Turki adalah negara dengan letak yang sangat strategis. Napoleon Bonaparte bahkan pernah menggambarkan, “Jika di dunia hanya terdapat satu negara, ibukotanya adalah Istanbul.”
Hal ini wajar, karena selain penghubung Asia dan Eropa, negeri ini sejak dulu menjadi pusat peradaban dan kebudayaan. Peradaban besar pernah singgah dan berkembang lama di daerah ini, mulai dari peradaban Byzantium (Romawi Timur) hingga peradaban Khilafah Turki Ustmani.
Turki saat ini terletak di Asia Barat Daya. Turki sekarang di sebelah barat berbatasan dengan selat Dardanela dan Yunani; sebelah selatan berbatasan dengan Pulau Siprus, Suriah dan Irak; sebelah timur berbatasan dengan Armenia dan Irak; sebelah utara berbatasan dengan Laut Hitam dan Bulgaria.
Sejarah Konstantinopel dimulai pada Abad Keempat Masehi. Kekuasaan Imperium Romawi Kuno berkembang dengan pesat. Konstantinus Yang Agung merasa Kota Roma sudah tidak layak untuk menjadi ibukota. Akhirnya, ia memilih daerah yang sekarang bernama Istanbul sebagai ibukota baru Kerajaan Romawi. Ia membangun benteng dan memperluas kota Konstantinopel. Kaisar Konstantinus Yang Agung membangun gedung pemerintahan, rumah-rumah ibadah, istana dan pemandian umum. Kemudian pada tahun 330 M, Kaisar Konstantinus secara resmi menetapkan Konstantinopel sebagai ibukotanya.
Konstantinopel berarti Kota Kaisar Konstantinus. Penerusnya, Kaisar Konstantinus II, melanjutkan pembangunan. Ia mengembangkan dan memperindah kota dengan membangun saluran air dan monumen. Pada tahun 395 Masehi, Kerajaan Romawi akhirnya dibagi menjadi dua wilayah, Romawi Barat dan Romawi Timur. Romawi Barat runtuh pada Abad Kelima Masehi. Adapun Romawi Timur mampu bertahan selama seribu tahun.
Sejarahwan modern memilih Byzantium untuk menyebut Romawi Timur. Tujuannya untuk membedakan dengan Romawi Barat. Agama Nasrani awalnya berkembang pada masa Byzantium. Segala bentuk upacara keagamaan mengikuti tradisi Kristiani. Hukum dan peraturan pemerintahannya diadopsi dari Roma.
Ibukota Romawi Barat, Roma, jatuh ke tangan bangsa Goth tahun 476, namun Konstantinopel masih bisa bertahan hingga seribu tahun kemudian. Pada masa jayanya, Kerajaan Romawi Timur dapat dikatakan sebagai sebuah negara adidaya yang hanya dapat disaingi oleh Kerajaan Persia.
Sebenarnya, jauh sebelum Turki Utsmani di bawah Sultan Muhammad al-Fatih berhasil menaklukkan Konstantinopel, para pemimpin Islam sudah sejak zaman Khulafaur Rasyidin, kemudian Khalifah Bani Umayyah dan Khalifah Bani Abbas, berusaha ke arah itu. Namun, baru pada masa Kekhilafahan Turki Utsmani usaha itu berhasil.
Usaha-usaha penaklukan Konstantinopel telah dilakukan umat Islam sejak masa Sahabat. Upaya pertama dilakukan oleh Muawiyah bin Abu Sufyan pada tahun 668 M, namun gagal. Salah satu Sahabat Rasulullah saw., yaitu Abu Ayyub al-Anshari ra., gugur (Syalabi, 1998: 16).
Generasi berikutnya, baik dari Bani Umayyah maupun Bani Abbasiyyah hingga Turki Utsmani pada masa Pemerintahan Murad II, juga gagal menaklukkan Byzantium. Salah satu peperangan Murad II di wilayah Balkan adalah melawan Vlad Dracul, seorang tokoh Perang Salib yang bengis dan sadis. Selama 800 tahun kegagalan selalu terjadi hingga anak Sultan Murad II, yaitu Muhammad II, naik tahta Turki Utsmani. Muhammad II selanjutnya dikenal dengan julukan Muhammad al-Fatih. Ia menaklukkan Konstantinopel pada tahun 1453 M. (Hitti, 1970: 905-906).
