Islam diturunkan oleh Allah SWT dengan membawa syariah yang sempurna, yang akan mewujudkan rahmatan lil âlamîn (kedamaian dan kesejahteraan bagi alam semesta). Hanya saja, manusia—sebagai subyek dari syariah Islam ini—tetaplah seorang manusia, yang tidak lepas dari melakukan kesalahan (kezaliman, penyelewengan dan pelanggaran), baik ia sebagai penguasa maupun rakyat biasa. Lalu bagaimana negara Khilafah mengatasi perkara ini? Adakah dalam Khilafah lembaga tertentu yang bertugas untuk mengatasi masalah ini?
Telaah Kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam, Pasal 75, yang berbunyi: “Lembaga Peradilan (al-Qadhâ’) adalah pemberitahuan keputusan hukum yang bersifat mengikat. Lembaga peradilan menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara masyarakat, atau mencegah hal-hal yang dapat merugikan hak jamaah, atau mengatasi perselisihan yang terjadi antara rakyat dan aparat pemerintah; penguasa atau pegawainya; Khalifah atau lainnya.” (Hizbut Tahrir, Masyrû’ Dustûr Dawlah al-Khilâfah, hlm. 21).
Dalil Pensyariatan Lembaga Peradilan
Dalilnya adalah al-Quran dan as-Sunnah. Dalil yang berasal dari al-Quran adalah firman Allah SWT:
وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ
Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut wahyu yang telah Allah turunkan (QS al-Maidah [5]: 49).
وَإِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ…
Jika mereka dipanggil menuju Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka… (QS an-Nur [24]: 48).
Adapun dalil dari as-Sunnah adalah tindakan rasul saw. sendiri. Saat memimpin Daulah Islam di Madinah, beliau secara langsung memimpin lembaga peradilan ini. Beliau juga memutuskan masalah yang terjadi di antara anggota masyarakat. Aisyah ra. berkata:
Utbah bin Abi Waqqash telah mengamanah-kan kepada saudaranya, yaitu Saad bin Abi Waqqash, “Anak laki-laki dari walîdah (budak perempuan) Zam’ah adalah bagian dari keluargaku.” Karena itu ambillah dia.” Saat tahun Fathu Makkah (Penaklukan Kota Makkah), Saad mengambil anak itu. Saad berkata, “Dia adalah anak saudaraku yang telah mengamanahkan kepadaku tentang anak laki-laki ini.” Abdu bin Zam’ah berdiri seraya berkata, “Dia (anak laki-laki) saudaraku dan anak dari budak perempuan bapakku yang dilahirkan di atas tempat tidurnya (dilahirkan dari hasil pernikahan yang sah dengan suaminya).” Keduanya mengadukan perkara itu kepada Rasulullah saw. Saad berkata, “Wahai Rasulullah, dia adalah anak dari saudaraku yang telah mengamanahkan kepadaku tentang anak ini.” Kemudian Abdu bin Zam’ah berkata, “Dia (anak laki-laki) saudaraku dan anak dari budak perempuan bapakku.” Rasulullah saw. bersabda, “Dia itu menjadi milikmu, wahai ‘Abdu bin Zam’ah.” Kemudian Nabi saw. bersabda, “Anak itu milik suami (yang menikah dengan sah), sedangkan untuk pezina (muhshan) bagi dia adalah batu (dirajam).” (HR al-Bukhari).
Rasulullah saw. juga pernah mengangkat seseorang sebagai qâdhî (hakim). Beliau telah mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai qâdhî di Yaman. Beliau berpesan kepada dia sebagai arahan mengenai tatacara memutuskan suatu perkara secara adil dan benar. Rasulullah saw. bersabda:
إِذَا تَقَاضَى إِلَيْكَ رَجُلاَنِ فَلاَ تَقْضِ لِْلأَوَّلِ حَتَّى تَسْمَعَ كَلاَمَ اْلآخَرِ فَسَوْفَ تَدْرِي كَيْفَ تَقْضِي
Jika dua orang menghadap kepada kamu meminta keputusan, janganlah kamu tergesa-gesa memutuskan perkara di antara mereka (hanya dengan mendengar keterangan satu pihak) sebelum engkau mendengarkan perkataan pihak lainnya hingga engkau tahu bagaimana seharusnya engkau memutuskan perkara di antara mereka itu (HR at-Tirmidzi dan Ahmad).
