Setelah Sudan Selatan dan Darfur direkayasa oleh AS dan Barat agar terus bergejolak bahkan hingga pemisahan, belahan Front Timur juga direkayasa. Front Timur adalah gabungan dari kelompok pemberontak yang beroperasi di Sudan wilayah timur, khususnya di Propinsi Red Sea dan Kassala. Pimpinan Front Timur adalah Musa Muhammad Ahmad. SPLA pimpinan John Garang dulu adalah anggota utama Front Timur. Namun, sebagai konsekuensi dari perjanjian Naivasha (CPA), SPLA harus keluar dari keanggotaan di Front Timur. Keangotaan SPLA itu diperoleh pada Februari 04 setelah Beja Congress (kelompok pemberontak yang lebih besar di Front Timur berasal dari Beja) dan Rashaida Free Lions (kelompok pemberontak yang lebih kecil berasal dari Suku Rahsaida) bergabung menjadi satu (merger). Selanjutnya Gerakan Keadilan dan Persamaan Hak (JEM) yang beroperasi di Darfur ikut bergabung dalam Front Timur. Dengan demikian tampak jelas bahwa di Front Timur banyak faksi pemberontak yang dimainkan oleh AS dan sekutunya dengan berbagai latar belakang. Hal ini tampak jelas pada ‘hubungan’ yang terjadi antara Front Timur dan AS.
Pada awalnya Front Timur mendapat dukungan dari Pemerintah Eritrea. Pemerintah Eritrea sendiri termasuk agen AS di kawasan. Artinya, Front Timur ini didukung oleh AS melalui Eritrea. JEM yang berasal dari Barat sebenarnya mendapat dukungan dari Eropa (Perancis dan Inggris). Dengan demikian keikutsertaan JEM dalam Front Timur merupakan strategi Eropa agar punya andil di Front Timur sehingga nanti mereka berhak mendapatkan bagian.
Beja Congress dan Rashaida Free Lions sama-sama menyatakan bahwa pemberontakan mereka itu dilatarbelakangi oleh ketidakadilan distribusi keuntungan minyak. Mereka menuntut bagian yang lebih besar dari yang selama ini ada. Gerakan mereka itu sebenarnya diinspirasi oleh apa yang didapatkan oleh Sudan Selatan. Mereka belajar bahwa menciptakan ketidakstabilan atau memberontak adalah cara paling mudah untuk menuntut bagian lebih besar dari kekayaan yang ada di wilayah mereka.
Seperti diketahui, Propinsi Red Sea termasuk kaya akan minyak. Menurut data ECOS 2007, wilayah Kassala dan Qadaref adalah masuk dalam wilayah konsesi blok 10 yang masih bebas belum ada yang menguasai. Port Sudan yang ada di Red Sea adalah terminal ekspor minyak Sudan, jadi memegang peranan vital. Pemerintah Sudan, dengan pembiayaan dari CNPC, membangun kilang baru dekat Port Sudan dengan kapasitas 50.000 barel perhari. Front Timur berulang mengancam akan memblok aliran minyak melalui jaringan pipa ke Port Sudan.
Pada pertengahan 2006, Pemerintah Eritrea mengubah strategi dari sebelumnya tampak sebagai pendukung utama Front Timur lalu berubah menjadi ‘penengah’ dengan memberi tempat kepada Pemerintah Sudan untuk berunding dengan Front Timur. Perundingan itu berhasil menyepakati Agreement on Declaration of Principles pada 19 Juni 2006. Upaya ini sebenarnya adalah langkah AS. Sebagaimana di Darfur, AS menghendaki penyelesaian yang sedikit berbeda dengan konflik Selatan. Karena Pemerintah Eritrea adalah agen AS, relatif mudah bagi AS mengarahkan penyelesaian masalah Front Timur dibanding masalah Darfur. Maka dari itu, sejak itu Pemerintah Eritrea selama empat bulan berikutnya memediasi negosiasi Pemerintah Sudan dengan Front Timur untuk mencapai CPA (Comprehensive Peace Agreement). CPA itu berhasil di sepakati pada 14 Oktiber 2006 di Asmara. CPA dengan Front Timur itu meliputi masalah keamanan, pembagian kekuasaan pada level federal dan regional, serta pembagian kekayaan berkaitan dengan tiga negara bagian (propinsi) yaitu Red Sea, Kassala dan Qadaref.
