HTI

Nisa' (Al Waie)

Bagaimana Seharusnya Muslimah Menjalani Ramadhan?

Islam telah merinci hukum-hukum terkait Ramadhan yang sebagiannya berupa hukum-hukum yang dikhususkan bagi perempuan. Semua itu wajib dilaksanakan sebagai bentuk ketundukan manusia terhadap aturan Allah SWT. Sikap pasrah tanpa mencari-cari berdasarkan akal harus menjadi landasan dalam setiap pelaksanaan aturan ibadah.

Memahami hukum-hukum tersebut merupakan fardhu ‘ain bagi Muslimah. Hal ini karena salah satu syarat amal ibadah diteria adalah kesesuaiannya dengan tuntunan syariah.

 

Hukum-Hukum Penting bagi Muslimah Seputar Ramadhan

  1. Kewajiban berpuasa.

Sebagaimana bagi laki-laki Muslim, puasa Ramadhan pun menjadi kewajiban bagi Muslimah (QS al Baqarah [2]: 183). Puasa wajib ditunaikan jika seorang Muslimah yang berakal telah balig, yang ditandai dengan telah datang haid, atau tumbuhnya bulu lebat pada kemaluan atau jika usianya sudah melewati 15 tahun.

Meski demikian, Muslimah yang diwajibkan berpuasa hanyalah mereka yang sehat (tidak sakit) dan mukim (tidak sedang dalam perjalanan). Artinya, jika mereka sakit atau dalam perjalanan (safar), mereka tidak wajib puasa Ramadhan. Namun mereka wajib mengganti (qadha) puasa itu pada hari yang lain di luar Ramadhan (QS al-Baqarah [2]: 185).

Adapun mereka yang sudah berusia lanjut atau yang sakit keras dan tidak memungkinkan sembuh sehingga tidak ada kesempatan baginya untuk mengganti puasa pada hari yang lain boleh berbuka. Namun, wajib bagi dia untuk membayar fidyah, yaitu memberi makan seorang miskin setiap hari yang ia tinggalkan (QS al-Baqarah [2]: 184). Fidyah yang dibayarkan sebesar 1 mud perhari. Satu mud itu sama dengan 544 gram beras.

 

  1. Puasa bagi Muslimah yang haid dan nifas.

Dikecualikan dari kewajiban berpuasa yaitu Muslimah yang haid dan nifas. Bahkan wajib bagi kedua golongan ini untuk meninggalkan puasa atau membatalkan puasanya jika datang haid atau nifas pada siang Ramadhan. Namun demikian, ia diwajibkan mengganti puasanya (qadha) pada hari lain.

Haid dan nifas adalah darah yang keluar dari kemaluan kaum wanita. Bedanya, haid keluar rutin setiap bulan, dengan kadar yang berbeda. Adapun nifas adalah darah yang keluar saat melahirkan (dengan batasan minimal janin sudah mulai terbentuk anggota badan). Baik haid maupun nifas sama-sama menjadi penghalang bagi perempuan untuk melakukan puasa. Karena itu, ketika kedua penghalang ini terdapat pada diri wanita, dengan sendirinya perempuan tersebut tidak bisa melaksanakan puasa.

Ini didasarkan pada hadits Aisyah ra yang menyatakan, ”Kami sedang haid di sisi Nabi saw. Kemudian Baginda memerintahkan kami untuk mengganti puasa.” (HR Ibn Majjah).

Selama perempuan yang haid dan nifas masih mengeluarkan darah, dia tidak boleh berpuasa. Namun, jika sebelum fajar darah haid dan nifasnya berhenti, dia terkena kewajiban berpuasa pada hari itu meski saat fajar dia belum sempat bersuci dan mandi. Pasalnya, yang menjadi penghalangnya adalah haid dan nifasnya, bukan sudah bersuci atau belum.

