Penegasan (Kembali) Kewajiban Khilafah

Para ulama mu’tabar telah mendefinisikan Imamah dan Khilafah secara syar’i. Imam al-Haramain, misalnya, berkata:1

الإمامة رياسة تامة، وزعامة تتعلق بالخاصة والعامة في مهمات الدين والدنيا

Imamah adalah kepemimpinan yang utuh, kepemimpinan yang berkaitan dengan hal umum maupun khusus dalam tugas-tugas agama maupun dunia.

Imam ar-Ramli menyatakan2:

الخليفة هو الامام الاعظام، القائم بخلافة النبوة، فى حراسة الدين وسياسة الدنيا

Khalifah itu adalah imam yang agung, yang tegak dalam Khilafah an-Nubuwwah, dalam melindungi agama serta politik yang sifatnya duniawi.

Definisi yang lebih lengkap yang mengkompromikan berbagai definisi para ulama salaf adalah yang dikemukakan oleh Syaikh Dr. Abdul Majid al-Khalidi,3 yang menyatakan bahwa Khilafah adalah:

رئاسة عامة للمسلمين جميعا فى الدنيا لاقامة احكام الشرعى الاسلامي, وحمل الدعوة الاسلامية الى العالم

Kepemimpinan umum bagi kaum Muslim di dunia untuk menegakkan hukum-hukum syariah Islam serta mengemban dakwah Islam ke suluruh dunia.

Dari sisi penggunanaannya, istilah imamah, khilafah atau imarah, digunakan oleh para ulama untuk menunjuk pada obyek yang sama. Itulah yang ditegaskan oleh Syaikh al-Islam al-Imam al-Hafidz Abu Zakaria an-Nawawi:4

يجوز أن يقال للإمام: الخليفة، والإمام، وأمير المؤمنين

Imam boleh juga disebut dengan khalifah, imam atau amirul mukminin.

Karena itulah, benar kesimpulan yang dikemukakn oleh Dr. Abdullah bin Umar ad-Dumaiji dalam tesis masternya di Universitas Ummul Qura, yang berjudul Imâmah al-Udzma inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah,5 “Mereka yang melakukan eksplorasi secara seksama terhadap hadis-hadis tentang Khilafah dan Imamah akan mendapatkan fakta bahwa Rasulullah saw., para Sahabat dan para Tâbi’in yang meriwayatkan hadits-hadits tersebut, tidak membeda-bedakan istilah khalifah dan imam. Bahkan setelah pengangkatan Sayidina Umar Ibn al-Khaththab ra. sebagai khalifah, para Sahabat menambahkan panggilan untuk beliau dengan istilah amirul mu’minin.

Urgesitas Khilafah Menurut Ulama Aswaja

Urgensitas Khilafah atau Imamah ini telah banyak ditegaskan oleh para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah (Aswaja). Hujjatul Islam al-Imam Abu Hamid al-Ghazali, misalnya, dalam kitabnya, Al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd, menyatakan,6 “…Agama dan kekuasaan itu ibarat (dua saudara) kembar…Agama itu pondasi, sedangkan kekuasaan itu adalah penjaga. Sesuatu yang tanpa pondasi akan roboh dan sesuatu yang tanpa penjaga akan hilang…Jelaslah bahwa sesungguhnya kekuasaan itu urgen…Dengan demikian kewajiban mengangkat imam (khalifah) itu adalah termasuk salah satu dari hal-hal yang urgen secara syar’i.”

Imam Ibn Hajar al-Haitami al-Makki asy-Syafii, dalam kitabnya, Shawâ’iq al-Muhriqah (I/25) juga menyatakan, “…Para Sahabat ra. telah berijmak bahwa mengangkat imam (khalifah) setelah masa kenabian berakhir adalah wajib. Bahkan mereka menjadikan kewajiban tersebut sebagai yang paling penting saat mereka lebih menyibukkan diri dalam urusan mengangkat imam (khalifah) daripada memakamkan (jenazah suci) Rasulullah saw.”

