(Tafsir QS ‘Abasa [80]: 11-16)
كَلَّا إِنَّهَا تَذْكِرَةٌ ، فَمَنْ شَاءَ ذَكَرَهُ ، فِي صُحُفٍ مُكَرَّمَةٍ ، مَرْفُوعَةٍ مُطَهَّرَةٍ ، بِأَيْدِي سَفَرَةٍ ، كِرَامٍ بَرَرَةٍ ،
Sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan. Karena itu siapa saja yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya; di dalam kitab-kitab yang dimuliakan, yang ditinggikan lagi disucikan, di tangan para penulis (malaikat) yang mulia lagi berbakti (QS ‘Abasa [80]: 11-16).
Tafsir Ayat
Allah SWT berfirman: Kallâ innahâ tadzkirah (sekali-kali jangan [demikian](. Kata kallâ bermakna rad’[un] (teguran) terhadap perbuatan yang dicela dan terulangnya kembali perbuatan yang serupa.1
Dalam konteks ayat ini, kata tersebut memberikan makna, “Perkaranya tidak seperti yang engkau lakukan terhadap dua kelompok. Artinya, janganlah setelah ini kamu melakukan perbuatan seperti itu, yakni: menerima orang kaya dan berpaling dari orang Mukmin yang miskin.” Demikian menurut Imam al-Qurthubi.2
Asy-Syaukani juga memaknainya, “Jangan sampai engkau melakukan setelah kejadian ini perbuatan serupa, yakni berpaling dari orang miskin dan lebih melayani orang kaya serta menyibukkan diri dengannya, padahal dia tidak termasuk orang yang mau menyucikan diri dengan petunjuk yang engkau bawa dan menerima nasihat.”
Peristiwa yang terjadi pada Nabi saw. adalah termasuk meninggalkan yang lebih utama, kemudian Allah SWT membimbing beliau untuk melakukan yang lebih utama.”3
Demikian pula penjelasan Ibnu Jarir ath-Thabari, kata kallâ di sini bermakna, “Perkaranya tidak seperti yang engkau lakukan, hai Muhammad, yakni bermuka masam terhadap orang yang datang kepadamu dengan bersegera dan dia takut kepada Allah SWT, sementara engkau melayani orang yang merasa dirinya cukup.”4
Dhamîr al-ghâyb pada kata innahâ‘ menunjuk pada nasihat tersebut.5 Bisa juga bermakna lebih luas, yakni surat ini dan ayat-ayat al-Quran.6 Adapun tadzkirah berarti al-‘izhah wa ‘ibrah (nasihat dan pelajaran).7
Menurut al-Biqai, ayat ini menegaskan larangan sebelumnya.8 Sebab, sebagaimana dikatakan Ibnu ‘Athiyah, tadzkirah atau peringatan itu untuk seluruh alam, mengutamakan seseorang atas yang lain.9 Ibnu Katsir juga menyatakan bahwa surat ini memerintahkan untuk memperlakukan semua manusia dengan sama dalam menyampaikan ilmu, baik yang mulia maupun yang rendah.10
Sebagai tadzkirah bagi seluruh manusia, ia layak diterima dan diamalkan. Asy-Syaukani berkata, “Sesungguhnya ayat-ayat dan surat ini adalah nasihat yang layak diikuti, diterima dan diamalkan semua ketentuannya; dan diamalkan oleh seluruh umatmu.”11
Kemudian Allah SWT berfirman: Faman syâ‘a dzakarah (Siapa saja yang menghendaki, tentulah ia memperhatikannya). Tentang dhamîr al-ghâib yang berkedudukan sebagai al-maf’ûl bih (objek) pada kata dzakarahu, setidaknya ada dua penafsiran. Pertama: Kembali kepada Allah SWT. Kedua: Kembali pada al-Quran atau wahyu. Ibnu Katsir berkata, “Siapa saja yang menghendaki, tentu akan mengingat Allah SWT pada semua urusannya. Bisa juga maksudnya, mengingat wahyu. Sebab, dhamîr al-ghâib (kata ganti pihak ketiga) karena konteks pembicaraan tentang wahyu.”12
Adapun makna dzakarahu, menurut az-Zamakhsyari, berarti dia menghapalnya dan tidak melupakannya.13 Al-Biqa’i juga memaknainya: menghapal semuanya dan mengingat semua nasihat yang ada di dalamnya.14
