Pengantar Redaksi:
Islam adalah rahmatan lil ‘alamin. Itulah yang ditegaskan oleh Allah SWT dalam al-Quran (QS al-Anbiya’ [29]: 107). Syariah dan Khilafah adalah bagian terpenting dari Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin itu. Karena itu tak ada rahmatan lil ‘alamin tanpa Islam, tak ada Islam tanpa syariah dan tak ada syariah tanpa Khilafah sebagai institusi pelaksananya. Persoalannya, sampai hari ini, masih saja ada kalangan Muslim yang salah paham atau berpaham salah. Sebagian mereka justru menuduh syariah dan Khilafah sebagai ancaman yang seolah-olah bertentangan dengan konsep Islam rahmatan lil ‘alamin.
Mengapa itu bisa terjadi? Mengapa syariah dan Khilafah dituduh sebagai ancaman, padahal keduanya merupakan bagian dari ajaran Islam? Mengapa pula Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) baru-baru ini mengadakan kampanye Islam Rahmatan lil ‘Alamin. Apa latar belakang kampanye tersebut? Seiring dengan itu, mengapa pula HTI mengadakan Muktamar Tokoh Umat pada Bulan Rajab ini? Apa latar belakang dan tujuannya?
Untuk menjawab beberapa pertanyaan di atas, Redaksi kembali mewawancarai Ketua DPP HTI, Ustadz Rokhmat S. Labib.
Apa latar belakang HTI mengadakan kampanye Islam Rahmatan Lil ‘Alamin?
Kampanye ini bagian dari upaya kita untuk membangun opini umum di tengah masyarakat tentang syariah dan Khilafah. Ini kita lakukan dalam di setiap momentum dan kesempatan. Tak ada pembicaraan kecuali kita sampaikan tentang syariah dan Khilafah. Apalagi pada bulan Rajab, sengaja lebih kita gencarkan. Rajab kita pilih karena pada bulan inilah Khilafah Islam dibubarkan oleh Musthafa Kemal. Kita ingin mengingatkan memori umat tentang Khilafah.
Alhamdulillah, kesadaran dan persetujuan umat terhadap syariah dan Khilafah terus meningkat. Memang, masih ada saja penolakan, baik karena belum paham, salah paham, atau berpaham salah; juga karena terpengaruh oleh propaganda Barat yang tak henti menghalangi tegaknya Khilafah.
Di antara sekian banyak alasan penolakan, ada yang aneh. Menolak syariah dan Khilafah, tetapi menjadikan jargon sebagai alasannya. Jargon yang digunakan adalah Islam rahmatan lil ‘alamin. Karena rahmatan lil ‘alamin, menurut mereka, umat Islam harus menebarkan kasih sayang dan kedamaian kepada semua orang, termasuk orang-orang kafir. Islam rahmatan lil ‘alamin dipahami sebagai sikap moderat, toleran dan menjauhi kekerasan.
Bertolak dari pemahaman tersebut, ajaran Islam yang dianggap keras tidak boleh ditonjolkan. Kalau perlu, ditafsirkan ulang agar sejalan dengan karakteristik Islam yang moderat, toleran dan anti kekerasan itu. Karena itu jihad tidak boleh dimaknai perang, tetapi dikembalikan pada makna literalnya: bersungguh-sungguh. Berbagai hukum hudûd dan jinâyah, penerapan syariah dalam negara, dan lain-lain juga tidak boleh diterapkan karena dianggap bertentangan dengan prinsip rahmatan lil ‘alamin.
Pemahaman ini tentu harus ditolak. Bagaimana mungkin perjuangan menegakkan syariah dan Khilafah yang telah diwajibkan oleh syariah berdasarkan dalil-dalil yang qath’i lalu dianggap bertentangan dengan ide Islam rahmatan lil alamin? Tidak mungkin di dalam al-Quran ada pertentangan dan kontradiksi. Jika ada kontradiksi yang tidak bisa didamaikan, pasti ada yang salah.