Dalam hadis lain dinyatakan dengan matan:
إِذَا جَلَسَ إِلَيْكَ الْخَصْمَانِ فَلَا تَكَلَّمْ حَتَّى تَسْمَعَ مِنْ اْلآخَرِ كَمَا سَمِعْتَ مِنْ اْلأَوَّلِ
Jika ada dua orang yang bersengketa duduk di hadapanmu (meminta keputusan), janganlah engkau berbicara (memberi keputusan) hingga engkau mendengarkan dari pihak lain sebagaimana engkau telah mendengarkan dari pihak pertama (HR Ahmad).
Semua ini adalah dalil tentang disyariahkannya lembaga peradilan (qadhâ’). Dari hadis riwayat Aisyah ini tampak jelas bagaimana tatacara yang telah ditempuh oleh Rasulullah saw. dalam memutuskan perkara sengketa antara Saad dan Abdu bin Zam’ah mengenai status anak laki-laki Saudah binti Zam’ah. Satu mengklaim sebagai keponakannya. Satunya mengklaim sebagai saudaranya. Masing-masing merasa berhak atas anak laki-laki itu. Kemudian Rasulullah saw. memberitahu keduanya tentang status hukum syariah yang berkaitan dengan anak laki-laki yang mereka sengketakan, bahwa anak laki-laki Saudah adalah saudara Abdu bin Zam’ah. Sebab, Anak itu milik suami (yang menikah dengan sah). Dengan demikian, keputusan Rasulullah saw. itu adalah pemberitahuan keputusan hukum syariah, dan Rasulullah saw mengharuskan keduanya terikat dengan keputusan itu. Abdu bin Zam’ah akhirnya mengambil anak laki-laki tersebut.
Dalil-dalil tersebut juga menjadi dasar penetapan Pasal 75 Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam. Pasal tersebut merupakan definisi lembaga peradilan. Definisi ini merupakan sifat suatu fakta. Hanya saja, karena fakta itu adalah fakta syariah, sedang definisi syar’i adalah hukum syariah, maka harus ada dalil yang menjadi dasar lahirnya definisi tersebut. Dengan demikian, hadis-hadis tersebut merupakan dalil yang melahirkan definisi lembaga peradilan pada Pasal 75 ini (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 238-239; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 109; Zallum, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 183).
Definisi Lembaga Peradilan
Sebagian orang ada yang mendefinisikan lembaga peradilan (qadhâ’) sebagai lembaga yang menyelesaikan perkara-perkara sengketa di antara sesama anggota masyarakat. Namun, definisi ini masih belum utuh dilihat dari satu sisi. Definisi tersebut bukan sifat atas fakta lembaga peradilan seperti yang dilakukan dan disabdakan oleh Rasulullah saw. Ini dari sisi yang lain. Definisi tersebut hanya menjelaskan hal-hal yang bisa dihasilkan oleh lembaga peradilan (yang berupa keputusan). Padahal keputusan itu kadang-kadang tidak dihasilkan dari lembaga peradilan ini. Seorang qâdhî (hakim) kadang-kadang memutuskan suatu perkara dan kadang-kadang tidak memutuskan perkara dua orang yang bersengketa. Dengan demikian, definisi yang jâmi’ (menyeluruh) dan mâni’ (mengeliminasi adanya hal-hal di luar yang dedefinisikan) adalah definisi yang ada pada Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam, Pasal 75 ini. Definisi tersebut digali dari sejumlah hadis (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 239; Zallum, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 183).
Definisi lembaga peradilan yang ada pada Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam, Pasal 75 ini, meliputi peradilan perselisihan yang terjadi di antara anggota masyarakat, sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadis riwayat Aisyah; juga meliputi masalah hisbah, yaitu: “Penyampaian keputusan hukum syariah yang bersifat mengikat dalam masalah yang membahayakan hak jamaah.” Misalnya, peristiwa yang terdapat di dalam hadis tumpukan makanan (shubrah at-tha‘âm). Diriwayatkan di dalam Shahîh Muslim dari Abu Hurairah ra. Sesungguhnya Rasulullah saw. pernah berjalan melewati tumpukan makanan. Beliau kemudian memasukkan tangannya dan mendapati sebagiannya masih basah. Beliau lalu bersabda, “Apa ini, wahai pemilik makanan?” Pemilik makanan itu berkata, “Itu terkena air hujan, ya Rasulullah.” Lalu beliau bersabda, “Lalu mengapa tidak engkau letakkan di atas supaya orang-orang bisa melihatnya. Siapa saja yang menipu maka ia tidak termasuk dari golonganku.” (HR Muslim).