Sejak saat itu Sultan Muhammad mengganti nama Konstantinopel menjadi Istanbul, artinya “Tahta Islam”. Ia juga memindahkan ibukota Kekhilafahan ke daerah baru tersebut. Sebelumnya ibukota Kekhilafahan Utsmani adalah Adrianopel; sebuah kota dari negara Asia yang terletak di wilayah Eropa (Maryam, 2003:131).
Spirit yang melatarbelakangi upaya untuk menaklukkan Konstantinopel adalah adanya bisyârah (kabar gembira, red.) yang diberitakan oleh Rasulullah saw. Hal ini selanjutnya menjadi misi keimanan yang membakar setiap pemimpin pasukan dan pasukan yang melakukan ekspedisi penaklukkan Konstatinopel.
Spirit itu ada ada dalam hadis: Abu Qubail menuturkan dari Abdullah bin Amr bin Ash: Suatu ketika kami sedang menulis di sisi Rasulullah saw. Tiba-tiba beliau ditanya, “Mana yang dikalahkan lebih dulu, Konstantinopel atau Romawi?” Beliau menjawab, “Kota Heraklius-lah yang akan terkalahkan lebih dulu.” (HR Ahmad, ad-Darimi dan al-Hakim).
Rasul saw. pun bersabda, “Konstantinopel akan jatuh ke tangan Islam. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan.” (HR Ahmad).
Sejarah menyebutkan, tatkala Konstanti-nopel berada di bawah Khilafah Turki Utsmani, di sana tidak pernah ada pembantaian terhadap penduduk Konstantinopel. Bahkan Pemerinta-han Islam Utsmani bekerjasama dengan umat Kristen untuk kembali membangun perekonomian, dan menjalin persahabatan dengan Yunani. Khilafah Turki Utsmani juga terus mengepakkan sayap kekuasaannya ke wilayah Mesir, Arabia dan Syiria. Yang tak kalah pentingnya, Turki Utsmani menyebarkan ajaran Islam hingga ke kawasan Balkan.
Seiring dengan dominasi Islam, wajah bekas Kota Konstantinopel itu pun berganti rupa. Bangunan masjid bermunculan, namun tetap dengan corak arsitektur Bizantum yang khas. Guna menambah jumlah penduduk Muslim di Istanbul, umat Islam yang tinggal di Anatolia dan Rumelia dianjurkan untuk bermigrasi ke Istanbul. Akhir 1457, penduduk Edirne migrasi besar-besaran ke Istanbul. Pada 1459, kota terbesar di Eropa itu dibagi menjadi empat wilayah administratif.
Setelah Muhammad al-Fatih menjadikan Istanbul sebagai ibukota Khilafah Turki Utsmani, ia melakukan penataan hal-ihwal orang-orang Kristen Yunani (Romawi). Dalam penataan tersebut ia tetap memberikan kebebasan kepada pihak gereja, seperti yang dilakukan para pendahulunya, yakni menghormati keyakinan agama masyarakatnya. Dalam penataan tersebut, Sultan Muhammad II membebaskan pajak atas gereja.
Berkenaan dengan kekuasaan keagamaan orang Kristen Yunani, ia bahkan menyerahkan pelaksanaannya kepada penguasa keagamaan mereka. Hal yang sama juga berlaku bagi penganut agama Yahudi. Setiap agama mempunyai komunitasnya sendiri yang disebut dengan millet. Sultan memberikan kebebasan kepada penganut agama Kristen, misalnya, untuk memilih dan menentukan tiga patriarch. Bilamana seorang patriarch sudah terpilih, ia kemudian melantiknya dan memberikan tongkat serta memasukkan cincin ke-patriach-an kepada patriarch terpilih itu. Itu tidak pernah terjadi pada masa raja-raja Kristen sendiri sebelumnya, bahkan hingga saat ini.
Penduduk Istanbul memang heterogen dalam bidang agama. Menurut sensus tahun 1477, penduduk Istanbul berdasarkan agama adalah sebagai berikut: Muslim 8951 rumah tangga (60%), penganut Kristen Ortodoks (Yunani) 3151 rumah tangga (21,5 %), Yahudi 1647 rumah tangga (11%), dan lain-lain 1054 rumah tangga (7,5%). Sebagaimana halnya dengan Konstantinopel pada masa Kerajaan Romawi Timur, Khilafah Turki Utsmani dengan ibukota Istanbul itu, juga menjadi sebuah negara adidaya pada masa jayanya. Wilayah kekuasaannya meliputi sebagian besar Eropa Timur, Timur Tengah, dan Afrika Utara. [Gus Uwik, dari berbagai sumber]