Wajib disadari oleh kaum Muslim, bahwa anak-anak dan pemuda Muslim tengah menjadi sasaran sekularisasi Barat yang mengemban ideologi kapitalis. Barat tengah merancang strategi dan menyusun program untuk merebut hati dan pikiran anak-anak dan pemuda Muslim agar setia pada ide-ide sekular, nilai liberal, cara hidup Barat dan sistemnya. Program deradikalisasi intensif yang difokuskan pada anak-anak dan pemuda Muslim, sekularisasi kurikulum pendidikan, budaya sosial liberal yang terus dipromosikan oleh media dan industri hiburan, bisnis e-commerce dengan difasilitasi Pemerintah adalah sejumlah program mereka untuk mengubah posisi dan merusak vitalitas pemuda Muslim.
Agenda-agenda ini berdampak pada kerugian yang amat besar bagi kaum Muslim. Karena itu kita wajib mengembalikan posisi dan peran penting generasi muda Muslim dalam peradaban Islam. Mereka harus menjadi pribadi Muslim sebagai penjaga Islam dan menjadi ujung tombak perubahan. Seluruh umat Islam harus bergerak melakukan tugas ini hingga gambaran pemuda Muslim tersebut bisa tercapai, dengan izin Allah.
Barat Membajak Potensi Pemuda Muslim
Barat tengah menghadapi ancaman serius dari lawan ideologinya—yakni Islam—pasca runtuhnya Uni Soviet dan kebangkrutan ideologinya. Gelora kebangkitan umat di Dunia Islam yang membuncah pasca ‘Arab Spring’ menjadi momok bagi Barat. Realita pemuda yang menjadi pionir perubahan di negara-negara dengan rezim otoriter, dibaca Barat sebagai ancaman eksistensi mereka, karena para penguasa anteknya telah ditumbangkan. Karena itu upaya meredam kebangkitan Islam semakin giat seiring melajunya kesadaran umat Islam untuk kembali pada posisinya, sebagai khayru ummah menggantikan hegemoni mereka.
Selanjutnya tuntutan perubahan di dunia Muslim ke arah Islam harus dibelokkan. Suara umat untuk kembali pada Khilafah disambut dengan penyesatan gambaran Khilafah. Karena itu tak aneh jika dimunculkan gambaran Khilafah yang buruk melalui kelompok ISIS yang sarat dengan kekerasan. Kekerasan ekstremis telah dijadikan common enemy seluruh negara. Pada tanggal 12 Februari 2016, Majlis Umum PBB mengadopsi rencana aksi untuk mencegah kekerasan ekstremis. Rencana ini melibatkan seluruh negara anggotanya dan beberapa perangkat PBB terkait. Ada tujuh bidang prioritas yang akan dilakukan, termasuk di antaranya adalah pemberdayaan pemuda, kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, bidang pendidikan-pengembangan keterampilan-fasilitas kerja, bidang strategi komunikasi-internet-media sosial.
Hampir di setiap bidang tersebut ditemukan upaya untuk membajak potensi generasi muda Muslim. Di bidang pemberdayaan pemuda (empowerment youth), akan ditingkatkan partisipasi mereka dalam berbagai kegiatan yang bertujuan untuk mencegah kekerasan ekstremis, di tingkat nasional-regional-internasional. Melalui UNESCO Youth Forum, potensi intelektual pemuda dibajak untuk mempropa-gandakan ideologinya. Di forum tersebut mereka berbagi cara pandang ideologi, bertukar pengalaman, menonjolkan persamaan dan kebersamaan, bersama melawan ekstremis, menyerukan perdamaian dan mempromosikan program-program kapitalis liberal.
