HTI

Siyasah & Dakwah (Al Waie)

Ramadhan Bulan Al-Quran

Ramadhan identik dengan al-Quran. Hal tersebut karena pada bulan inilah al-Quran pertama kali diturunkan. Imam Ibnu Katsir, ketika menafsirkan QS al-Baqarah ayat 285, menyatakan bahwa Allah SWT memuji dan mengagungkan bulan suci Ramadhan dari bulan-bulan lainya, dengan memilih bulan ini sebagai bulan turunnya al-Quran al-Karim. Oleh karena itu, bulan Ramadhan sering disebut Syahrul Quran.

Al-Quran sejatinya diturunkan oleh Allah SWT untuk menjadi rahmat bagi orang-orang yang memenuhi seruan-seruannya. Allah SWT berfirman:

تَنْزِيلٌ مِنَ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ – كِتَابٌ فُصِّلَتْ آيَاتُهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

Diturunkan dari Zat Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab, untuk kaum yang mengetahui (QS Fushilat [41]: 2-3).

Penyebutan dua sifat Allah SWT, yakni ar-Rahmân dan ar-Rahîm, merupakan menegaskan kedudukan al-Quran sebagai rahmat bagi manusia. Hanya saja, rahmat yang terkandung dalam al-Quran itu hanya akan terwujud bila seruan-seruannya dipenuhi. Oleh sebab itu, sering Allah SWT menisbahkan kerahmatan al-Quran itu kepada kaum yang beriman dan mengamalkan pentunjuknya. Allah SWT berfirman:

وَلَقَدْ جِئْنَاهُمْ بِكِتَابٍ فَصَّلْنَاهُ عَلَى عِلْمٍ هُدًى وَرَحْمَةً لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ

Sesungguhnya Kami telah mendatangkan sebuah kitab (al-Quran) kepada mereka yang telah Kami jelaskan atas dasar pengetahuan Kami; menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman (QS al-A’raf [ 7]: 52).

Dalam ayat lain Allah SWT berfirman:

تِلْكَ آيَاتُ الْكِتَابِ الْحَكِيمِ – هُدًى وَرَحْمَةً لِلْمُحْسِنِينَ

Inilah ayat-ayat al-Quran yang mengandung hikmah, menjadi petunjuk dan rahmat bagi kaum yang berbuat kebaikan (QS Luqman [31]:1-3).

Seruan al-Quran

Seruan-seruan al-Quran setidaknya memiliki dua aspek: aspek ruhiah dan aspek politik. Aspek ruhiah mencakup pengaturan hubungan manusia dengan Allah SWT seperti salat, puasa, dll. Aspek politik mencakup pengaturan hubungan sesama manusia, khususnya yang menyangkut urusan publik yang dijalankan oleh negara dan dikontrol pelaksanaanya oleh umat. Politik pada hakikatnya adalah pengaturan urusan umat, baik di dalam maupun di luar negeri.

Menjadikan bulan Ramadhan sebagai Syahrul Quran, seharusnya ditunjukkan dengan memenuhi seruan al-Quran dalam kedua aspeknya itu. Menelantarkan salah satu dari keduanya sama-sama dianggap mengabaikan al-Quran.

Namun sayang, kini ayat-ayat yang bersifat politis itu belum mendapat perhatian sebagaimana ayat-ayat yang menyangkut aspek ruhiah. Oleh sebab itu, pantas kerahmatan Islam itu belum sepenuhnya terwujud.

Di antara ayat al Quran yang bersifat politis itu, misalnya: Pertama, ayat-ayat yang menyangkut kewajiban penerapan hukum Islam dalam aspek publik baik terhadap kaum Muslim ataupun non-Muslim, yang hakikatnya merupakan politik dalam negeri dalam Islam, seperti firman Allah SWT:

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

Demi Tuhanmu, mereka hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka atas putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya (QS An-Nisa [4]: 65).

Ayat ini menegaskan kewajiban menjadikan Rasulullah saw. sebagai hakim. Ketika Rasulullah saw sudah wafat, ayat ini bermakna kewajiban berhukum dengan syariah yang dibawa oleh beliau. Siapa pun yang menjadi penguasa wajib terikat dengan syariahnya. Siapa pun yang ingin memutuskan perkara dalam hal peresengketaan mereka wajib membawanya kepada hakim atau pengusa yang berhukum dengan hukum Islam.

Ayat sebelumnya juga menegaskan larangan berhukum kepada thâgût. Imam Ibnul Qayyim menjelaskan, makna thaghût meliputi al-ma’bûd (setiap yang diibadahi selain Allah SWT), al-matbû’ (setiap yang diikuti tanpa dasar pengetahuan) dan al-muthâ’ (setiap yang ditaati bukan dalam hal ketaatan kepada Allah SWT). Beliau pun menegaskan bahwa berhukum kepada selain syariah yang dibawa oleh Rasulullah saw. adalah termasuk berhukum pada hukum thâgût (Ibn al-Qayyim, I’lam al-Muwaqi’în, 1/50).

Apa yang dibawa oleh Rasulullah Saw dan dijadikan dasar dalam memutuskan perkara di tengah-tengah manusia tiada lain adalah wahyu. Dengan kata lain, keputusan Rasulullah saw. merupaka perkara agama. Inilah di antara aspek politik yang diajarkan al-Quran kepada kita. Allah SWT berfirman:

إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ وَلَا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا

Sesungguhnya Kami telah menurunkan Kitab kepada kamu dengan membawa kebenaran agar kamu mengadili manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepada kamu. Janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat (QS an-Nisa’ [4]:105).