Bahkan menurut asy-Syaukani, juga mengamalkan ketentuannya. Dia berkata, “Siapa saja yang senang terhadapnya, dia akan mengambilnya sebagai pelajaran, menjaganya, dan mengamalkan semua ketentuannya. Sebaliknya, siapa saja yang tidak menyukainya, sebagaimana yang dikerjakan orang yang merasa dirinya cukup, maka tidak perlu diperhatikan urusannya.”15
Menurut Fakhruddin ar-Razi, ayat ini menerangkan sifat tadzkirah tersebut. Artinya, tadzkirah (peringatan) ini sangat terang dan jelas karena seandainya mereka ingin memahaminya, mendapatkan nasihatnya, dan mengamalkan semua ketentuannya, niscaya mereka mampu untuk itu.16
Kemudian Allah SWT mengabarkan kemuliaan al-Quran dengan firman-Nya: fî shuhuf mukarramah (di dalam kitab-kitab yang dimuliakan). Kata ash-shuhuf merupakan bentuk jamak dari kata ash-shahîfah (lembaran).17 Ash-Shuhuf adalah segala sesuatu yang ditulis di atasnya, baik berupa daun maupun lainnya.18
Ditegaskan bahwa shuhuf tersebut mukarramah. Artinya, lembaran-lembaran yang diagungkan dan dihormati.19 Ditegaskan juga oleh asy-Syaukani, makna mukarramah di sini adalah mukarramah (dihormati) di sisi Allah SWT karena di dalamnya terkandung ilmu dan hikmah; atau karena turun dari al-Lawh al-Mahfûzh.20
Kemudian disebutkan: marfû’ah muthahharah (yang ditinggikan lagi disucikan). Makna marfû’ah berarti ‘âliyah al-qadr (derajat yang tinggi).21 Bisa juga karena berada di langit ketujuh.22
Adapun muthahharah, menurut az-Zamakhysari, berarti munazzah (disucikan) dari tangan-tangan setan, tidak disentuh kecuali oleh tangan-tangan malaikat yang disucikan.23 Ibnu Katsir memaknainya terhindar dari cacat, penambahan atau pengurangan.24 Al-Hasan berkata, “Disucikan dari semua kotoran.” As-Sudi berkata, “Terjaga dari orang-orang kafir dan mereka tidak bisa menggapainya.”25
Selanjutnya Allah SWT berfirman: bi aydî safarah (di tangan para penulis [malaikat]). Kata safarah merupakan bentuk jamak dari kata safîr, sebagaimana katabah merupakan bentuk jamak dari kata kâtib (penulis).26
Dalam konteks ayat ini, terdapat beberapa penafsiran. Ada yang menafsirkannya sebagai katabah (para penulis). Di antaranya adalah Ibnu Abbas dan Qatadah. Ada juga yang menafsirkannya sebagai qurrâ‘ (pembaca). Di antaranya Qatadah dalam riwayat lain. Juga ada yang menafsirkannya sebagai malaikat. Ini menurut Ibnu Abbas –dalam riwayat lain—dan Ibnu Zaid.27 Selai itu juga Mujahid dan adh-Dhahhak.28 Juga dipilih Ibnu Jarir al-Thabari dan al-Qurtubi. Menurut mereka, mereka adalah para malaikat yang menjadi penghubung antara Alah SWT dan para rasul-Nya dengan wahyu.29
Menurut Ibnu Jarir, jika penafsirannya diarahkan pada makna tersebut (malaikat), maka pemaknaannya bisa diarahkan sebagaimana dikatakan para mufassir lainnya: para penulis atau para pembaca. Sebab, para malaikatlah yang membacakan kitab dan menjadi mediator antara Allah dan Rasul-Nya.30 Demikian pula pendapat ar-Razi, al-Qurthubi, asy-Syaukani, al-Alusi, dan Abdurrahman al-Sa’di. Syihabuddin al-Alusi dan al-Syaukani berkata, “Mereka adalah para penulis dari kalangan malaikat yang menyalinnya dari Lauh al-Mahfuzh.”31
Menuru ar-Razi, Allah SWT menyifati malaikat dengan tiga jenis sifat. Pertama: Safarah. Artinya, mereka adalah katabah (para penulis). Bisa juga mereka adalah qurrâ‘. Sebab, safarah di sini adalah malaikat yang menjadi penghubung antara Allah SWT dan para Rasul-Nya dalam wahyu.32