Oleh karena itu, kita merasa perlu untuk meluruskan kesalahan ini dengan membuat kampanye yang menjelaskan makna yang benar tentang Islam rahmatan lil ‘alamin, yang erat kaitannya dengan penegakkan syariah dan Khilafah. Bertemulah dua kepentingan. Kepentingan untuk mengkampanyekan ide syariah dan Khilafah yang menjadi agenda utama perjuangan kita dan kepentingan untuk merespon gagasan salah yang sudah terlanjur beredar di tengah masyarakat.
Pesan apa yang diusung dalam kampanye itu dan apa targetnya?
Pesan utamanya kita ingin menegaskan bahwa syariah dan Khilafah bukanlah ancaman bagi negeri ini. Sebaliknya, keduanya justru merupakan solusi bagi negeri ini yang dirundung aneka masalah. Inilah solusi yang pasti benar dan adil karena berasal dari Zat Yang Mahabenar dan Mahaadil. Ini pula solusi yang akan melahirkan rahmat bagi seluruh alam.
Targetnya adalah semakin banyaknya umat yang setuju dan mendukung syariah dan Khilafah, bahkan tidak ragu-ragu ikut berjuang untuk menegakkannya. Masak umat masih percaya saja dengan demokrasi dan liberalisme yang terbukti membuat negeri ini makin terpuruk dan terjajah.
Bagaimana mewujudkan Islam rahmatan lil ‘alamin itu di era modern ini?
Ya, terapkan saja syariah secara kâffah dalam naungan Khilafah. Hanya itu satu-satunya cara agar Islam mewujud menjadi rahmatan lil ‘alamin. Ini berlaku di semua zaman, mulai Islam diturunkan hingga akhir zaman.
Mengapa harus penerapan syariah?
Karena rahmatan lil ‘alamin itu adalah hikmah dari syariah secara keseluruhan dan sebagai satu-kesatuan. Ini ditegaskan dalam QS al-Anbiya’ ayat 107: Wamâ arsalnâka illâ rahmatan li al-‘âlamîn. Menurut al-‘Allamah Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, ayat ini menunjukkan bahwa syariah datang untuk menjadi rahmat bagi hamba. Hanya saja, keberadaan syariah sebagai rahmat itu adalah natîjah (hasil) dari syariah yang diterapkan. Konsekuensinya, syariah hanya akan mewujudkan rahmatan lil ‘alamin manakala diterapkan secara keseluruhan. Tidak boleh parsial. Jika hanya sebagian, rahmatan lil ‘alamin sebagai nâtijah-nya tidak akan terwujud.
Perlu ditegaskan, rahmatan lil ‘alamin itu bukan ‘illah atau faktor penyebab syariah diturunkan. Dengan demikian terwujud atau tidaknya rahmatan lil ‘alamin dalam kehidupan tidak mempengaruhi status kewajiban mengambil dan menerapkan syariah secara kâffah. Kewajiban mengambil dan menerapkan syariah ditegaskan dalam banyak nash lainnya. Di antaranya dalam QS al-Baqarah ayat 208: Yâ ayyuhâ al-ladzîna âmanû [u]dkhulû fî as-silm kâffah (Wahai kaum beriman, masuklah kalian ke dalam Islam secara keseluruhannya). Menjelaskan ayat ini, Imam Ibnu Katsir berkata, “Allah SWT memerintahkan hamba-Nya yang Mukmin, yang membenarkan Rasul-Nya, untuk mengambil semua aspek Islam dan syariahnya, mengamalkan semua perintahnya, dan meninggalkan semua larangannya, selama mereka mampu mengerjakannya.”
Lalu mengapa harus Khilafah?