Dalam konteks sah dan tidaknya puasa wanita yang belum bersuci saat fajar, sementara darah haid dan nifasnya sudah berhenti sebelum fajar, memang ada perselisihan. Namun jumhur ulama menyatakan sah.

Jika haid berhenti pada pertengahan hari Ramadhan, dia harus menahan diri dari yang membatalkan puasa sejak waktu haid berhenti sampai matahari terbenam. Tentu saja dia tetap wajib meng-qadha puasanya untuk hari itu.

 

  1. Puasa bagi Muslimah yang hamil dan menyusui.

Dalam hadis Anas bin Malik ra. dinyatakan, “Rasulullah saw. memberikan keringanan kepada wanita hamil yang mengkhawatirkan keselamatan dirinya untuk membatalkan puasanya, juga wanita yang menyusui yang mengkhawatirkan anaknya [boleh membatalkan puasanya].” (HR Ibn Majah).

Meski Muslimah yang hamil dan menyusui diberi keringanan untuk tidak berpuasa, terdapat perbedaan pendapat tentang konsekuensi dari tidak berpuasanya, yaitu apakah wajib menggantinya pada hari yang lain ataukah cukup hanya dengan membayar fidyah. Pendapat yang kuat adalah yang menyatakan, bahwa wanita hamil dan menyusui sama-sama boleh membatalkan puasanya, dengan kewajiban mengganti puasanya (qadha), tanpa harus membayar fidyah, baik karena khawatir atas janin atau bayinya maupun tidak. Ini adalah pendapat mazhab Hanafi.

 

  1. Puasa bagi Mustahadhah.

Mustahadhah adalah perempuan yang mengeluarkan darah dari farjinya, tetapi bukan haid ataupun nifas. Istihadhah atau keluarnya darah penyakit ini tidak menghalangi perempuan dari kewajiban puasa Ramadhan. Karena itu, ia harus berniat pada malam harinya untuk menjalankan kewajiban puasa.

 

  1. Membayar hutang puasa (qadha).

Beberapa kondisi pada perempuan mengharuskan dia melakukan qadha puasa, yaitu melaksanakan puasa pada hari yang lain di luar Ramadhan. Syariah memberikan ketentuan bahwa qadha puasa sah dilakukan secara berturut-turut atau berselang-seling tanpa ada pengutamaan salah satu dari keduanya. Meng-qadha puasa Ramadhan juga sah dilakukan secara langsung setelah hari raya Idul Fitri (mulai tanggal 2 Syawal). Qadha puasa juga sah dilakukan meski diakhirkan hingga bulan Sya’ban, beberapa saat sebelum datangnya Ramadhan berikutnya.

Jika seseorang, tanpa udzur, melalaikan qadha puasa hingga melewati Ramadhan berikutnya, maka ia dipandang sudah melalaikan kewajiban (al-mufarrith). Para ulama berbeda pendapat tentang apakah ia harus membayar fidyah (sebagai kafarat) atas puasa yang ditinggalkannya ataukah tidak. Namun, pendapat terkuat adalah yang disampaikan oleh ulama Hanafiyah bahwa ia hanya wajib melakukan qadha puasa saja tanpa membayar fidyah.

Adapun bagi orang yang lalai meng-qadha puasa hingga beberapa Ramadhan maka kewajiban qadha-nya tetap berlaku. Ia tidak cukup hanya meng-qadha Ramadhan yang terakhir saja. Ini karena qadha puasa Ramadhan tidak gugur dengan lewatnya waktu lebih dari satu tahun. Dengan melalaikan (mengakhirkan) qadha puasa maka ia telah berdosa, dan ia tetap terkena beban untuk meng-qadha seluruh puasa yang pernah dia tinggalkan.

 

  1. Hal-hal yang boleh bagi Muslimah saat berpuasa.
  • Mencicipi makanan.

Boleh bagi Muslimah yang berpuasa untuk mencicipi makanan melalui ujung lidahnya untuk mengetahui rasa yang akan dihidangkan atau untuk mengukur suhu makanan yang hendak disuapkan pada bayinya, asalkan makanan tersebut tidak masuk ke dalam kerongkongannya (ditelan).