Kemudian Allah SWT berfirman: kirâm bararah (yang mulia lagi berbakti). Ayat ini masih menerangkan sifat mulia para malaikat tersebut. Ayat ini menyebutkan sifat safarah pada ayat sebelumnya. Kata kirâm merupakan bentuk jamak dari kata karîm (yang mulia). Mereka mulia di sisi Tuhannya. Demikian dikatakan al-Kalbi.33
Adapun bararah merupakan bentuk jamak dari kata bârr (yang berbakti), seperti halnya kata kafarah dari kata kâfir; dan kata saharah dari katak sâhir.34 Menurut Muqatil, makna bararah adalah muthî’în (orang-orang yang taat).35 Asy-Syaukani juga memaknainya sebagai orang-orang yang bertakwa dan taat kepada Tuhan mereka dan benar keimanan mereka.36
Perangainya mulia, baik dan terpuji. Begitu juga akhlak dan perbuatan mereka yang selalu berbakti, suci dan sempurna. Menurut Ibnu Katsir, demikian pula selayaknya para penghapal al-Quran, hendaklan perbuatan dan ucapan mereka tidak menyimpang dan lurus, seraya mengutip hadis Imam Ahmad, dari Aisyah, bahwa Rasulullah saw. bersabda:
الْمَاهِرُ بِالْقُرْآنِ مَعَ السَّفَرَةِ الْكِرَامِ الْبَرَرَةِ وَالَّذِى يَقْرَأُ الْقُرْآنَ وَيَتَتَعْتَعُ فِيهِ وَهُوَ عَلَيْهِ شَاقٌّ لَهُ أَجْرَانِ
Orang yang pandai membaca al-Quran bersama para malaikat yang mulia dan patuh. Orang yang membaca al-Quran dengan terbata-bata dan berat melafalkannya mendapat dua pahala (HR Muslim).
Beberapa Pelajaran Penting
Banyak pelajaran yang dapat diambil dari ayat ini. Pertama: Ketentuan dalam memberikan peringatan dan nasihat. Ayat ini menegaskan kembali ketentuan yang telah disebutkan dalam ayat sebelumnya, bahwa dalam berdakwah, tidak ada pembedaan antara kelompok yang dan kelompok yang lain. Semuanya disamakan sebagai objek dakwah yang berhak mendapatkan pelajaran dan nasihat. Hanya saja, ketika terjadi benturan waktu dan tidak bisa dilakukan secara bersamaan, orang yang lebih berminat untuk mendapatkan pelajaran dan nasihat lebih didahulukan, sekalipun strata sosialnya lebih rendah dan kekayaannya lebih sedikit. Penegasan ini disebutkan dalam firman Allah SWT: Kallâ (sekali-kali tidak).
Disebutkan juga dalam kalimat selanjutnya: Innahâ tadzkirah. Sebagaimana diterangkan para mufassir, ayat ini menegaskan bahwa al-Quran yang diturunkan Allah SWT itu adalah tadzkirah (peringatan, nasihat, dan pelajaran) yang ditujukan semua manusia; tidak dibeda-bedakan antara satu dengan yang lainnya. Sikap selanjutnya diserahkan kepada manusia yang mendapatkan dakwah. Hal ini disebutkan dalam ayat sesudahnya: Faman syâ‘a dzakarahu.
Ayat ini menunjukkan, penerimaan atau penolakan terhadap nasihat dan pelajaran berpulang kepada manusianya. Dia bisa menerima, bisa pula menolak. Sebagaimana diterangkan para mufassir, ayat ini memberikan pengertian bahwa jika seseorang senang terhadapnya, dia bisa menerima, memahami, mengingat, dan mengamalkannya. Demikian pula, manusia bisa bersikap sebaliknya.
Oleh karena berpulang kepadanya, maka itu telah menjadi tanggung jawabnya. Bagi pengemban dakwah, ketika dakwah telah ditunaikan, dia tidak dimintai pertanggung-jawaban terhadap hasil. Kalau objek dakwahnya menolak, tidak ada cela bagi pengembannya. Ini telah disebutkan dalam ayat sebelumnya: Wa mâ ‘alayka an yazzakkâ.
