HTI

Hadis Pilihan (Al Waie)

‘Ashabiyah: Haram dan Menjijikkan

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: مَنْ خَرَجَ مِنَ الطَّاعَةِ وَفَارَقَ الْجَمَاعَةَ ثُمَّ مَاتَ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً وَمَنْ قُتِلَ تَحْتَ رَايَةٍ عُمِّيَّةٍ يَغْضَبُ لِلْعَصَبَةِ وَيُقَاتِلُ لِلْعَصَبَةِ فَلَيْسَ مِنْ أُمَّتِى وَمَنْ خَرَجَ مِنْ أُمَّتِى عَلَى أُمَّتِى يَضْرِبُ بَرَّهَا وَفَاجِرَهَا لاَ يَتَحَاشَ مِنْ مُؤْمِنِهَا وَلاَ يَفِى بِذِى عَهْدِهَا فَلَيْسَ مِنِّي

Abu Hurairah ra. menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, “Siapa yang keluar dari ketaatan dan memecah-belah jamaah (umat Islam), lalu mati, dia mati dalam keadaan mati jahiliah. Siapa yang terbunuh di bawah panji buta, dia marah untuk kelompok dan berperang untuk kelompok, dia bukan bagian dari umatku. Siapa saja yang keluar dari umatku untuk memerangi umatku, memerangi orang baik dan jahatnya, serta tidak takut akibat perbuatannya atas orang Mukminnya dan tidak memenuhi perjanjiannya, dia bukanlah bagian dari golonganku.” (HR Muslim, Ahmad, Ibnu Majah dan an-Nasai).

Dalam redaksi lainnya dari Abu Hurairah ra., Rasulullah saw. bersabda:

مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ وَخَرَجَ مِنَ الطَّاعَةِ فَمَاتَ فَمِيتَتُهُ جَاهِلِيَّةٌ وَمَنْ خَرَجَ عَلَى أُمَّتِى بِسَيْفِهِ يَضْرِبُ بَرَّهَا وَفَاجِرَهَا لاَ يُحَاشِى مُؤْمِناً لإِيمَانِهِ وَلاَ يَفِى لِذِى عَهْدٍ بِعَهْدِهِ فَلَيْسَ مِنْ أُمَّتِى وَمَنْ قُتِلَ تَحْتَ رَايَةٍ عِمِّيَّةٍ يَغْضَبُ لِلْعَصَبِيَّةِ أَوْ يُقَاتِلُ لِلْعَصَبِيَّةِ أَوْ يَدْعُو إِلَى الْعَصَبِيَّةِ فَقِتْلَتُهُ جَاهِلِيَّةٌ

Siapa saja yang memecah-belah jamaah dan keluar dari ketaatan, lalu mati, maka dia mati jahiliah. Siapa saja yang keluar menyerang umatku dengan pedangnya, ia memerangi orang baik dan orang jahatnya, tidak takut akibat perbuatannya menimpa orang Mukmin karena keimanannya dan tidak memenuhi perjanjiannya, dia bukan bagian dari umatku. Siapa saja yang terbunuh di bawah panji buta, dia marah karena ‘ashabiyah, atau berperang untuk ‘ashabiyah atau menyerukan ‘ashabiyah, maka dia mati jahiliah (HR Ahmad).

Imam al-Baihaqi mengeluarkan hadis ini dalam Syu’ab al-خmân dari Abu Hurairah dengan redaksi:

… وَمَنْ قُتِلَ تَحْتَ رَايَةٍ عُمِيَّةٍ يَغْضَبُ لِلْعَصَبِيَّةِ، وَيَنْصُرُ لِلْعَصَبِيَّةِ، وَيَدْعُوْ لِلْعَصَبِيَّةِ فَقِتْلَتُهُ جَاهِلِيَّةٌ

“ …siapa saja yang terbunuh di bawah panji buta, dia marah karena ‘ashabiyah, menolong karena ‘ashabiyah dan menyerukan ‘ashabiyah, maka dia mati jahiliah.

Hadis di atas menjelaskan: Pertama, haramnya keluar dari ketaatan kepada imam/khalifah dan haramnya memecah-belah jamâ’ah al-muslimîn (jamaah kaum Muslim), yaitu jamaah kaum Muslim yang dipimpin oleh imam/khalifah.

Kedua, haramnya sebagian kaum Muslim memerangi sebagian lainnya, yang tidak dibenarkan. Ini tidak mencakup perang yang dibenarkan, misalnya memerangi ‘khalifah kedua’ yang dibaiat, perang ta’dîb terhadap pelaku bughât, dsb.

