Kondisi kita masih memprihatinkan. “APBN kita saat ini sebesar Rp 2000 triliun cukup besar. Dengan penduduk yang juga besar, pertumbuhan 3-4% itu merupakan suatu kepastian. Perdagangan akan jalan terus,” tegas Hariman Siregar.
Tokoh Malari 1974 ini melanjutkan, “Namun, bila hanya 3-4%, semua yang diperdagangkan tersebut, bila diumpamakan dengan makanan bagi manusia, hanya menjadi kotoran. Bila pertumbuhan ekonomi di bawah 7%, maka sebenarnya ada persoalan suprastruktur, yakni kepemimpinan.”
Saya menyampaikan kepada beliau saat bertemu pada pertengahan April lalu, “Ya, kepemimpinan. Kita perlu benteng yang menjaga segala hal, mulai dari akidah umat hingga kehidupan ekonominya.”
Segera saya tambahkan, “Kata Nabi, al-Imamu junnatun, imam/khalifah adalah benteng.”
Bukan sembarang kepemimpinan, tetapi kepemimpinan Islam. Benar kata Pak Fuad Amsyari, “Dalam kekuasaan rezim sekular umat Islam jangan berharap Islam dan umat Islam dilindungi, dibela, dan dibesarkan oleh rezim yang sedang berkuasa melalui kebijakan-kebijakannya.”
Politisi senior ini menambahkan, “Yang terjadi malah pelemahan Islam dan umatnya. Untuk mengatasi lajunya proses pelemahan tersebut hanya ada satu jalan, yaitu memenangkan Islam Politik”.
Mendengar hal ini saya teringat apa yang disampaikan oleh Hujjatul Islam, Imam al-Ghazali. Dalam kitabnya Al-Iqtishâd fî al-I’tiqâd, beliau menegaskan, “Agama dan kekuasaan (ibarat) saudara kembar. Agama adalah pondasi dan kekuasaan adalah penjaga. Sesuatu yang tanpa pondasi niscaya runtuh dan sesuatu tanpa penjaga niscaya lenyap.”
Memang, kepemimpinan merupakan suatu hal yang urgen. Muktamar Tokoh Umat yang diselenggarakan oleh Hizbut Tahrir Indonesia, di Jakarta, pada 23 April 2016, adalah salah satu wujud kepedulian terhadap kepemimpinan. Tajuk “Syariah dan Khilafah Mewujudkan Islam Rahmatan lil ‘Alamin” menggambarkan setidak-nya tiga hal. Pertama: Islam yang dibawa oleh Rasulullah saw. merupakan rahmat bagi umat manusia. Kedua: Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin itu merupakan buah penerapan syariah Islam secara kâffah. Ketiga: Syariah Islam secara kâffah hanya dapat diwujudkan di bawah naungan Khilafah Rasyidah ‘ala minhajin-nubuwwah.
Salah seorang peserta bertanya, bagaimana dengan sebagian orang yang mencap orang yang menegakkan syariah itu dengan radikal. Saya sampaikan, memang sikap perlu diperjelas. Sikap yang diperlukan sekarang tampaknya bukan meminta, tetapi berjuang untuk menuntut. Saya teringat pada pidato Bung Karno saat rapat umum Radicale Concentratie di Bandung pada tahun 1922, “Marilah kita sekarang mendjalan-kan politik percaja diri sendiri dengan tidak mengemis-ngemis. Sebaliknja, hajo…kita berteriak,… ‘Toean Imperialis, inilah jang kami TOENTOET…!!!’”
Ternyata, dulu mereka berjuang melawan ‘penjajahan’ dengan sikap ‘radikal’. Bila radikal itu adalah semangat melawan penjajahan, melenyapkan kezaliman, menghilangkan kesewenang- wenangan, menurut saya itu adalah hal yang baik. Diperlukan. Bila sikap radikal itu untuk memberikan solusi bagi krisis multidimensi yang kita alami, itu adalah radikal yang positif. Tanpa sikap ‘radikal’ seperti itu tidak mungkin para ulama dan umat Islam dulu dapat mengenyahkan penjajahan.