Kedua: Keutamaan dan keistimewaan al-Quran. Hal ini disebutkan dan dipahami beberapa ayat ini. Di antara keistimewaan al-Quran adalah sifatnya yang mudah diingat dan dihapal. Sebagaimana diterangkan para mufassir, ini dapat dipahami dari frasa: Faman syâ‘a dzakarahu (Siapa saja yang menghendaki, niscaya dapat mengingatnya); bukan hanya sebagian, bahkan semuanya. Menurut al-Biqa’i, kesimpulan ini diisyaratkan oleh dhamîr al-ghâib pada kata dzakarhu.37
Keistimewaan lainnya adalah tertulis dalam shuhuf mukarramah (lembaran-lembaran yang dimuliakan) di sisi Allah SWT. Oleh karena itu, isinya pasti benar dan adil. Juga marfû’ah (yang ditinggikan), baik keberadaannya secara fisik karena berada di Lauh al-Mahfizh maupun kedudukannya secara status. Selain itu, muthahharah (disucikan), yakni terbebas dari semua kesalahan, pengurangan, penambahan, dan perubahan. Di langit, tak tersentuh oleh setan. Yang bisa menyentuhnya hanya malaikat yang disucikan.
Keutamaan al-Quran juga ditunjukkan oleh pembawanya. Dalam ayat ini diberitakan bahwa al-Quran itu berada di tangan safarah. Sebagaimana diterangkan para mufassir, kata tersebut menunjuk kepada malaikat, yang memiliki kedudukan yang mulia dan sifat taat kepada Allah Swt. Al-Quran dibawa oleh makhluk yang memiliki sifat mulia itu juga menunjukkan kemuliaannya.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Ust. Rokhmat S. Labib, M.E.I.]
Catatan kaki:
1 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabiy, 1987), 702; al-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31 (Beirut: Dar Ihya` al-Turats al-‘Arabi, 1420 H), 55.
2 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19 (Kairo: Dar al-Kutub al-Mishriyyah, 1969), 215.
3 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5 (Damaskus: Dar al-Kutub al-Thayyib, 1994), 464.
4 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24 (tt: Muassasah al-Risalah, 2000), 220-221.
5 Al-Khazin, Lubâb at-Ta‘wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 394
6 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 215. Lihat juga al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1995), 244; Abu Hayyan al-Andalusi, al-Bahr al-Muhîth, vol. 10 (Beirut: Dar al-Fikr, 1420 H), 408
7 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 221.
8 Al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar, 21, 257.
9 Ibnu Athiyah, Al-Muharrar al-Wajîz, vol. 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 5 (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2001), 437
10 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8 (tt: Dar Thayyibah, 1999), 321.
11 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 464.
12 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8, 321
13 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4,702 .
14 Al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar, 21 (Kairo: Dar al-Kitab al-Islami, tt), 257.
15 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 464.
16 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 55.
17 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 464.
18 Al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar, 21, 257.
19 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8, 321.
20 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 465; lihat al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 215; al-Jazairi, Aysar al-Tafâsîr, vol. 5 (Madinah: Maktabah al-Hikam wa al-‘Ulum, 2003), 518.
21 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8, 321; al-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 464. al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 215 menyebutnya rafî’ah al-qadr (derajat yang tinggi); al-Khazin, Lubâb at-Ta‘wîl fî Ma’ânî at-Tanzîl, vol. 4, 394.
22 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 55; al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 244.
23 Az-Zamakhsyari, Al-Kasysyâf, vol. 4,702. Lihat juga dalam al-Jazairi, Aysar at-Tafâsîr, vol. 5, 518.
24 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8, 321
25 Al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 215; asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 464.
26 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 464.
27 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 221.
28 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur‘ân al-’Azhîm, 8, 321
29 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 221ز
30 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 222; al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 215
31 Al-Alusi, Rûh al-Ma’ânî, vol. 15, 244; asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 464.
32 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 56
33 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 464
34 Ath-Thabari, Jâmi’ al-Bayân fî Ta‘wîl al-Qur‘ân, vol. 24, 222
35 Ar-Razi, Mafâtîh al-Ghayb, vol. 31, 56
36 Asy-Syaukani, Fat-h al-Qadîr, vol. 5, 464. Lihat juga dalam al-Qurthubi, Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur‘ân, vol. 19, 215.
37 Al-Biqa’i, Nazhm ad-Durar, 21, 257