Kulihat ibu pertiwi, sedang bersusah hati…”
Penggalan lagu itu barangkali dapat menggambarkan realitas negeri Muslim terbesar ini sekarang. Menyedihkan. “Coba lihat, kita ini mayoritas Muslim. Namun, sekadar ingin memiliki gubernur beragama Islam saja susahnya bukan main. Padahal sekadar beragama Islam, belum berbicara penerapan syariah Islam,” ujar Ketua DPP Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dengan nada geram. “Itulah akibat demokrasi. Penerapan demokrasi menjadikan orang kafir memimpin umat Islam,” tambahnya.
Kegeraman itu bukan satu-satunya. Banyak forum yang menggambarkan kegundahan akan kondisi saat ini. Sekadar contoh, pertengahan Maret 2016 lalu, di Jakarta, ada sebuah diskusi. Tema yang diusung: “TNI: Antara Idealisme dan Realitas di Era Reformasi”. Banyak tokoh hadir. Salah satu yang berkembang dalam diskusi tersebut adalah adanya permainan antara Pemerintah dan penegak hukum untuk melepaskan Ahok dari jeratan hukum status tersangka kasus RS Sumber Waras. Jaksa Agung menerbitkan deponeering untuk mantan Ketua KPK Abraham Samad dan Bambang Wijayanto. Sementara itu, dugaan keterlibatan Jaksa Agung dalam kasus korupsi Gubermur Sumatera Utara akan dibersihkan. Kalau ini benar, betapa karut-marut negeri zamrud khatulistiwa ini.
Bukan sekadar karut-marut, mengurus urusan masyarakat pun terlihat main-main. “Dunia Islam mendorong masyarakat internasional untuk melarang masuknya produk Israel dan seluruh negara menyatakan kembali komitmen untuk melindungi Al-Quds asy-Syarif, antara lain dengan bantuan finansial untuk Al-Quds asy-Syarif,” kata Presiden Joko Widodo dalam Konferensi Pers di Ruang Cendrawasih di JCC, Jakarta (7/3/2016).
Seruan pemboikotan ini pun disetujui oleh Ketua Komisi I DPR Mahfudz Sidik. “Bagus. Namun, lebih bagus Indonesia menyerukan bantuan keuangan seluruh negara anggota OKI untuk Palestina,” ujarnya.
Namun, sehari setelah itu pihak Istana meralat. Juru Bicara Kepresidenan Johan Budi mengatakan, “Sebenarnya gini. Yang dimaksud produk itu bukan produk barang. Yang saya lihat, itu dimaknai sebagai produk barangnya Israel diboikot kan? Sebenarnya bukan. Boikot dalam hal ini adalah hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan Israel di tanah pendudukan di Palestina.”
Hal ini menegaskan Presiden plin-plan. Main-main. Wajar saja, pengamat politik Muslim Arbi mengatakan, “Para pemimpin negara OKI sudah dibohongi, rakyat dibohongi. Bahkan Tuhan saja sudah dibohongi dengan tidak menempati janji sewaktu kampanye.”
Islam sebagai solusi dicurigai. Pengembannya terus diwaspadai. Isu terorisme, radikalisme, fundamentalisme, dan sebagainya tak henti digulirkan. Pasca peledakan Thamrin, Pemerintah sudah menyerahkan draft revisi RUU Antiterorisme kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Berkaitan dengan hal ini, saya diberi kenikmatan oleh Allah SWT untuk memimpin pertemuan tokoh (19/3/2016). “Konstruksinya merupakan respon terhadap ISIS. Padahal itu kan di luar yuridiksi Indonesia,” ujar M Ismail Yusanto. Juru bicara HTI ini menambahkan, “Termasuk kewenangan untuk menangkap seseorang yang diduga kuat terlibat terorisme. Bisa ditahan hingga 13 bulan sampai waktu diadili di pengadilan.”
Pak Ahmad Michdan dari Tim Pengacara Muslim berseloroh, “Siyono yang ditahan 1 minggu saja meninggal. Bila ditahan 13 bulan nanti orang yang baru diduga sudah tinggal tulang-belulang.”
Michdan menambahkan, “Yang penting bagaimana merumuskan pandangan Islam tentang teroris, Negara dan istisyhâd. Selain itu perlu juga pandangan tentang orang yang berjihad karena membela orang yang dizalimi. Dalam Islam tidak ada teroris. Secara historis, istilah teroris baru ada sejak tahun 2000. Padahal sebelumnya sudah ada kasus Poso, dll. Dengan demikian, perlu counter opini tentang kejahatan luar biasa pelaku teror.”
Menanggapi hal tersebut, Habib Abu Bakar al-Habsyi mengungkapkan, “Banyak di antara mereka yang dituduh teroris, saya lihat tidak seperti itu. Kekhawatiran lebih besar, dan kondisinya lebih berat daripada Siyono. Alangkah baik untuk lebih intensif mengundang ahli, yang expert, dan didukung oleh semua elemen Islam lalu demo atau audiensi bersama.”
Beliau segera menambahkan, “Bila tidak beramar makruf nahi mungkar, orang yang akan memimpin kita adalah orang yang paling buruk serta doa tidak dikabul. Kita perlu memperkokoh kesatuan, insya Allah ada jalan keluar.”
Mantan anggota DPR RI Mashadi menanggapi, “Pemerintah Indonesia silakan saja mau membunuhi seluruh umat Islam, toh kita akan mati juga. Namun, kalau mau bela RUU Antiterorisme silakan saja ke Komisi III. Kalau ada teman-teman yang concern terus mengajak semua ormas lain menjadi civil society movement saya hargai. Hukum alam menunjukkan kekerasan akan dibalas dengan kekerasan. Kalau tidak di sini, nanti di akhirat.”
Saya segera bertanya, “Tapi itu kan bukan karena pesimis?”
Beliau segera menjawab dengan senyum, “Oh, tidak. Bukan pesimis.” Barangkali pengalaman beliau di DPR menjadikan beliau mengetahui luar-dalam bagaimana proses suatu UU dibuat di DPR. Suara nyaring bahwa ada mafia UU di DPR tidak dapat dipungkiri.
“Draft RUU Antiterorisme yang sarat kezaliman merupakan kemungkaran; bahkan bisa memproduksi kemungkaran dan melegalkan kemungkaran. Semua narasi adalah narasi tunggal. Ini poin pentingnya. Karena itu, kita harus mencegahnya dengan sekuat kemampuan,” ujar Rokhmat S. Labib.
Penulis Tafsir Al-Waie ini menambahkan, “Mungkin atau tidak mungkin, Allah tetap memerintahkan Musa bertemu Fir’aun. Padahal Allah SWT telah tahu awal dan akhir dari kejadian. Kalau sudah disampaikan, mereka tidak punya hujjah di akhirat untuk mendakwa kita. Jangan sampai ada UU yang melegalkan membunuh seorang Muslim dengan dugaan teroris.”
Di akhir sesi, semua tokoh sepakat bahwa RUU Antiterorisme bukan ditujukan untuk kelompok tertentu, melainkan membidik Islam dan pengembannya. Hal ini merupakan persoalan umat Islam keseluruhan. Adanya pasal penyadapan dan deradikalisasi bagi tersangka, terdakwa, narapidana, mantan narapidana, keluarga, orang tertentu yang diduga akan melakukan tindak terorisme akan melahirkan tindakan represif yang melebihi Orde Baru. Negara ini harus diselamatkan dengan Islam! [Muhammad Rahmat Kurnia; DPP Hizbut Tahrir Indonesia]