Dalam kitab An-Nizhâm al-Islâm, bab “Masyrû’ ad-Dustûr-Dawlah al-Khilâfah”, pasal 112-122, diatur tatacara pelaksanaan hukum yang terkait dengan posisi perempuan, pelaksanaan tugas pokok mereka, dan penjagaan terhadap kehormatannya.
Pasal 112 menetapkan bahwa posisi dasar perempuan adalah seorang ibu dan pengatur rumah; perempuan adalah ‘kehormatan’ yang wajib dijaga. Ini diambil dari dalil-dalil yang menjelaskan tentang: anjuran menikah pada usia muda, perempuan (ibu) lebih berhak dalam pengasuhan anak daripada laki-laki (suami), permintaan izin istri kepada suami ketika keluar rumah, kewajiban istri melayani keperluan suami, aurat wanita dan aturan dalam kehidupan privat mereka (dalam rumah), larangan bagi wanita untuk berhias dan memperlihatkan auratnya kepada laki-laki bukan mahram-nya dan kewajiban bagi mahram untuk menyertai perjalanan perempuan selama 24 jam atau lebih.
Pasal-pasal selanjutnya menjelaskan tentang penjagaan kehormatan perempuan dan pemenuhan hak-hak perempuan. Ada pemisahan antara laki-laki dan perempuan; dikecualikan pada waktu, tempat dan aktivitas yang dibolehkan Allah SWT, yaitu saat di rumah, berkumpul bersama ayahnya, saudara laki-lakinya, pamannya, kakeknya atau dengan suami dan anak-anak laki-laki mereka. Saat di luar rumah keduanya dibolehkan bertemu pada saat berjual beli, sewa-menyewa, saat haji, layanan pengobatan, dan hal lain yang dijelaskan oleh syariah dengan ketentuan bahwa perempuan harus memalaki jilbab dan kerudung (QS al-Ahzab [33]: 33 dan QS an-Nur [24]: 30).
Untuk memenuhi haknya, Islam membolehkan perempuan terlibat dalam aktivitas pertanian, perdagangan, industri, bisnis, berprofesi sebagai guru, dokter, insinyur dan sebagainya yang tidak dilarang oleh syariah. Islam pun memperkenankan perempuan menjadi pegawai negara Khilafah seperti menjadi qâdhi (hakim pengadilan), ditunjuk menjadi anggota majelis umat dalam negara Khilafah, turut serta dalam pemilihan khalifah dan pengesahannya. Untuk menjaga fungsi utamanya, yaitu optimal dalam menjalankan fungsi strategisnya sebagai ibu pendidik anak-anak dan generasi, Islam menetapkan bahwa perempuan tidak menduduki jabatan penguasa yaitu menjadi khalifah, pembantu khalifah (mu’awin), wali (setingkat gubernur), ‘amil (setingkat bupati/walikota) dan menjadi ketua mahkamah agung dan panglima militer.
Dalam upaya menjaga kehormatan perempuan, Islam melarang perempuan (juga laki-laki) terlibat dalam aktivitas yang berbahaya bagi kesucian akhlak dan merusak masyarakat. Perempuan tidak boleh bekerja dengan mengeksploitasi sisi keperempuanannya, tetapi ia bekerja karena keterampilan dan ilmunya. Karena itu Islam melarang perempuan dijadikan model iklan, peragawati dan bekerja di tempat-tempat kemaksiatan dan mengharamkan pelacuran.
Di dalam kehidupan privat (rumah tangga), perempuan dimuliakan dengan menjadi ibu, istri, bibi, nenek dan di semua peran mereka dalam rumah. Ia berhak merasakan ketenangan hidup bersama suaminya. Karena itu suami wajib bersikap baik, tidak kasar, berkata santun dan memberi perhatian yang penuh kepada istrinya. Untuk keberlangsungan perannya, ibu dan istri harus diberi nafkah yang cukup. Ia tidak boleh dibebani dengan kewajiban nafkah. Sebabnya, Islam mewajibkan kepada wali (ayah, suami, saudara kandung laki-laki, anak laki-lakinya) untuk menyediakan tempat tinggal, membelikan pakaian, makanan dan segala keperluan yang dibutuhkan bagi mereka.
Suami dan istri harus bekerjasama dalam urusan keluarga. Suami menyediakan seluruh kebutuhan rumah tangga. Istri mengatur seluruh tata laksana di rumah tangga. Keduanya harus melakukan kewajiban dalam rangka memenuhi hak masing-masing. Tidak boleh ada satu pihak yang merasa lebih penting, namun harus saling mengisi sesuai porsinya. Bila istri tidak sanggup menjalankan tatalaksana rumah tangga, suami harus membantunya, termasuk menyediakan khadimah (pembantu).
Seluruh pelaksanaan hukum-hukum di atas, wajib dikontrol oleh Khalifah. Sebelum itu, Khalifah harus menyiapkan dan memastikan bahwa semua pihak yang terkait dengan pengurusan perempuan, paham dan mampu menjalankan kewajibannya. Khilafah harus menyiapkan kurikulum pendidikan yang mendidik murid laki-laki mampu menjalankan kewajiban sebagai kepala keluarga, paham kewajiban nafkah, menggauli istri dengan baik, yang dilandaskan pada keimanannya yang kokoh dan keterikatannya yang kuat dengan hukum-hukum Allah SWT. Khilafah juga harus menyediakan kurikulum untuk pengembangan skill agar laki-laki punya keterampilan untuk bekerja. Khilafah juga harus mendidik murid perempuan untuk memampukan mereka menjadi seorang ibu dan istri yang baik dalam mendidik anak, mengelola rumah tangga, dan tugas terkait lainnya.
