Umat Islam masih menjadi umat yang lemah, tidak berwibawa dan tidak diperhitungkan oleh musuh-musuhnya. Kaum Yahudi terus-menerus mengusir dan membantai saudara-saudara kita di Palestina. Saudara-saudara kita di Rohingya masih terus-menerus dihinakan oleh kaum Budha radikal. Para pejuang Islam di Uzbekistan terus-menerus menjadi korban kebiadaban rezim anti Islam. Di Angola lebih dari 100 masjid ditutup dan dihancurkan. Di sana agama Islam resmi menjadi agama terlarang karena dipandang bertentangan dengan adat setempat.
Di Suriah dan Irak, kaum Muslim tidak aman. Darah, harta dan kehormatan mereka begitu murah. Sesama Muslim saling bunuh demi kepentingan penjajah. Bertahun-tahun mereka hidup dihantui ketakutan yang luar biasa. Ratusan ribu penduduknya—tua-muda, pria-wanita—berbondong-bondong meninggalkan negerinya, entah ke mana. Di Eropa mereka terdampar tanpa arah dan terlunta.
Adapun di negeri-negeri Arab yang kaya-raya, penguasanya menutup mata. Para penguasa itu pun sebenarnya mendengar jeritan histeris anak-anak, rintihan orang-orang yang terluka dan orang-orang tua, serta seruan orang-orang yang meminta pertolongan. Meski begitu, para penguasa itu tetap saja tuli, bisu, buta, dan tidak mau berpikir.
Di negeri kita yang mayoritas penduduknya Muslim ini, umat Islam juga terus-menerus dilecehkan dan didipinggirkan. Contohnya pemberangusan dan ancaman kepada umat Islam di Tolikara.
Selain itu di nergeri ini kebijakan neoliberal mengakibatkan rakyat semakin sengsara. Pemerintah meliberalisasi perdagangan dan industri di sektor sumberdaya alam, energi, kesehatan dan pendidikan serta pertanian. Korporasi-korporasi dalam negeri maupun asing masih mengatur bursa penguasa, siapa yang naik, siapa yang turun, siapa yang disingkirkan. Pemerintah terus gencar menambah utang, termasuk dari Cina. Tentu tidak ada makan siang gratis. Hasil riset oleh Rand Corporation, “China’s Foreign Aid and Government-Sponsored Investment Activities” menyebutkan, utang yang diberikan oleh Cina mensyaratkan minimal 50 persen dari pinjaman tersebut terkait dengan pembelian barang dari Cina. Beban akibat utang yang makin menumpuk itu akan kembali ditanggung oleh rakyat.
Jelas, kemunduran umat ini adalah masalah yang serius, bukan main-main. Kita mempunyai dua pilihan. Pertama: Diam dan tidak ikut berjuang mengganti sistem kapitalis ini. Jika itu pilihannya, kehinaan dan nestapa akan terus membelenggu leher kita akibat ulah para penguasa zalim. Kita akan terus ditimpa kehinaan di dunia selain kesedihan dan azab di akhirat yang jauh lebih pedih dan dahsyat (Lihat: QS az-Zumar [39]: 26; al-Qalam [68]: 33). Kedua: Bergerak secara aktif untuk mengganti sistem dan rejim kapitalis, lalu mengangkat seorang khalifah yang akan menjadi pelindung dan perisai umat. Dengan begitu, kita bisa mengakhiri era suram Kapitalisme ini dan mengembalikan neger-negeri Muslim yang terserak, kembali secara utuh ke pangkuan Khilafah. Dengan itu, kita pun bisa meraih kemuliaan di dunia dan di akhirat.
Oleh karena itu harus ada usaha sungguh-sungguh dengan penuh keikhlasan dan kesabaran serta kerjasama dari seluruh komponen umat Islam di negeri ini untuk menghentikan sekularisme, liberalisme dan neoimperialisme; lalu berupaya untuk menegakkan syariah dan Khilafah. Hanya dengan sistem berdasar syariah yang dipimpin oleh seorang khalifah, Indonesia dan juga dunia, benar-benar bisa menjadi baik. Syariahlah—yang ditegakkan oleh Khalifah dalam sistem Khilafah—yang menjadi jalan satu-satunya untuk memberikan kebaikan dan kerahmatan Islam bagi seluruh alam semesta sehingga berbagai kerusakan, kezaliman dan penjajahan bisa dihapuskan di muka bumi. Di sinilah esensi seruan Syariah dan Khilafah Mewujudkan Islam Rahmatan Lil Alamin yang gencar diserukan oleh Hizbut Tahrir Indonesia. [Ummu Syarif; Ibu Rumah Tangga, Tinggal di Kediri]