  • Mencium atau dicium suami.

Muslimah yang sedang berpuasa boleh mencium atau dicium oleh suaminya, asalkan keduanya yakin dapat menguasai diri untuk tidak sampai melakukan jima’ (hubungan intim). Namun demikian, jika dengan terjadinya ciuman sampai mengeluarkan mani, berarti dia telah berbuka (batal puasanya). Jika ciuman itu hanya menyebabkan keluarnya madzi, tidaklah membatalkan puasanya.

Jika seorang Muslimah yang sedang berpuasa Ramadhan disetubuhi oleh suaminya dengan paksaan, maka ia tidak wajib membayar kafarah (denda). Yang terkena kafarah adalah Muslimah yang menyengaja (menghendaki) bersetubuh dengan suaminya pada siang hari Ramadhan. Kafarah-nya adalah memer-dekakan seorang budak. Jika tidak bisa, berpuasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan 60 orang miskin.

  • Memakai celak, meneteskan obat mata dan suntik.

Semua perkara ini boleh dan tidak membatalkan puasa karena tidak termasuk dalam aktivitas memasukkan makanan (se-suatu) ke rongga mulut dan kerongkongan.

 

  1. Menjalankan qiyamul-lail (shalat tarawih) di masjid.

Muslimah juga disyariatkan untuk melaksanakan shalat tarawih berjamaah di masjid. Hanya saja, ada beberapa ketentuan yang harus dipatuhi Muslimah saat hendak menjalankan ibadah ini di masjid. Di antaranya adalah aman dari fitnah, menggunakan pakaian syar’i, tidak ber-tabarruj, tidak memakai wangi-wangian, juga tidak mengeraskan suaranya.

Sebagaimana ketentuan dalam shalat berjamaah di masjid, shaf atau barisan Muslimah harus terpisah di bvelakang laki-laki, bahkan disunnahkan agar perempuan menjauh dari barisan laki-laki dengan cara memulai shaf mereka dari belakang. Adapun jika shalat telah selesai, kaum Muslimah dianjurkan untuk segera keluar dari masjid dan tidak menunggu kaum laki-laki agar tidak bercampur-baur.

  1. I’tikaf Muslimah.

I’tikaf merupakan ibadah yang disunnahkan dalam bulan Ramadhan, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Hanya saja, kaum Muslimah yang hendak ber-i’tikaf di masjid harus mematuhi ketentuan syariah seperti harus mendapatkan izin dari suami atau walinya, aman dari fitnah, menjaga aturan pergaulan dengan lawan jenis dengan tidak ber-khalwat, juga tidak bercampur-baur.

  1. Menghadiri Idul Fitri.

Nabi saw. memerintah kaum Muslimah untuk keluar melaksanakan shalat Id, termasuk para gadis, perempuan yang dipingit, dan yang sedang haid. Hanya saja, Muslimah yang sedang haid menjauhi tempat shalat. Bahkan Muslimah yang tidak memiliki jilbab tetap harus keluar dengan dipinjami jilbab oleh yang lain. Hal ini telah disebutkan dalam hadis penuturan Ummu ‘Athiyyah ra. (HR. Bukhari dan Muslim).

 

Khatimah

Demikianlah beberapa hukum penting bagi perempuan terkait Ramadhan. Semoga Ramadhan tahun ini menjadi Ramadhan terbaik dari yang pernah kita lalui, buah pemahaman syar‘i yang makin menyempurkan kualitas amaliyah ibadah kita. Mudah-mudahan Allah SWT menjadikan Ramadhan kali ini sebagai jalan bagi datangnya ampunan dan pertolongan-Nya. Amîn ya Rabb al-‘âlamîn. [Noor Afeefa, dari berbagai sumber].

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*