Di dalamnya juga ada program mentoring nasional untuk para pemuda yang di Indonesia direalisasikan dengan program bela negara untuk siswa SMU dan sederajat, termasuk pesantren dan mahasiswa. Program ini sejatinya adalah menjadikan pemuda sebagai duta nilai-nilai secular. Ini dapat dicermati dari pernyataan Menhankam berikut, “Tujuan bela negara adalah untuk mengubah perilaku supaya dia bangga kepada bangsanya; dia cinta kepada bangsa dan negara, dan akhirnya siap bekerja untuk bangsa dan negaranya; bila perlu mati untuk negaranya, berkorban. Itu muaranya, tujuannya, proses-nya…,” kata Ryamizard, Senin (19/10/2015).
Di sini jelas, ada penanaman nasionalisme yang diharamkan Islam. Sebaliknya, tidak ada gambaran bagi pemuda Muslim bahwa yang harus mereka bela adalah Islam dan umatnya dengan berjuang mengajak umat menerapkan Islam dengan menegakkan Khilafah. Justru diberi gambaran bahwa kelompok yang ingin menerapkan Islam di pemerintahan adalah pelaku kejahatan.
Di bidang pendidikan, rancangan aksi ini mendorong agar negara berinvestasi dalam pendidikan, khususnya PAUD untuk anak umur 3-8 tahun. Harus dipastikan bahwa anak-anak tersebut memiliki akses terhadap pendidikan inklusif. Mereka mempromosikan kewarganega-raan global, soft skill, berpikir kritis dan melek digital. Harus ada pula upaya eksplorasi cara memperkenalkan pendidikan kewarganegaraan ke dalam kurikulum sekolah, buku pelajaran dan bahan ajar; membangun kapasitas guru dan pendidik untuk mendukung agenda ini. Upaya untuk target tersebut telah dilakukan Pemerintah Indonesia.
Rencana perubahan kurikulum pelajaran agama yang dilakukan Kemenag dengan nama kurikulum “Islam Damai” atau “Islam Rahmatan lil ‘Alamin” dengan merujuk pada metode pengajaran agama di Oxford University, dengan mengirim 30 orang guru agama kesana, adalah upaya sekularisasi Islam. Merujuk pada pernyataan Menag yang menyatakan bahwa dengan adanya modul PAI yang baru ini, diharapkan siswa akan dihantarkan pada ajaran Islam yang lebih menghormati keragaman, mempromosikan kedamaian dan toleransi, serta menanamkan demokrasi. Menag menjelaskan, tujuan penyusunan modul itu sebagai respon Pemerintah untuk membekali guru-guru agama di sekolah umum agar siswa mempunyai pemahaman yang baik tentang agama Islam. Modul itu juga menjadi salah satu cara mencegah penyebaran paham radikal, yang mungkin bisa timbul di institusi pendidikan (Viva.co.id).
Jelas, ini adalah upaya sekularasi anak-anak dan pemuda Muslim. Permainan labeling Barat terhadap kaum Muslim yang ingin menerapkan syariah Islam dalam institusi Khilafah dengan cap ‘teroris’ sesungguhnya upaya mereka untuk mencegah kebangkitan umat Islam. Mereka tidak ingin anak-anak dan pemuda Muslim Indonesia menjadi pejuang perubahan dan kebangkitan Islam. Mereka hanya mengizinkan pemuda Muslim menjalankan Islam dengan gambaran yang mereka kehendaki, yaitu menjadi sosok Muslim moderat yang ramah, pro demokrasi dan tidak garang terhadap mereka. Mereka begitu phobi dengan apapun yang berbau Islam politik, karena akan mengakhiri hidup mereka.
Di bidang komunikasi, internet dan sosial media, PBB menyatakan: kami akan mendukung ribuan aktivis muda dan seniman berjuang kembali melawan ekstremisme kekerasan secara online melalui musik, seni, film, komik dan humor, dan mereka layak mendapatkan dukungan kami.
