HTI

Ta'rifat (Al Waie)

Sebab

Sebab (as-sabab) merupakan salah satu jenis khithâb/al-hukmu al-wadh’i. Imam al-Amidi di dalam Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm menjelaskan, sebab (as-sabab) secara bahasa bermakna mâ yumkinu tawashshulu bihi ila maqshûd[in] mâ (apa saja yang mungkin bisa mengantarkan pada apa yang dimaksudkan/dituju).

Tali, misalnya, disebut sebab karena bisa mengantarkan pada air. Jalan disebut sebab karena bisa mengantarkan ke tempat yang dituju.

Dalam pembahasan khithâb al-wadh’i, yang dimaksud atau yang dituju adalah hukum syariah. Maka dari itu, sebab dalam bahasan ini secara bahasa adalah apa yang bisa digunakan untuk sampai pada hukum syariah yang dituju. Ini makna sebab secara bahasa.

Hanya saja, sebab dalam pembahasan ini telah menjadi istilah spesifik yang dielaborasi oleh para ulama ushul dalam disiplin ilmu ushul fikih. Imam al-Amidi di dalam Al-Ihkam fî Ushûl al-Ahkâm dan kebanyakan ulama ushul menjelaskan: as-sabab adalah kullu washf[in] zhâhir[in] mundhabith[in] dalla ad-dalîl as-sam’i ‘alâ kawnihi mu’arrifan li hukm[in] syar’iyy[in] (setiap sifat lahiriah yang mengikat yang ditunjukkan oleh dalil sam’i bahwa keberadaannya adalah penanda hukum syariah).

Imam asy-Syaukani di dalam Irsyâdu al-Fuhûl menyatakan: sebab adalah ja’lu washf[in] zhâhir[in] mundhabith[in] manâth[an] li wujûdi hukm[in] ay yastalzimu wujûduhu wujudahu (sifat lahiriah yang mengikat yang dijadikan sebagai manâth [tempat bergantung] bagi eksistensi hukum, yakni keberadaan sebab itu meniscayakan adanya hukum itu).

Hanya saja, penanda hukum syariah itu bisa memberikan satu dari dua jenis informasi. Pertama, memberi tanda tentang ada (eksis)-nya hukum syariah. Kedua, memberi tanda pensyariatan hukum syariah. Jenis yang pertama itulah yang dimaksudkan dengan as-sabab. Adapun jenis yang kedua disebut sebagai ‘illat, bukan as-sabab.

Karena itu pengertian as-sabab di atas masih belum mâni’, sebab belum menghalangi masuknya ‘illat dalam cakupan makna definisi itu. Definisi as-sabab yang jâmi’ dan mâni’, seperti dijelaskan oleh al-‘Allamah asy-Syaikh Taqyuddin an-Nabhani di dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islmâmiyah Juz 3 adalah: kullu washf[in] zhâhir[in] mundhabith[in] dalla ad-dalîlu as-sam’i ‘alâ kawnihi mu’arrif[an] li wujûdi al-hukmi asy-syar’i lâ li tasyrî’i al-hukmi (setiap sifat lahiriah yang mengikat yang ditunjukkan oleh dalil sam’i bahwa keberadaannya adalah sebagai penanda tentang keberadaan hukum syariah, bukan penanda tentang pensyariatan hukum).

Contoh as-sabab: tergelincirnya matahari menjadi penanda tentang telah eksisnya kewajiban shalat zuhur. Tergelincirnya matahari itu menjadi as-sabab karena nas syariah menunjukkan tergelincirnya matahari sebagai sifat lahiriah yang mengikat yang menjadi penanda (mu’arrifan) bahwa kewajiban shalat zuhur telah ada (tiba). Allah SWT berfirman:

أَقِمِ الصَّلاَةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ

Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir (QS al-Isra’ [17]: 78).

Nabi saw. juga menjelaskan dalam banyak hadis waktu shalat zhuhur bermula ketika matahari telah tergelincir ke arah barat. Di antaranya, Abdullah bin Umar menuturkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:

وَقْتُ الظُّهْرِ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ …

Waktu shalat zhuhur adalah jika matahari telah tergelincir… (HR Muslim, Ahmad dan Ibnu Hibban).

Tergelincirnya matahari itu tidak menjadi penanda tentang kewajiban shalat zhuhur. Kewajiban shalat zhuhur dinyatakan oleh nas-nash lainnya (QS al-Baqarah [2]: 45; an-Nisa’ [4]: 103). Jadi disini ada hukum tentang kewajiban shalat zhuhur. Lalu kapan kewajiban itu eksis? Di situlah, nas di atas menunjukkan bahwa tergelincirnya matahari menjadi penanda atau pemberi informasi bahwa kewajiban shalat zhuhur itu telah eksis.

Allah SWT juga telah mewajibkan puasa Ramadhan (QS al-Baqarah [2]: 183). Allah SWT membebankan kewajiban puasa Ramadhan itu kepada mukallaf. Allah SWT juga menetapkan sesuatu yang menjadi penanda (as-sabab) kapan eksisnya kewajiban itu. Sabab puasa Ramadhan itu adalah masuknya bulan Ramadhan (QS al-Baqarah [2]: 185) yang ditandai dengan terlihatnya hilal. Abu Hurairah ra. menuturkan, Nabi saw besabda:

صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ …

Berpuasalah kalian karena melihatnya (hilal)… (HR al-Bukhari, Muslim, an-Nasai, at-Tirmidzi dan Ahmad).

Ibnu Umar ra. juga menuturkan bahwa Nabi saw. penah bersabda:

إِذَا رَأَيْتُمُ الْهِلاَلَ فَصُومُوا …

Jika kalian melihat hilal maka berpuasalah… (HR Ibnu Majah).