Karena ath-tharîqah asy-syar’iyyah al-wahîdah (metode syar’i satu-satu) untuk menerapkan syariah adalah Khilafah. Khilafah adalah institusi pelaksana syariah. Ini telah banyak diterangkan oleh para ulama mu’tabar. Imam Abu al-Qasim al-Naisaburi, misalnya, ketika menerangkan Surat an-Nur ayat 2 dalam tafsirnya berkata, “Umat telah sepakat bahwa yang menjadi obyek seruan pada firman-Nya: Fajlidû (Karena itu cambuklah) adalah imam (khalifah). Karena itulah mereka berhujjah dengan ayat ini atas kewajiban mengangkat seorang imam (khalifah). Sebabnya, jika suatu kewajiban itu tidak sempurna tanpa adanya sesuatu maka sesuatu tersebut menjadi wajib pula.”
Oleh karena itu, hanya dengan Khilafah semua kewajiban syar’i dapat diterapkan. Tanpa Khilafah, sebagaimana saat ini, banyak sekali hukum syariah tidak bisa ditegakkan. Dengan demikian untuk mewujudkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin, mutlak harus ada Khilafah yang menegakkan syariah secara kâffah.
HTI juga menyelenggarakan acara Muktamar Tokoh Umat (MTU)1437 H secara serentak di lebih dari 60 kota di Indonesia. Apa relevansi acara tersebut dengan kampanye Islam rahmatan lil ‘alamin?
Seperti tadi saya katakan, semua itu adalah bagian dari upaya kita membangun opini umum tentang syariah dan Khilafah. Perlu kami tegaskan, upaya ini dilakukan sebagai bentuk ittibâ’ (mengikuti) Rasulullah saw. Dalam mendirikan dawlah, ada sejumlah langkah yang ditempuh Rasulullah saw. yang sifat baku. Langkah ini termasuk hukum syariah yang wajib dikerjakan.
Di antaranya adalah melakukan berbagai kegiatan yang bertujuan membangun opini umum. Cara yang ditempuh berbagai macam. Beliau mengumpulkan penduduk Makkah di Bukit Shafa, mengumpulkan para sahabatnya dengan membentuk dua barisan mengelilingi Ka’bah, mengundang para kerabatnya, menyampaikan Islam di pasar-pasar, di sekitar ka’bah, dan tempat keramaian lainnya.
Ini pula yang kita teladani. Kita juga mengadakan berbagai kegiatan yang bertujuan untuk membangun opini umum. Hanya uslûb atau caranya disesuaikan dengan kondisi yang ada. Kita mengadakan pawai, demonstrasi, diskusi, seminar, tabligh akbar, konferensi, muktamar, dan berbagai kegiatan umum lainnya.
Nah, dalam rangka itulah kita melakukan kampanye Islam rahmatan lil ‘alamin. Dalam konteks ini pula Muktamar Tokoh Umat kita adakan. Temanya sama dengan tema kampanye kita, yakni “Syariah dan Khilafah Mewujudkan Islam Rahmatan lil ‘Alamin”.
Apa bedanya acara MTU yang diadakan dengan muktamar-muktamar yang sudah sering digelar sebelumnya?
Prinsipnya sama. Yang membedakan hanya bentuk kegiatan, penekanan tema, peserta yang diundang, dan hal-hal teknis lainnya. Namun, esensi dan tujuannya sama, yakni mendakwahkan Islam; secara spesifik, mengopinikan syariah dan Khilafah di tengah umat.
Untuk Muktamar Tokoh Umat, sebagaimana namanya, kita mengundang para tokoh umat dari berbagai kalangan. Tujuannya, agar syariah dan Khilafah diterima oleh mereka, menjadi cita-cita mereka, bahkan tuntutan mereka. Ketika umat dan para tokohnya bersatu menuntut syariah dan Khilafah ditegakkan, siapa yang bisa menghadang?
Sekuat apa pun rezim penguasa, jika rakyatnya sudah melepaskan dukungan, dia akan lemah dan ringkih. Apalagi tuntutan umat ini mendapatkan dukungan dari ahlul-quwwah, pemilik kekuatan yang sesungguhnya, maka tidak sulit mencabut kekuasaannya. Tentu semua itu terjadi atas izin Allah SWT.