Visi Indonesia sebagai pasar ekonomi digital terbesar di Asia Tenggara dengan target 130 miliar dolar pada 2020 mendatang membuat Jokowi meminta kepada jajaran Menteri menjaga hubungan baik dengan semua yang ada di Silicon Valley, atau pusat industri kreatif di Amerika Serikat (AS). Karena itu tak heran jika bisnis e-commerce menjadi program yang dicanangkan seiring dengan pemberlakuan paket kebijakan ekonomi tahap 10 tentang UMKM. Di aspek ini, bisnis start up juga menjadi peluang kerja bagi kaum muda. Padahal kita tahu bahwa perusahaan digital yang diajak kerjasama oleh Pemerintah Indonesia ini (Google, FB) adalah pendukung liberalisasi pemuda di dunia. Mereka menjadi pendukung kaum LGBT yang ramai dibincangkan. Tidakkah ini jebakan dari permainan Barat yang luar biasa licik terhadap bangsa Indonesia dengan jumlah populasi Muslim yang besar di dunia?
Jebakan untuk anak-anak dan pemuda Muslim dengan budaya liberal pun tengah disiapkan Barat. Tujuannya adalah agar mereka terperosok dalam kubangan ide-ide dan nilai-nilai sekular liberal. Kecanduan narkoba dan seks sudah menjadi cerita sehari-hari media kita. Belum lagi tawaran yang menggiurkan di bisnis hiburan, jalan cepat menjadi kaya dengan menjadi artis atau penyayi, membuat anak-anak dan pemuda muslim rela antri diterpa panas dan dingin mengikuti audisi berbagai ajang adu bakat. Orientasi materi telah menuntun pemuda Muslim ke jalan hidup yang salah.
Itulah sebagian realita yang menggambarkan Barat merampas potensi pemuda Muslim. Mereka adalah aset berharga umat Islam, namun kita tengah melihat bahwa aset itu direbut oleh penjajah yang membenci kebaikan umat ini. Tentu kita tidak rela asset berharga itu direbut mereka. Semestinya kita berupaya merebut kembali dan memalingkan hati, pikiran dan pembelaan generasi muda kita kepada Islam, umat dengan kemuliaannya.
Reposisi dan Revitalisasi Pemuda Muslim
Saat Rasulullah saw. berdakwah, generasi pertama yang menerima Islam mayoritasnya adalah pemuda. Dalam kiprahnya membela, menjaga dan melindungi Islam, pemuda ada di baris depan. Pasukan perang juga dipenuhi para pemuda. Para pengemban dakwah yang diutus Rasulullah juga adalah kaum muda. Salah satunya adalah Mush’ab bin ‘Umair yang diminta Rasulullah dakwah ke Madinah. Ia menjadi duta Islam pertama. Mush’ab menjadi seorang yang meninggalkan kebanggan palsu dunia dan menggantikannya dengan kemuliaan hakiki di akhirat. Berkat kiprah Mush’ab, dalam tempo kurang dari satu tahun hampir seluruh penduduk Madinah masuk Islam.
Posisi seperti itulah yang semestinya ada pada pemuda Muslim kita. Mereka adalah pengemban dakwah Islam yang terpercaya, duta-duta propaganda syariah Islam yang akan menjadi rahmat bagi seluruh penduduk bumi jika diterapkan secara kâffah dalam institusi Khilafah.
Posisi dan fungsi vital pemuda inilah yang harus kita kembalikan agar terjadi sebagaimana tuntutan Islam. Karena itu harus ada gerakan penyadaran para pemuda Muslim yang dilakukan oleh semua pihak, khususnya partai politik Islam yang berpijak pada mabda’ (ide dan metode) Islam.
Sejatinya peran penting pemuda akan teroptimalisasi dalam masyarakat yang menerapkan Islam kâffah. Khilafah akan menyiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk pemberdayaan pemuda. Sistem pendidikan, pergaulan sosial, sistem ekonomi dan politik yang akan diterapkan Khalifah mendukung pemberdayaan potensial pemuda sebagai penjaga dan pelindung Islam terpercaya. Akal dan hati mereka akan senantiasa ditambatkan pada Islam dan kejayaan umatnya. Karena itu saat ini arah pencerdasan dan pemberdayaan pemuda Muslim harus ditujukan pada upaya penagakan Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah. [Ir. Ratu Erma Rachmayanti; DPP MHTI]