Ketiga, haramnya menyeru, membela dan berperang demi ‘ashabiyah. Hadis di atas, meski redaksinya berita, karena disertai celaan, maknanya adalah larangan. Qarînah yang ada menunjukkan ketegasan larangan itu, yaitu qarînah “falaysa min ummati” atau “faqitlatuhu jâhiliyyah” atau disebut sebagai râyah ‘ummiyah.

Imam an-Nawawi di dalam Syarh Shahîh Muslim menyatakan, “Râyah ‘ummiyyah adalah perkara buta yang tidak jelas arahnya. Begitulah yang dikatakan oleh Ahmad bin Hanbal dan jumhur ulama.” Ishaq bin Rahwaih berkata, “Ini seperti saling berperangnya kaum karena ‘ashabiyyah.

Mula Ali al-Qari di dalam Mirqah al-Mafâtîh mengatakan, “Di dalam kamus al-‘ummiyyah artinya kesombongan (al-kibru) dan kesesatan (adh-dhalâl).” Al-Qari melanjutkan, “Yaghdhabu yakni hâl (keterangan) kondisi dia marah karena ‘ashabiyah, yaitu kebiasaan yang dinisbatkan pada sifat ‘ashabiyah; artinya bukan untuk meninggikan kalimat thayyibah, “aw yad’û (menyeru)” yakni yang lain untuk ‘ashabiyah, “aw yanshuru (menolong)”, yakni dengan perbuatan, pukulan dan perang secara ‘ashabiyyah.”

An-Nawawi berkata, “Maknanya berperang tanpa pandangan dan pengetahuan karena ta’ashub (fanatisme) seperti perang jahiliah dan tidak mengetahui yang benar dari yang batil, melainkan ia marah karena ‘ashabiyah bukan karena menolong agama, dan ‘ashabiyah adalah menolong kaumnya di atas kezaliman.”

Ath-Thaibi berkata, “Sabda Rasul saw. ‘tahta râyah ‘ummiyyah’ merupakan kinâyah (kiasan) dari jamaah yang berkumpul/berhimpun di atas perkara yang tidak jelas benar atau batil.”

‘Ashabiyah itu berasal dari ‘ushbah (kelompok) dan ‘ashabah (kerabat laki-laki). ‘Ashabiyah maknanya ikatan kelompok baik kelompok keturunan maupun yang lain. Nasionalisme, kesukuan, golongan, kedaerahan, jamaah, partai, kemadzhaban, dan lainnya termasuk dalam makna ‘ashabiyah.

Hanya saja, larangan atau keharaman ikatan ‘ashabiyah itu bukan berarti tidak boleh mencintai suku, daerah, keluarga, jamaah, kelompok, golongan, atau mazhab. Akan tetapi, maknanya adalah tidak boleh atau haram menjadikan ikatan ‘ashabiyah itu di atas segalanya; di atas kebenaran dan di atas ikatan Islam dan keimanan. Di dalam riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah dari Fusailah binti Watsilah bin al-Asqa’ dari bapaknya dikatakan: Aku berkata, “Apakah ‘ashabiyah itu, ya Rasulullah?” Beliau bersabda:

أَنْ تُعِينَ قَوْمَكَ عَلَى الظُّلْمِ

Engkau menolong kaummu di atas kezaliman.

Oleh karena itu, dalam Islam tidak ada istilah right or wrong is my country, my nation, my madzhab, my party, my jamaah dan lainnya. Sikap ‘ashabiyah (fanatisme kelompok) itu harus ditinggalkan seperti yang diperintahkan Rasul saw. Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Jabir bahwa dalam satu perang, seorang Muhajirin mendorong seorang Anshar, lalu orang Anshar itu berkata, “Tolonglah, hai Anshar.” Orang Muhajirin itu berkata, “Tolonglah, hai Muhajirin.” Nabi saw. pun mendengar itu dan beliau bersabda:

مَا بَالُ دَعْوَى جَاهِلِيَّةٍ. قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ: كَسَعَ رَجُلٌ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ رَجُلاً مِنَ الأَنْصَارِ. فَقَالَ: دَعُوهَا فَإِنَّهَا مُنْتِنَةٌ

“Ada apa dengan seruan jahiliah itu?” Mereka berkata, “Ya Rasulullah, seorang dari Muhajirin memukul punggung seorang dari Anshar.” Beliau bersabda: “tinggalkan itu, sebab hal itu muntinah (tercela, menjijikkan dan berbahaya).

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*