Sudan, memang negara yang menghadapi tekanan dan rekayasa yang luar biasa dari AS dan Barat. Bukan hanya satu wilayahnya saja yang dijadikan ‘daerah operasi’. Hampir semua wilayahnya menjadi ‘target’ untuk dipecah atau minimal dibuat gejolak yang tiada berujung. Target akhirnya adalah menjadikan Sudan menjadi negara yang lebih kecil lagi dan tak berdaya.
Dalam waktu yang hampir bersamaan, bukan hanya menghadapi intervensi asing yang akhirnya menjadikan Sudan Selatan lepas, namun juga menghadapi tekanan luar biasa di bagian wilayah lainnya. Salah satunya adalah krisis Darfur.
Krisis Darfur mencuat sejak tahun 2003 ketika pemberontak menyerang target-target pemerintah dan masyarakat. Alasan yang mengemuka adalah ketidakadilan dan marjinalisasi wilayah Darfur oleh pemerintah pusat di Kharthoum. Pemberontak terutama dari dua kelompok yaitu SLM/A (Sudan Liberation Movement/Army) dan JEM (Justice and Equality Movement). Sebagian besar pemberontak berasal dari suku badui (Afrika) dari Fur, Zaghawa dan Massaleit. Media Barat sering menggambarkan apa yang terjadi di Darfur adalah pembantaian yang dilakukan oleh milisi Arab Janjaweed. Milisi Janjaweed sebagian besar berasal dari Baggara, termasuk suku semi Nomaden peternak Onta dan Domba.
Krisis Darfur ini pada beberapa sisi berbeda dengan konflik Selatan-Utara karena 100% penduduk Darfur adalah Muslim. Krisis Darfur memiliki tiga faktor penyebab sehingga sampai pada tingkat eskalasi seperti sekarang. Pertama: Adanya konflik lama yang sudah terjadi puluhan tahun di antara suku-suku berkaitan dengan tanah, padang gembalaan dan masalah air. Kedua: Adanya marjinalisasi Darfur oleh pemerintah pusat di Kharthoum dan terjadinya kezaliman dan ketidakadilan. Ketiga: Adanya faktor dari luar yaitu pertarungan pengaruh AS-Eropa (Prancis, Inggris dan Jerman).
Dulu Darfur dikuasai langsung oleh Inggris sejak 1916. Di antara kebijakan Inggris adalah membangun pemerintahan dan administrasi Sudan, termasuk Darfur, dengan dasar pemisahan Selatan dari Utara dan kekuasaan yang didasarkan pada sukuisme; pemimpin suku seakan menjadi penguasa riil atas sukunya. Di Darfur terdapat sekitar 85 suku (kabilah). Pemerintahan dan administrasi berdasar kesukuan inilah yang menancapkan paham kesukuan (qawmiyah qabaliyah). Hal itu menjadikan masing-masing suku merasa menjadi penguasa atas daerahnya dan merasa seluruh tanah daerah itu dan kekayaannya adalah milik mereka. Kehidupan suku-suku itu banyak yang bersifat semi nomaden, terutama Suku Baggara yang profesinya beternak. Di antara suku-suku itu sejak dulu terjadi perselisihan. Darfur sendiri adalah wilayah Sudan di bagian barat yang berbatasan dengan Chad. Luasnya sama dengan Prancis. Dinamakan Darfur artinya Negeri Fur, dinisbatkan kepada Fur, nama suku yang mendiami wilayah tersebut. Lalu datang suku berdarah Arab dan ikut bersama-sama dengan Fur dalam hal kehidupan, agama dan wilayah. Sebagian suku Arab yang beternak ingin menguasai padang rumput untuk gembalaan ternak mereka. Sebaliknya, Suku Fur yang berdarah Afrika dan mayoritasnya petani menolak berbagi tanah dan padang rumput dengan suku-suku Arab karena menganggap tanah dan padang rumput itu adalah milik mereka dari warisan nenek moyang. Namun, konflik yang terjadi biasanya tidak sebesar konflik sejak 2003 lalu dan bisa diselesaikan dengan perdamaian dan pembicaraan diantara kepala suku.