Dalam riwayat lain juga disebutkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا
Siapa saja yang menipu kami tidak termasuk dari golongan kami (HR Ahmad, Ibn Majah dan ad-Darimi).
Definisi lembaga peradilan pada Pasal 75 ini juga meliputi eksaminasi dan pemutusan perkara-perkara mazhâlim (kezaliman) karena hal itu termasuk tugas lembaga peradilan. Masalah mazhâlim itu merupakan pengaduan atas perbuatan seorang penguasa. Mazhâlim adalah: “Penyampaian keputusan hukum syariah yang bersifat mengikat dalam masalah yang terjadi antara anggota masyarakat dengan Khalifah atau salah seorang Mu‘âwin Khalifah, para wali, atau pegawai negeri; serta dalam masalah yang terjadi di antara kaum Muslim berupa perselisihan mengenai makna suatu nas di antara nas-nas syariah yang akan dijadikan dasar memutuskan perkara dan akan diterapkan hukumnya.” (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 239; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 109; Zallum, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 183).
Terkait masalah mazhâlim, telah dinyatakan di dalam hadis Rasulullah saw. mengenai masalah penetapan harga ketika beliau bersabda:
وَإِنِّي َلأَرْجُو أَنْ أَلْقَى اللَّهَ وَلاَ يَطْلُبُنِي أَحَدٌ بِمَظْلَمَةٍ ظَلَمْتُهَا إِيَّاهُ فِي دَمٍ وَلاَ مَالٍ
Aku tidak berharap akan berjumpa (menghadap) Allah SWT, sementara ada orang yang menuntutku karena suatu kezaliman yang telah aku perbuat kepada dia, baik dalam masalah yang berkaitan dengan darah ataupun harta (HR Ahmad).
Beliau juga bersabda:
مَنْ أَخَذْتُ لَهُ مَالاً فَهَذَا مَالِي فَلْيَأْخُذْ مِنْهُ وَمَنْ جَلَدْتُ لَهُ ظَهْرًا فَهَذَا ظَهْرِي فَلْيَقْتَصَّ مِنْهُ
Siapa saja yang pernah aku ambil hartanya, maka inilah hartaku. Karena itu, hendaklah ia mengambilnya. Siapa saja yang pernah dicambuk punggungnya, maka ini punggungku. Karena itu, hendaklah ia mengambil qishâsh dariku (HR Abu Ya’la).
Terkait hadis ini, al-Haitsami berkata bahwa di dalam sanad-nya terdapat Abu Ya’la ‘Atha’ bin Muslim. Ia di-tsiqah-kan oleh Ibnu Hibban dan lainnya, sementara beberapa ulama hadis yang lain men-dhaif-kannya. Namun, para rawi lain semuanya adalah para rawi yang tsiqah, yakni terpercaya (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 240).
Hadis ini menunjukkan bahwa perkara yang dilakukan oleh seorang penguasa, wali, atau pegawai negeri akan diangkat kepada Qâdhî Mazhâlim dalam masalah yang diadukan oleh seseorang sebagai kezaliman. Kemudian Qâdhî Mazhâlim-lah yang berwenang menyampaikan keputusan hukum syariah yang bersifat mengikat dalam masalah tersebut (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 240; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 110; Zallum, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 184).
Dengan demikian definisi lembaga peradilan di atas telah meliputi ketiga jenis peradilan yang telah dinyatakan di dalam hadis-hadis dan perbuatan-perbuatan Rasulullah saw. Lembaga peradilan dalam negara Khilafah tugasnya adalah: “Menyelesaikan persengketaan yang terjadi di antara anggota masyarakat, mencegah sesuatu yang dapat membahayakan hak jamaah, dan menghilangkan (menyelesaikan) perselisihan yang terjadi antara rakyat dan para penguasa, atau antara rakyat dan para pegawai negeri, dalam melaksanakan tugas-tugas mereka.” (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 240; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 110; Zallum, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 184).
WalLâhu a’lam bish-shawâb. [Muhammad Bajuri]
Daftar Bacaan
Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fî al-Hukm wa al-Idârah, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan I, 2005.
Hizbut Tahrir, Masyrû’ Dustûr Daulah al-Khilâfah, edisi Mu’tamadah, (versi terbaru tanggal 03/06/2014), http://www.hizb-ut-tahrir.info/info/index.php/contents/entry_28722.
Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.
Zallum, Asy-Syaikh Abdul Qadim, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan VI, 2002.