Khilafah harus mengelola sumberdaya alam yang menjadi milik umum dan negara, sesuai ketentuan Islam, dalam rangka menyiapkan lapangan kerja dan memenuhi kebutuhan kolektif masyarakat. Dengan itu Khilafah dapat meratakan kemakmuran dan kesejahteraan bagi setiap keluarga, dan terjadi optimalisasi peran keluarga, khususnya peran perempuan. Ibu mempunyai fungsi strategis bagi bangsa. Ibu bertanggung jawab dalam pengasuhan dan pembinaan anak-anak mereka, memberi kontribusi positif bagi kualitas generasi penerus bangsa. Dengan pengaturan seperti ini, maka kehormatan dan kemuliaan seorang perempuan terwujud, keharmonian keluarga terpelihara, lahir generasi penerus yang potensial dan berdaya guna bagi bangsa.
Negara Demokrasi Merendahkan Perempuan
Demokrasi memandang bahwa kehormatan perempuan dicapai saat mereka memperoleh kedudukan yang sama dengan laki-laki. Visi feminis adalah bagaimana kesetaraan jender bisa dicapai. Satu abad lebih perjuangan feminis tidak kunjung mewujudkan visi mereka. Alih-alih setara, justru sistem demokrasi yang berpijak pada ide kebebasan telah menjadi bumerang bagi perempuan sendiri.
Kebebasan berperilaku atas nama HAM menjerumuskan perempuan pada aktivitas yang merendahkan martabatnya. Kemiskinan yang muncul akibat penerapan sistem ekonomi kapitalis yang berlandaskan konsep kebebasan kepemilikan harta dan sumberdaya, memaksa perempuan memilih pekerjaan yang menyalahi fitrahnya. Di sisi lain, pemberdayaan politik perempuan dengan upaya memperbanyak jumlah perempuan di pemerintahan, untuk melakukan reformasi undang-undang agar berpihak pada perempuan, juga tidak berhasil menyelesaikan problematika mereka. Sampai hari ini isu kekerasan terhadap perempuan masih menjadi fokus pembahasan para pejuang kesetaraan jender.
Mengapa mereka tidak berhasil? Karena feminisme dibangun di atas dasar yang salah. Setiap masalah yang menimpa perempuan dianggap sebagai akibat ketimpangan jender. Mereka tidak melihat bahwa penyebab sebenarnya dari masalah perempuan berawal dari sistem buatan manusia yang dipenuhi ide dan nilai-nilai yang salah dalam memposisikan mereka. Mereka tidak menyadari ketidakmampuan ideologi buatan manusia dalam memberikan kebahagiaan kepada manusia atau memecahkan masalah secara efektif. Mereka tidak paham bahwa sistem demokrasi liberal itu membuka celah munculnya diktator yang menindas perempuan dan merampas hak-hak mereka. Mereka tidak mengakui bahwa sistem kapitalis demokrasi sekular telah memiskinkan jutaan perempuan, mengabaikan pendidikan, kesehatan dan pelayanan umum lainnya. Mereka pun tidak mau tahu bahwa sistem ini telah mengeksploitasi tubuh mereka untuk keuntungan pengusaha kapitalis untuk meraup keuntungan besar.
Oleh karena itu, para pejuang perempuan telah salah bertindak dengan mencoba membuat undang-undang dan mereformasi kebijakan yang ada, dan bukannya mencabut sistem demokrasi liberal ini dari negeri kita. Usaha mereka justru mempertahankan status quo dan memperkuat rezim korup dan busuk di seluruh dunia Muslim, yang merupakan sumber utama penderitaan bagi perempuan. Hal ini karena mereka mengalihkan perhatian dari masalah yang sebenarnya dan bekerja dalam sistem yang cacat, daripada perombakan radikal. Ini hanya membuang-buang waktu dan tenaga.
Mengembalikan Kemuliaan Perempuan dengan Khilafah
Telah jelas dan nyata, Khilafah memuliakan kaum perempuan dan merealisasikan kemuliaan itu dengan penjagaan dan perlindungan terhadap posisi dan fungsi strategis mereka. Islam menyiapkan solusi untuk berbagai masalah kehidupan dan telah menentukan solusi yang paling tepat untuk permasalahan perempuan. Perempuan yang tinggal di bawah lindungan Khilafah adalah seorang gadis suci yang dilindungi, seorang ibu cerdas dan pintar serta seorang istri bijak dan santun. Khilafah tidak akan pernah mentoleransi satu kata atau perbuatan yang melanggar martabat perempuan, meniscayakan seorang perempuan menjalankan semua kewajibannya yang dititahkan Allah SWT kepadanya.
Tarikh Islam membuktikan, Khilafah adalah negara yang memobilisasi seluruh tentara untuk membela darah dan kehormatan perempuan. Khilafah yang dipimpin oleh penguasa yang bertakwa, akan memikul beban ekonomi perempuan yang tidak punya wali, dan berusaha untuk menyediakan bagi mereka kehidupan yang baik dan bermartabat. Ini adalah negara yang akan mengangkat dari perempuan beban berat nafkah mereka sendiri. Dengan begitu mereka tidak harus berjuang untuk memberi makan diri mereka sendiri dan keluarga mereka. Khilafahlah yang memberikan mereka kenyamanan dan keamanan finansial. Khilafah akan mengembalikan semua hak yang diberikan Allah SWT kepada mereka, mengoptimalkan suara politik mereka, memberi pendidikan dan layanan kesehatan serta jaminan keamanan terbaik bagi mereka. Seperti itulah mulianya kehidupan perempuan dalam ri’âyah (pengaturan) Khilafah Islamiyah ‘ala minhaj an-nubuwwah. [Ir. Ratu Erma Rachmayanti; DPP MHTI]