Kaum perempuan di berbagai negeri Islam hidup dalam kondisi jauh dari predikat ‘khayru ummah’. Mereka miskin, tidak mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan pokoknya dan jauh dari kesejahteraan. Tingginya angka perceraian, rendahnya penghargaan terhadap lembaga perkawinan, fenomena single mother dan budaya konsumsi alkohol juga menjangkiti perempuan.
Kaum Muslimah bukan bertambah mulia. Umat pun bukan makin berjaya. Kaum Muslimah justru kian kehilangan jatidiri. Mereka menjadi makhluk asing yang tak bisa membangun harmoni dalam habitat kemanusiaannya sendiri. Umat dan masyarakat juga nyaris ambruk karena kehilangan pilar penyangga setelah kaum perempuan mencampakkan tabiat fitrinya.
Gerakan kesetaraan jender telah membawa gelombang ketidakpuasan kaum perempuan terhadap perlakuan dalam sistem keluarga dan masyarakat. Tumbuh jiwa bersaing di segala bidang antara dua insan; laki-laki dan perempuan. Tatanan yang semula berjalan harmonis dengan pembedaan peran dan posisi yang jelas menjadi goyah karena seruan ketidakadilan bergaung di segala sisi.
Dalam sistem demokrasi, selalu dan akan terus terjadi ketidakadilan sistemik dan berlapis-lapis. Tatanan hidup yang tegak di atas akidah sekular kini sedang mengungkung kehidupan kaum Muslim dimanapun. Dari akidah rusak ini, lahir sistem hidup yang rusak pula.
Karena itu kaum Muslimah seluruh dunia harus kompak mewujudkan perubahan. Sebagaimana diketahui, sejak Rasulullah saw diutus untuk menyebar luaskan risalah Islam, kaum Muslimah generasi awal telah terlibat secara aktif dalam pergerakan dakwah bersama kaum Muslim lainnya untuk melakukan transformasi sosial, mengubah masyarakat jahiliah yang paganistik menjadi masyarakat Islam. Mereka bahkan secara bersama merasakan pahit getirnya mengemban misi dakwah; melakukan perang pemikiran dan perjuangan politik di tengah-tengah masyarakat. Akhirnya, atas pertolongan Allah SWT mereka berhasil membangun masyarakat Islam yang agung di Madinah, yakni masyarakat yang tegak di atas landasan akidah Islam.
Banyak peran politik yang bisa dimainkan oleh perempuan. Khadijah ra., istri Rasulullah saw., memainkan peran politik yang strategis pada masa awal dakwah beliau. Demikian juga Asma binti Abu Bakar.
Karena itu, saat ini gerakan perempuan (Muslimah) pun harus bersifat politis, yakni mengarahkan perjuangannya pada upaya optimalisasi peran politik perempuan di tengah-tengah masyarakat sesuai aturan Islam. Termasuk ke dalam konteks ini adalah mengarahkan upaya pemberdayaan politik perempuan pada target optimalisasi peran dan fungsi kaum perempuan sebagai pencetak dan penyangga generasi. [Umar Syarifudin ; (Praktisi Politik – Kota Kediri)]