Pendapat Ulama Mu’tabar: Khilafah Wajib

Para ulama mu’tabar dari berbagai madzhab telah bersepakat atas kewajiban menegakkan Imamah atau Khilafah. Tentu pernyataan mereka adalah merupakan hasil istinbâth mereka dari dalil-dalil syariah, baik hal itu mereka jelaskan ataupun tidak.

Imam ‘Alauddin al-Kasani al-Hanafi7 berkata, “…Sesungguhnya mengangkat imam (khalifah) yang agung itu adalah fardhu. Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat di antara ahlul-haq…”

Syaikh al-Islam al-Imam al-Hafidz Abu Zakaria an-Nawawi asy-Syafii8 berkata:

لا بد للأمة من إمام يقيم الدين وينصر السنة وينتصف للمظلومين ويستوفي الحقوق ويضعها مواضعها. قلت تولي الإمامة فرض كفاية …

Umat Islam wajib memiliki seorang imam (khalifah) yang menegakkan agama, menolong Sunnah, memberikan hak bagi orang yang dizalimi, menunaikan hak dan menempatkan hal tersebut pada tempatnya. Saya nyatakan, menegakkan Imamah adalah fardhu kifayah.

Imam Fakhruddin ar-Razi, penulis kitab Manâqib asy-Syâfi’i, saat menjelaskan QS al-Maidah [5] ayat 38, menegaskan,9 “Para mutakallimin berhujjah dengan ayat ini bahwa wajib atas umat untuk mengangkat seorang imam (khalifah) untuk mereka. Dalilnya adalah bahwa Allah SWT telah mewajibkan di dalam ayat ini untuk menegakkan had atas pencuri dan pezina. Tentu harus ada seseorang yang melaksanakan seruan tersebut. Sungguh umat telah sepakat bahwa tidak seorang pun dari rakyat yang boleh menegakkan had atas pelaku kriminal tersebut. Bahkan mereka telah sepakat bahwa tidak boleh (haram) menegakkan had atas orang yang merdeka pelaku kriminal kecuali oleh imam (khalifah)…Karena itu kewajiban mengangkat imam (khalifah) adalah hal yang pasti.”

Imam al-Qurtubi, seorang ulama dan mufassir mazhab Maliki, ketika menakwilkan QS al-Baqarah ayat 30, berkata,10 “Ayat ini adalah pokok (yang menegaskan) keharusan mengangkat imam atau khalifah untuk didengar dan ditaati…Tidak ada perbedaan tentang kewajiban ini di antara umat; tidak pula di antara para imam kecuali apa yang diriwayatkan dari Al-‘Asham.”

Penjelasan Imam al-Qurthubi di atas ditegaskan lagi oleh Al-Hafidz Ibn Katsir asy-Syafii saat menakwilkan surah dan ayat yang sama11:

وقد استدل القرطبي وغيره بهذه الآية على وجوب نصب الخليفة ليفصل بين الناس فيما يختلفون فيه، ويقطع تنازعهم، وينتصر لمظلومهم من ظالمهم، ويقيم الحدود، ويزجر عن تعاطي الفواحش، إلى غير ذلك من الأمور المهمة التي لا يمكن إقامتها إلا بالإمام.

Sungguh al-Qurthubi dan yang lain berdalil berdasarkan ayat ini atas kewajiban mengangkat khalifah untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara manusia, memutuskan pertentangan mereka, menolong orang dizalimi dari yang menzalimi, menegakkan hudûd, mengenyahkan kerusakan dan berbagai perkara penting lainnya yang tidak mungkin semua itu dilakukan kecuali oleh Imam (Khalifah).

Imam Abul Qasim an-Naisaburi asy-Syafii berkata12:

أجمعت الأمة على أن المخاطب بقوله {فاجلدوا} هو الإمام حتى احتجوا به على وجوب نصب الإمام.

Umat Islam telah bersepakat bahwa yang menjadi obyek khithâb Allah SWT, “Karena itu cambuklah” adalah imam (khalifah). Karena itulah mereka berhujjah atas kewajiban mengangkat imam (khalifah).

Imam Abu al-Hasan al-Mirdawi al-Hanbali dalam kitab Al-Inshâf13:

نَصْبُ الْإِمَامِ : فَرْضُ كِفَايَةٍ.