Pemberontakan sejak 2003 itu awalnya bersandar pada Suku Zaghawa. Lalu mereka ingin memasukkan suku-suku lainnya. Mereka mulai menakut-nakuti dan menyerang suku-suku lain dan memaksakan pungutan. Karena itu suku-suku lain dihadapkan pada dua pilihan: bergabung dengan pemberontak atau membentuk milisi untuk melindungi diri dari serangan. Lalu terbentuklah berbagai milisi dan dengan cepat menjadi kuat karena tersebarnya senjata di Darfur yang dimasukkan dari negara tetangga. Konflik pun semakin krusial. Ribuan nyawa melayang. Ratusan kampung musnah terbakar. Ratusan ribu kehilangan tempat tinggal serta terpaksa beralaskan bumi beratapkan langit. Sebagian dari mereka mengungsi ke Chad.
Faktor kedua, yaitu penelantaran pemerintah atas wilayah Darfur, terlihat jelas dengan adanya pembiaran atas perselisihan masalah tanah, gembalaan dan sumber air yang terus terjadi antar suku di Darfur. Semestinya pemerintah segera menyelesaikan masalah yang terjadi dengan bijak dan penuh kesadaran, dengan mempertemukan semua pihak; mengurusi dan memelihara mereka tanpa deskriminasi; juga dengan menyediakan gembalaan bagi para peternak serta saprotan untuk para petani penduduk wilayah itu.
Pemerintah tidak melakukan itu, justru membiarkan perselisihan itu menjadi konflik yang rumit dan krusial. Para milisi pun semakin banyak tersebar di wilayah. Mereka didukung oleh Prancis melalui Chad dan dibesar-besarkan oleh Inggris melalui media. Kemudian mereka didukung oleh pemberontak selatan, John Garang, dari balik tembok dan milisi yang didukung oleh negara. Lebih parah lagi, bukannya mengasimilasi para milisi dan mendamaikan antar kabilah yang berselisih, pemerintah justru menaikkan eskalasi konflik dengan menggunakan kekuatan darat dan udara untuk mendukung Milisi Janjaweed. Akhirnya, konflik berdarah terus memuncak dan semakin rumit. Pemerintah justru menungu penyelesaiannya dari Garang dan negara lain.
Faktor ketiga bisa dikatakan sebagai faktor utama berlanjutnya konflik, yakni faktor persaingan AS-Eropa (Prancis dan Inggris) yang memperebutkan wilayah dan pengaruh di Darfur dan Afrika umumnya.
Sejak inisiasi IGAD dan tercapainya Protokol Machakos, terlihat bahwa AS mendominasi penyelesaian masalah Sudan Selatan sesuai dengan keinginannya. Dengan begitu AS bisa menancapkan pengaruh di seluruh Sudan, karena Umar al-Bashir sendiri termasuk loyalis AS. Jika proses itu terus berlanjut, AS bisa meluaskan pengaruhnya di seluruh Afrika. Ini merisaukan Prancis yang memiliki pengaruh di Chad karena pemerintah Chad termasuk agen Prancis. Karena itu Prancis ingin menghambat agar AS tidak mendominasi seluruh Sudan dan merembet ke negara tetangga terutama Chad. Prancis pun merekayasa konflik di Darfur. Ini bisa dilihat dari dukungan yang diberikan kepada pemberontak dari Suku Fur oleh Prancis melalui Chad baik senjata, dana dan dijadikannya Chad sebagai titik tolak dan kembali para pemberontak.
Adapun Inggris tahu betul bahwa ia telah terdepak dari percaturan Sudan Selatan. Inggris merasa Sudan adalah wilayah pengaruhnya karena dulu adalah wilayah jajahannya. Karena itu Inggris tidak mau kehilangan total atas Sudan. Inggris tahu kalau masih ingin memiliki pengaruh atas Sudan maka itu ada di bagian barat, yaitu Darfur, dan di Sudan Timur. Darfur diperkirakan kaya akan minyak selain sudah terbukti memiliki cadangan Uranium yang cukup besar. Wilayah konsesi minyak Darfur sendiri sebagian besarnya masih bebas terutama Blok 12B (ECOS 2007) yang ada di Darfur Selatan, Barat dan Utara. Adapun Sudan Timur yakni Prop. Red Sea jelas kaya minyak dan sudah berproduksi, selain masih ada blok bebas yakni Blok 10 (ECOS 2007) di Prop. Kassala dan Qadaref.