Tercapainya nishâb adalah sebab adanya kewajiban zakat. Akad-akad syar’i menjadi sebab kebolehan memanfaatkan sesuatu atau sebab perpindahan kepemilikan. Jadi hukumnya adalah kewajiban zakat, sementara tercapainya nishâb yang ditetapkan secara syar’i untuk hukum tersebut adalah untuk memberitahukan eksisnya hukum tersebut. Kebolehan pemanfaatan atau perpindahan kepemilikan adalah hukumnya, sementara akad-akad yang ditetapkan secara syar’i untuk hukum tersebut adalah untuk memberitahukan eksisnya hukum itu.

Jadi Allah SWT mensyariatkan dan membebankan hukum tertentu kepada mukallaf sekaligus menetapkan penandanya yang menunjukkan eksisnya hukum tersebut. Penanda itulah yang menjadi sebab (as-sabab) syar’i. Jadi, sebab (as-sabab) adalah penanda (mu’arrif) atas keberadaan hukum, bukan penanda atas pensyariatan hukum. Adapun sesuatu yang ditetapkan oleh dalil sam’i untuk memberitahukan sebab pensyariatan hukum, itulah ‘illat. Misalnya, melalaikan shalat menjadi ‘illat pengharaman jual-beli saat azan Jumat (QS al-Jumu’ah [62]: 9-10). Kaharaman itu bisa diberlakukan pada apapun yang bisa menyebabkan melalaikan shalat Jumat, tidak hanya jual-beli.

Sebab (as-sabab) kadang merupakan sebab untuk hukum taklîfi. Tercapainya nishâb, misalnya, menjadi sebab kewajiban zakat. Tenggelamnya matahari menjadi sebab kewajiban shalat maghrib. Kemaksiatan atau kejahatan menjadi sebab sanksi syar’i. Zina menjadi sebab dicambuk 80 kali atau dirajam. Pencurian menjadi sebab dipotong tangan. Minum khamr menjadi sebab dicambuk 40 kali. Masuknya bulan haji menjadi sebab kewajiban berhaji. Masuknya bulan dengan terlihatnya hilal Ramadhan menjadi sebab kewajiban puasa Ramadhan. Sakit dan safar menjadi sebab kebolehan tidak berpuasa pada bulan Ramadhan. Akad nikah menjadi sebab kewajiban mahar. Kewajiban nafkah dan kewajiban bag istri untuk taat kepada suami.

Sebab (as-sabab) itu kadang merupakan sebab yang menetapkan kepemilikan, kehalalan, atau hilangnya kepemilikan dan hilangnya kehalalan. Waris menjadi sebab perpindahan kepemilikan harta waris dari al-muwarrits kepada ahli waris, artinya menjadi sebab penetapan kepemilikan bagi ahli waris. Pemberian ijin menjadi sebab halalnya masuk rumah dan melihat bagian dalam rumah. Menghilangkan atau merusak barang menjadi sebab wajibnya dhaman (menjamin) bagi orang yang menghilangkan atau merusakkannya. Hubungan kekerabatan menjadi sebab penetapan hak waris.

Akad-akad dan tasharruf menjadi sebab bagi hukum yang dihasilkan oleh akad dan tasharruf tersebut. Akad jual-beli, hibah, hadiah menjadi sebab perpindahan kepemilikan dari penjual, pemberi hibah, pemberi hadiah kepada pembeli, penerima hibah atau hadiah; artinya menjadi sebab penetapan kepemilikan barang bagi pembeli, penerima hibah dan penerima hadiah. Wasiat menjadi sebab penetapan kepimilikan bagi penerima wasiat atas harta yang diwasiatkan. Wakaf dan pembebasan budak menjadi sebab hilangnya kepemilikan atas harta wakaf dan budak itu. Akad nikah menjadi sebab halalnya hubungan suami-istri dan istimtâ’ di antara suami istri. Sebaliknya, talak menjadi sebab haramnya hubungan suami-istri itu.

Jika sebab (as-sabab) itu ada maka musabab (akibat)-nya ada, baik berupa hukum taklîfi atau penetapan kepemilikan, atau penetapan kehalalan, atau hilangnya kepemilikan dan kehalalan itu. Karena musabab itu secara syar’i tidak akan terlepas dari as-sabab, baik orang yang melakukan as-sabab itu bermaksud untuk menghasilkan musabab itu ataupun tidak. Siapa saja yang melakukan safar boleh berbuka pada siang hari bulan Ramadhan baik ia bermaksud untuk mendapat kebolehan itu ataupun tidak. Siapa saja yang melangsungkan akad nikah wajib membayar mahar dan wajib memberikan nafkah kepada istri. Siapa saja yang mentalak istrinya talak satu atau talak dua dia boleh merujuknya lagi. Meski dia mengatakan, “tidak ada rujuk untukku”, hak merujuki istrinya itu tetap ada untuk dia karena musabab itu—yaitu hak merujuk istri yang dia talak—ditetapkan oleh Asy-Syâri’, bukan berasal dari manusia. Pengaitan as-sabab dengan al-musabab itu atas ketetapan Allah SWT.

Hanya saja, terwujudnya hukum yang keberadaannya ditandai dengan adanya sebab tidak bisa diketahui dengan hanya adanya as-sabab itu. Pasalnya, adanya as-sabab hanya menunjukkan telah adanya hukumnya. Tergelincirnya matahari hanya menunjukkan telah eksisnya kewajiban shalat zhuhur, bukan menunjukkan telah terwujudnya shalat zhuhur dari seorang mukallaf. Akad nikah hanya menunjukkan eksisnya kewajiban mahar atau nafkah dan tidak menunjukkan apakah mahar dan nafkah itu telah ditunaikan atau belum.

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*