Mengangkat imam (khalifah) adalah fardhu kifayah.

Begitulah penegasan para ulama mu’tabar tentang kewajiban mengakkan Khilafah Islam sebagai sistem pemerintahan satu-satunya yang sah secara syar’i. Tentu kalau bukan karena terbatasnya ruang, bisa lebih banyak lagi dituliskan pendapat ulama mu’tabar tentang kewajiban mengangkat imam (khalifah) ini.

Menghilangkan Syubhat

Meski begitu jelas dan terang pendapat ulama tentang kewajiban mnegkan Khilafah, kita mendapati banyak pendapat aneh saat ini, yang justru berseberangan dengan pendapat para ulama mu’tabar tersebut. Intinya, mereka menolak kewajiban menegakkan Khilafah yang telah menjadi ijmak ulama mu’tabar ini. Sungguh ini sangat memprihatinkan.

Syubhah pertama: Khilafah tidak wajib, bahkan utupia. Dinyatakan, “Khilafah sebagai salah satu sistem pemerintahan adalah fakta sejarah yang pernah dipraktikkan oleh Khulafaur Rasyidin. Khilafah adalah model yang sangat sesuai dengan eranya…Masa itu umat Islam sangat dimungkinkan untuk hidup dalam satu sistem khilafah. Pada saat umat manusia bernaung di bawah negara-negara bangsa (nation states) maka sistem Khilafah bagi umat Islam sedunia kehilangan relevansinya. Bahkan membangkitkan kembali ide khilafah pada masa kita sekarang ini adalah sebuah utopia.”14

Pernyataan ini bertentangan dengan penjelasan Syaikh al-Islam al-Hafizh Abu Zakaria an-Nawawiy al-Asy’ari asy-Syafii15 saat beliau men-syarh salah satu hadis riwayat Imam Muslim:16

Makna hadis ini adalah: jika dibaiat seorang khalifah setelah pembaiatan seorang khalifah, maka baiat yang pertamalah yang sah…Adapun baiat yang kedua adalah batil…Haram bagi orang yang dibaiat yang kedua untuk menuntut Kekhilafahan…baik keduanya di dua negeri yang berbeda atau di satu negeri yang sama… Inilah yang benar menurut maszahab kita—para ulama Syafiiyyah—serta pendapat yang dipegag oleh jumhur ulama…Para ulama telah bersepakat bahwa tidak boleh diangkat dua khalifah pada masa yang sama, baik Darul Islam telah menjadi luas atau belum…

Jelas, menurut Imam an-Nawawi, Khalifah itu harus satu, tidak boleh lebih, meski Darul Islam telah menjadi luas.

Lalu bagaimana dengan klaim bahwa Khilafah itu utopia? Jawabannya sederhana sekali. Pertama: Bagaimana mungkin suatu yang diwajibkan oleh syariah disebut utopia? Kedua: Jika Khilafah itu utopia, mengapa George Bush beberapa tahun yang lampau begitu cemas sehingga menyatakan komitmennya,17 “We should open new chapter in the fight against enemies of freedom, against those who in the beginning of XXI century call Muslims to restore caliphate and to spread sharia” ?

Syubhah yang kedua: Sebagian yang lain mengklaim bahwa Khilafah itu dasarnya adalah hadis dha’îf. Karena hadis dha’îf, maka hukum yang di-istinbâth dari hadis itu pun gugur dengan sendirinya. Hadis yang dimaksud adalah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Al-Musnad (IV/273) tentang beberapa fase kekuasaan setelah fase Kenabian yakni: Khilafah ‘ala minhâj an-nubuwwah, mulk[an] ‘âdh[an], mulk[an] jabriyat[an] dan terakhir adalah kembalinya Khilafah ‘ala minhâj an-nubuwwah.

Jawaban atas syubhat yang kedua ini ada dua. Pertama: Dari sisi istidlâl. Para fuqaha mu’tabar saat meng-istinbâth hukum tentang kewajiban menegakkan Khilafah tidak berdasarkan hadis riwayat Imam Ahmad tersebut. Mengapa? Karena hadis tersebut bukanlah hadis hukum, tetapi masuk kategori hadis at-targhîb wa at-tarhîb (hadis yang isinya motivasi dan ancaman). Karena itu hadis tersebut bukan merupakan dalil untuk meng-istinbâth hukum tetang kewajiban Khilafah. Inilah juga manhaj yang digunakan oleh Hizbut Tahrir; persis sama dengan manhaj yang muqarrar menurut jumhur ulama, tidak kurang dan tidak lebih.