Semangat para tokoh yang hadir sangat tampak, tidak terpengaruh isu ‘radikalisme’ di luaran sana. Sekadar menyebut, politisi Islam Bahtiar Chamsah menyengaja hadir. Padahal kondisi beliau sedang dalam keadaan kurang sehat. Da’i kondang, KH Wahfiudin, dengan penuh khidmat mengikuti acara hingga akhir. “Kiyai duduk dimana? Saya tidak melihat pan-jenengan. Afwan, tadi tidak dapat menyambut dan menemani,” ujar saya kepada beliau.
Salah satu tokoh Thariqah Qadiriyyah Wa Naqsyabandiyyah hanya mengatakan dengan gayanya yang khas, “Tidak apa-apa. Saya mengikuti di sini.”
Kesungguhan senada ditunjukkan oleh Amin Lubis. Pak Amin, begitu beliau saya panggil, mengatakan penuh antusias, “Muktamar ini sangat bernilai tinggi dan positif. Perlu sosialisasi masyarakat bangsa dan semua agama. Dengan itu jelas bagi penganut agama-agama bahwa ajaran Islam adalah ajaran yang di butuhkan dan ditunggu-tunggu manusia sekarang dan akan datang.”
Ketua Persatuan Tarbiyah Indonesia (Perti) ini melanjutkan, “Harusnya acara ini disiarkan langsung oleh TV agar semua orang tahu bahwa apa yang disampaikan dalam acara ini untuk mewujudkan rahmatan lil ‘alamin.”
Begitu semangatnya, beliau pesan pada saya, “Ustadz, tolong nanti saya dikasih CD full acara ini dari awal hingga akhir, ya!”
Saya sampaikan kepada beliau, “Siap!”
Pengacara nasional, Azam Khan, menangkap intisari senada. “Ini acara yang luar biasa untuk mengumpulkan tokoh dan membangun kesamaan visi bagi umat.”
Beliau menambahkan, “Saya pikir itu sudah cukup sebagai pesan kepada umat bahwa Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sudah mengu-mandangkan seruan moral dan akhlak untuk senantiasa mengingat sang Rabbi. Indonesia harus sudah berubah ke arah sunnah Rasul.”
Beliau juga mengatakan bahwa semua pejabat penguasa dan pengusaha diseru dan diingatkan kalau main-main dengan ancaman Allah SWT, akibatnya serius dan fatal. “HTI juga menyeru kembali pada Khilafah agar rahmatan lilalamin tercapai,” pungkasnya.
“Syariah itu merupakan istilah Islam. Syariah itu berarti berpegang pada al-Quran dan Sunnah. Itu wajib. Jadi, menerapkan syariah itu merupakan kewajiban,” kata Prof. Musybi, pengurus Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) tersebut.
Terkait dengan acara muktamar, dengan wajah sedikit berkaca-kaca beliau menyam-paikan kepada saya, “Acara ini sudah dengan sangat terbuka menjelaskan Islam rahmatan lil ‘alamin. Tidak ada yang ditutup-tutupi tentang cara Khilafah menerapkan syariah untuk mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Semuanya sudah jelas,” ujar aktivis sepuh yang juga Ketua Umum International Muslim Brotherhood ini.
Ketua Dewan Pembina Sarikat Islam, Djauhari Syamsuddin menimpali, “Tapi, ini belum sampai ke tengah umat.”
Prof. Musybi segera merespon, “Nah, itulah tugas kita bersama”.
Ternyata bukan hanya peserta muktamar yang antusias. Di luar pun demikian. Da’i muda yang tengah naik daun, Koko Liem mengirim WA, “Tadi Koko lihat di group, subhanalLâh muktamarnya sukses karena rame sekali yang hadir. Sayang sekali Koko ga bisa hadir karena pagi di Bogor dan siang di Mauk, ada acara tabligh akbar bareng H. Rano Karno.”
PR kita semua adalah bagaimana mewujud-kan semangat dan kesungguhan ini dalam perjuangan di tengah masyarakat. WalLâhu a’lam.[Muhammad Rahmat Kurnia; DPP Hizbut Tahrir Indonesia]