Mengapa acara ini dirancang demikian? Apa arti strategis acara ini?
Asumsinya, setiap tokoh memiliki massa. Setidaknya, memiliki pengaruh di tengah masyarakat. Suara dan sikapnya didengar oleh umat. Minimal di tempat dan komunitasnya. Oleh karena itu, yang kita undang dalam MTU ini adalah para tokoh umat dari berbagai kalangan dan komunitas. Ada ulama, kiai, dan asatidz yang menjadi rujukan dan panutan umat. Ada intelektual dan cendekiawan yang suaranya banyak didengar. Ada juga para pengurus ormas-ormas Islam, birokrat, tokoh muslimah, mahasiswa, dan lain-lain. Tak terkecuali, kita juga mengundang aparat keamanan dan militer.
Kita berharap, berkumpulnya para tokoh dalam muktamar ini dapat mempercepat tegaknya Khilafah. Ketika para tokoh tersebut menyatakan dukungannya terhadap syariah dan Khilafah, kita berharap dapat berpengaruh terhadap massanya. Bayangkan, kalau masing-masing mereka bisa menularkan pengaruhnya kepada 100 orang saja, maka tinggal dikalikan. Jika yang hadir di MTU di seluruh Indonesia sekitar 30 ribu orang, berarti kegiatan ini mampu memberikan pengaruh terhadap 3 juta orang. Padahal di antara mereka banyak ulama yang memiliki jumlah muhibbîn (pengikut) yang lebih dari itu.
Oleh karena itu, muktamar ini amat strategis. Jangan hanya dilihat berapa orang yang datang, tetapi lihatlah berapa banyak orang yang akan terpengaruh setelah muktamar ini selesai.
Jadi harapan HTI khususnya kepada para tokoh dan umumnya umat Islam?
Kita berharap semua tokoh itu mau tergerak hatinya dan ikut berjuang menegakkan syariah dan Khilafah. Demikian pula dengan seluruh umat Islam. Mereka diharapkan sadar bahwa ini adalah kewajiban. Bahkan Khilafah bukan hanya fardhu, tetapi tâj al-furûdh, mahkota kewajiban. Artinya, keberadaan Khilafah ini menjadi penentu bagi terlaksananya semua kewajiban.
Selain itu, toleransi waktu untuk menunaikan kewajiban ini, adâ‘u al-fardh, juga sudah lewat. Sebab, syariah hanya mengizinkan tiga hari umat Islam hidup tanpa Khilafah, sementara kita sudah 94 tahun hidup tanpa Khilafah. Dengan begitu, tokoh beserta umatnya diharapkan mau berjuang lebih semangat, serius dan bersungguh-sungguh.
Kita tentu sangat senang jika para tokoh itu mau bergabung dengan Hizb untuk berjuang bersama. Sebab, semakin banyak yang bergabung dalam barisan kita, apalagi para tokoh, tentu semakin membuat barisan kita menjadi lebih besar dan kuat.
Akan tetapi, jika tidak mau bergabung, kita berharap para tokoh tidak tinggal diam. Mereka berjuang di tempat masing-masing dengan tujuan yang sama, yakni tegaknya syariah dan Khilafah. Meski berbeda organisasinya, suaranya tetap sama: syariah dan Khilafah.
Selain para tokoh beserta umatnya, kunci tegaknya Khilafah yang paling menentukan adalah dukungan para ahlul-quwwah, para pemilik kekuatan riil. Merekalah para panglima tentara dan perwira militer. Dengan kekuatannya, mereka bisa mengambil dan menyerahkan kekuasaan. Kita berharap, mereka bersedia meneladani Saad bin Muadz, pemimpin kabilah di Madinah, yang menyerahkan kekuasaannya Rasulullah saw. Jika mereka mengikuti jejaknya, insya Allah mereka akan mendapatkan pahala yang besar dan surga yang penuh dengan kenikmatan. []