnya yang sanksinya adalah hukuman dibunuh—maka pembunuhan terhadap pelaku kejahatan itu tidak termasuk dalam cakupan makna hadis di atas.
Islam tidak berhenti hanya dengan menyatakan betapa berharganya nyawa seorang Muslim itu. Islam memberikan serangkaian hukum yang merealisasi penjagaan atas nyawa layaknya sesuatu yang sangat berharga. Penjagaan atas nyawa itu hanya bisa terealisasi dengan kekuasaan eksekutif yang melaksanakan serangkaian hukum Islam. Karena itu Islam mewajibkan kaum Muslim untuk membaiat seorang imam, yakni khalifah, yang disifati oleh syariah laksana perisai yang akan menjadi pelindung. Khalifahlah yang menerapkan hukum Islam yang menjamin perlindungan nyawa manusia. Di antaranya, hukuman qishâsh bagi pelaku pembunuhan disengaja jika tidak dimaafkan oleh ahli waris korban. Jika dimaafkan maka ia wajib membayar diyat 100 ekor unta, 40 ekor di antaranya bunting. Pelaku pembunuhan selain yang disengaja tidak dijatuhi sanksi qishâsh, melainkan wajib membayar diyat. Diyat pembunuhan mirip disengaja sama dengan diyat pembunuhan disengaja yaitu 100 ekor unta, 40 ekor di antaranya bunting. Diyat pembunuhan karena salah adalah 100 ekor unta atau 1.000 dinar (4,25 kg emas murni 24 karat). Adapun pembunuhan yang diposisikan seperti pembunuhan karena salah, diyat-nya 100 ekor unta atau 1.000 dinar (4,25 kg emas murni 24 karat). Hanya saja, yang wajib membayar adalah ‘aqilah si pelaku. Padahal pembunuhan yang terakhir ini terjadi tanpa niat si pelaku bahkan tanpa sadar. Namun, di dalamnya tetap ada diyat. Semua ini menunjukkan betapa berharganya nyawa manusia, nyawa seorang Muslim.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]