Kedua: Dari aspek sanad, hadis tersebut “maqbûl bilâ munâzi’ (diterima tanpa ada yang menyelisihi)”. Imam Al-Hafidz al-Iraqi dalam Kitab Mahajjatu al-Qarbi ilâ Mahabbah al-‘Arab menegaskan hadis ini sahih. Al-Hfizh Ibn Hajar al-Haitsami, dalam Majma’ az-Zawâ’id wa Manba’ al-Fawâ’id (V/188), menyatakan bahwa hadis riwayat Imam Ahmad ini rijal-nya tsiqqah. Selain itu, tidak benar bisyarah nabawiyyah terkait akan datangnya kembali Khilafah hanya didasarkan pada hadis riwayat Imam Ahmad dan al-Bazzar saja. Masih banyak hadis lain yang semakna dengan hadis tersebut. Misalnya hadis tentang akan datangnya Khilafah di Baitul Maqdis riwayat Abu Dawud (VII/68), Ahmad (V/288), ath-Thabrani (Musnad Syamiyyin, VI/149), al-Baihaqi (IX/169), al-Hakim (XIX/186), dll.

WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [KH Musthafa A. Murtadlo]

Catatan kaki:

1        Imam al-Haramain, Abul Ma’aliaAl-Juwaini, Ghiyâts al-Umam fî at-Tiyâtsi azh-Zhulam, hlm. 15.

2         Imam ar-Ramli, Muhammad bin Ahmad bin Hamzah, Nihâyah al-Muhtâj ilâ Syarh al-Minhâj fî Fiqhi ‘ala Madzhab al-Imam asy-Syafi’I (7/289).

3         Prof Dr. Mahmud A. Majid al-Khalidi, Qawâ’id Nizhâam al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 225-230.

4         Syaikh al-Islam al-Imam al-Hafizh Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Rawdhah ath-Thâlibîn wa Umdah al-Muftin (X/49); Syaikh Khatib asy-Syarbini, Mughn al-Muhtâj (IV/132).

5         Dr. Abdullah bin Umar ad-Dumaiji, Imâmah al-Uzhma ‘inda Ahl as-Sunnah wa al-Jamâ’ah, hlm. 32.

6         Hujjah al-Islam al-Imam Abu Hamid al-Ghazali, Al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd, hlm. 76.

7         Imam ‘Alauddin al-Kassani al-Hanafi, Bada’i ash-Shanai’ fî Tartîb asy-Syarâ’i’ (14/406).

8         Imam al-Hafidz Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Marwa an-Nawawi, Rawdhah ath-Thâlibîn wa Umdah al-Muftin (III/433).

9         Imam Fakhruddin ar-Razi, Mafâtih al-Ghayb fî at-Tafsîr (6/57, 233).

10        Al-Imam Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farah al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân (1/264-265).

11        Imam al-Hafizh Abu al-Fida’ Ismail Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-Azhîm (1/221).

12        Imam Abul Qasim al-Hasan bin Muhammad bin Habib bin Ayyub asy-Syafi’i an-Naisaburi, Tafsîr an-Naysaburi (5/465).

13        Imam Abul Hasan Ali bin Sulaiman al-Mardawi al-Hanbali, Al-Inshâf fî Ma’rifah ar-Râjih min al-Khilâf ala Madzhab al-Imam Ahmad bin Hanbal (16/60, 459)

14        http://www.nu.or.id/post/read/55557/khilafah-dalam-pandangan-nu

15        Syaikh al-Islam al-Hafizh Abu Zakaria an-Nawawi, Shahîh Muslim bi Syarh an-Nanawi (6/316).

16        Shahîh Muslim (1/1471)

17        http://hizb-indonesia.info/2007/12/04/kembalinya-khilafah-isyarat-nubuwah/

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*