Inggris mengobarkan Konflik Darfur dengan membesarkan Masalah Darfur melalui media. London dijadikan corong media bagi para pemimpin pemberontak. Media pun mengekspos besar-besaran konflik di Darfur dan menyebutnya sebagai bencana kemanusiaan terbesar abad ini. Eropa menempuh dua strategi. Pertama: Mengisolasi Pemerintah Sudan dan menjatuhkan sanksi kepada mereka yang bertangung jawab. Kedua: Intervensi militer ke Darfur. Setelah opini umum internasional sampai pada tahap ini, Prancis dan Inggris mendorong agar diterapkan sanksi atas Pemerintah Sudan dan dikirimkan pasukan perdamaian dari luar Sudan, yakni dari PBB. Inggris tahu bahwa AS akan kesulitan untuk mendominasi pasukan perdamaian itu karena sedang menghadapi situasi sulit di Irak dan Afganistan kala itu.
Pada 31 Maret 2004, Prancis dengan dukungan Inggris berhasil mendorong pembahasan resolusi DK PBB no. 1593 yang mengalihkan pengadilan penjahat perang di Darfur ke Mahkamah Kejahatan Internasional (ICC). AS menolak resolusi ini dan menginginkan agar pengadilan itu dilakukan di pengadilan khusus bermarkas di Arosha Tanzania, sama seperti pengadilan penjahat perang di Rwanda.
AS sadar bahwa Eropa telah bergerak maju dalam Masalah Darfur. AS khawatir wilayah Darfur akan didominasi oleh Eropa. Karena itu AS pun dipaksa untuk turut campur agar bisa mengarahkan dan memimpin jalannya proses. AS lalu menekan Pemerintah Sudan untuk menghentikan bencana di Darfur dengan beberapa tuntutan. Di antaranya agar Pemerintah Sudan mengirimkan polisi sebanyak 6000 personel untuk menjaga keamanan penduduk Darfur, membubarkan Milisi Janjaweed dan melucuti senjatanya. Jumlah itu akhirnya dipenuhi Pemerintah Sudan pada 22 Juli 2004. Hanya saja Dubes Sudan untuk PBB ketika ditanya tentang waktu yang diperlukan untuk melucuti Janjaweed, ia menjawab bahwa tidak ada seorang pun yang tahu. Dengan begitu konfllik pun bukan berhenti, tetapi justru makin panas. Ini karena Milisi Janjaweed akhirnya justru bentrok dengan pasukan pemerintah yang dulu mendukungnya, sementara Milisi Janjaweed sudah terlanjur besar dan memiliki persenjataan yang cukup.
AS sebenarnya tidak ingin mengobarkan Masalah Darfur sampai masalah Selatan beres. Dubes AS di Kharthoum, Gerald Kalosyi, pada Mei 2004 menyatakan bahwa kondisi Darfur mencerminkan masalah vital di file HAM di Sudan. Ia menambahkan bahwa ia tetap memelihara kaitan aktivitas perdamaian di Selatan dengan penciptaan perdamaian di Darfur. Ini mengisyaratkan, AS ingin Masalah Selatan selesai lebih dulu baru concern terhadap Darfur. Eropa tahu betul hal itu. Karena itu Inggris dan Prancis pun justru fokus mengobarkan Masalah Darfur untuk menyibukkan Pemerintahan Umar al-Bashir atau menggoyang posisinya dan kalau bisa menjatuhkannya. Inggris dan Prancis pun tetap menginginkan pengiriman tentara dari luar ke Sudan (Darfur).
AS ingin memotong upaya Eropa itu. AS pada 22/07/04 mengusulkan resolusi ke DK PBB yang mengingatkan agar Pemerintah Sudan memperbaiki situasi di Darfur dan memberikan masa tenggang kepada Kharthoum untuk melakukannya. Paul Wolfowitz menyatakan bahwa ia tidak menyerukan solusi militer sekarang tetapi pemerintah Sudan harus menyelesaikan masalah yang ada. Adapun Eropa (Inggris dan Prancis) ingin pengiriman pasukan langsung tanpa masa tenggang. Tony Blair pada 22/07/04 menyatakan bahwa intervensi militer di Sudan tidak boleh dikesampingkan. Bahkan ia mengusulkan untuk mengirimkan 5000 tentaranya ke Darfur. Bahkan Prancis pada 31/07/04 menggelar kekuatannya di perbatasan Chad dan Darfur. Seruan pengiriman masukan ke Darfur pun makin meningkat. Menlu Australia menyatakan siap ikutserta dalam pasukan internasional di Darfur (Sidney Morning Herald, 02/08/04). [Gus Uwik; dari berbagai sumber]