Dari poin-poin CPA terlihat bahwa penyelesaian Front Timur adalah ke arah otonomi meski akan siap untuk ke arah pemisahan jika waktunya tiba. Ini persis seperti yang dikehendaki oleh AS bagi penyelesaian konflik Darfur.
Dari paparan tulisan-tulisan sebelumnya tampak jelas bahwa konflik di Sudan, baik konflik Sudan Selatan, konflik Darfur dan konflik Front Timur tidak lain adalah wujud dari pertarungan antara AS dan Eropa. AS telah memenangi pertarungan itu di Selatan, memimpin dan Front Timur dan terus bersaing di Darfur. Baik AS dan Eropa adalah negara yang mengemban ideologi kapitalis. Tujuan mereka tidak lain untuk merampok kekayaan Sudan. Memang seperti itulah watak negara kapitalis dan hal itu dibuktikan dari apa yang terjadi di negeri-negeri Islam.
Norm Dixon, seorang kolumnis dari Australia, menulis judul kolomnya pada 19/08/04: “Laba Minyak Berada di Balik Air Mata Barat untuk Darfur” (Counterpunch.org).
Uwe Friesecke, seorang analis dari Jerman, menuturkan bahwa dahaga Barat akan minyak Sudan pada faktanya memulai konflik di Darfur dengan melatih pemberontak SLM/A dan JEM. Chaos di Sudan akan memberikan peluang kepada Pemerintah Barat untuk melakukan intervensi militer dan memprovokasi perubahan rejim di Kharthoum, dengan pemerintah yang baru, yang kemudian dikendalikan oleh Bank Dunia dan IMF untuk membuka (meliberalkan) perekonomian Sudan. Negeri yang cadangan minyak terbuktinya meningkat pesat itu pun akan bisa diakses oleh perusahaan minyak Barat. AS telah mengumumkan niat untuk menjadikan Afrika sebagai salah satu sumber utama minyaknya. Inggris juga memiliki perusahaan minyak besar. Friesecke mengutip sumber di pemerintahan AS, bahwa “mereka (Barat) telah membuat rencana detil untuk masa pasca-perdamaian Sudan di barat” (Afrol News, 10/9/04).
Bagaimanapun upaya AS untuk menutupi motifnya itu tetap saja tidak berhasil. Doktrin Carter yang disampaikan mantan Presiden Jimmy Carte pada tahun 1980 yang menjadi pegangan Pemerintah AS telah menyingkap tabir itu. Carter menyatakan: ”Minyak Teluk memiliki urgensi keamanan nasional bagi Amerika Serikat. AS akan menggunakan segala sarana, termasuk kekuatan militer untuk menjamin kepentingan-kepentingannya.”
I.M. Rosenthal menyebutkan juga dalam Surat Kabar Herald Tribune pada 27/8/1990: ”Siapapun orang Amerika yang peduli terhadap tanda-tanda politik mengetahui bahwa AS tidak berperang melawan Irak demi demokrasi, karena demokrasi tidak ada di dunia Arab. AS juga tidak berperang demi keluarga kerajaan di Kuwait. AS pergi berperang untuk menghentikan Irak atas kontrol terhadap satu sumber, yang merupakan darah bagi industri, dan yang menentukan hidup matinya perekonomian.”
Kebijakan ini bukan hanya khusus bagi Teluk, tetapi bagi seluruh negeri Muslim, termasuk Sudan yang merupakan salah satu sumur minyak terbesar di Afrika. Organisasi Human Right Watch dalam salah satu laporannya menyatakan: ”Agama dan minyak telah menempatkan Sudan dalam daftar prioritas Presiden Amerika dan pemerintahannya.”
Sudan kini telah terbelah menjadi dua, Sudan dengan Sudan Selatan. Tidak menutup kemungkinan jika situasinya tidak menguntungkan bagi AS, Sudan akan dibelah lagi menjadi beberapa bagian.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Gus Uwik; dari berbagai sumber]