Penerapan hukum Islam tersebut juga berlaku bukan hanya kepada umat Islam, melainkan juga kepada non-Muslim. Allah SWT berfirman:

فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ

Putuskanlah perkara mereka menurut wahyu yang telah Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepada kamu (QS al-Maidah [5]: 48).

Dalam ayat berikutnya Allah SWT berfirman:

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ

Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut wahyu yang telah Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka (QS al-Maidah [5]: 49).

Ayat ini merupakan perintah kepada Rasulullah saw. untuk memutuskan perkara di tengah-tengah Ahlul Kitab dengan hukum Allah SWT yang diturunkan kepada beliau (Lihat: Al-Baghawi, Ma’âlim at-Tanzîl fî Tafsîr al-Qur’ân, 2/57). Lebih dari itu, kata an-nâs pada QS an-Nisa’ ayat 12 di atas adalah kata umum, mencakup Muslim maupun non-Muslim.

Alhasil, secara politik umat Islam wajib melaksanakan seluruh hukum Islam di dalam negeri mereka, baik kepada Muslim maupun non-Muslim, kecuali dalam perkara-perkara yang dikecualikan syariah bagi non-Muslim seperti menyangkut ibadah dan keyakinan mereka. Inilah seruan al-Quran yang mencer-minkan politik dalam negeri dalam Daulah Islam.

Kedua, ayat-ayat yang menyangkut politik luar negeri, berupa dakwah dan jihad fi sabilillah, seperti firman Allah SWT:

وَأُوحِيَ إِلَيَّ هَذَا الْقُرْآنُ لِأُنْذِرَكُمْ بِهِ وَمَنْ بَلَغَ

Al-Quran ini diwahyukan kepadaku supaya aku memberikan peringatan kepada kalian dan kepada siapa saja yang al-Quran sampai kepadanya (QS al-An’am [6]: 9).

Ayat ini selain menunjukan keumuman obyek yang diseur oleh risalah Rasulullah saw., juga menunjukan perintah kepada siapa saja yang sampai kepada mereka risalah itu untuk menyampaikanya kepada yang lain. Allah SWT menjelaskan, al-Quran bukan hanya peringatan kepada ‘kalian’, tetapi juga kepada setiap orang yang sampai kepada mereka risalah ini. Dengan kata lain, ‘serulah selain kalian kepada al-Quran!’ (Muqaddimah ad-Dustûr, 1/45).

Islam telah menentukan metode bagaimana risalahnya disebarkan, yakni dengan dakwah dan jihad fisabillah. Oleh sebab itu kita mendapati ayat perintah dakwah dan jihad berulang-ulang disebutkan dalam al-Quran. Di antaranya, Allah SWT berfirman:

وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ هُوَ اجْتَبَاكُمْ وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ

Berjihadlah kalian di jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kalian dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kalian dalam agama suatu kesempitan (QS al-Hajj [ 22]:78).

Imam Ibnu Katsir menjelaskan, ayat ini adalah perintah kepada umat Islam sebagai umat pilihan yang telah dimuliakan Allah SWT dengan pengutusan mahluk paling mulia kepada mereka, yakni Rasulullah saw. yang membawa syariah yang paling sempurna, untuk melakukan jihad di jalan Allah SWT, baik dengan harta, lisan maupun jiwa. Ayat ini juga menje-laskan bahwa dalam setiap kesulitan pasti ada kemudahan dan jalan keluar, termasuk dalam beratnya pelaksaan jihad fi sabilillah (Lihat: Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’ân al-‘Azhîm, V/455).

Kewajiban melaksanakan aktivitas dakwah dan jihad juga meliputi setiap perkara yang dibutuhkan oleh keduanya, seperti penyiapan pasukan dan kekuatan persenjataan serta aktivitas dan manuver-manuver politik. Hasil yang bisa diraih dengan aktivitas militer akan menjadi tidak langgeng bila tidak disertai aktivitas politik. Aktivitas militer seharusnya dilakukan untuk meraih target-target politik dan hanya dijalankan sebagai solusi terakhir. Penggunaan senjata tidak boleh dipilih semata hanya untuk menjalankan aktivitas militer, seperti melakukan pembunuhan dan penghan-curkan, melainkan untuk meraih keme-nangan (al-intishâr). Oleh sebab itu Allah SWT memerintahkan kepada kaum Muslim untuk menyiapkan kekuatan yang menggentar-kan musuh mereka (Lihat: QS al-Anfal [8]: 60), selain melakukan perdamaian dalam situasi-situasi tertentu sebagai bagian dari aktiviatas politik (Lihat: QS al-Anfal [8]: 61).

Ayat-ayat tersebut sejatinya di antara tuntunan al-Quran tetang bagaimana kaum Muslim menjalankan politik luar negerinya.

Ketiga, ayat-ayat yang mengandung perintah untuk melakukan koreksi terhadap penguasa. Di antaranya ayat berikut:

وَلْتَكُنْ مِنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُونَ إِلَى الْخَيْرِ وَيَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyerukan kebajikan dan melakukan amar makruf nahi mungkar; merekalah kaum yang beruntung (QS Ali Imaran [ 3]:104).

Maksudnya, “Hendaklah ada firqah (kelompok) dari kalangan umat Islam yang mendedikasikan dirinya untuk tugas ini, yakni menyerukan kebajikan serta melakukan amar makruf nahi mungkar meski pada dasarnya kewajiban dakwah adalah kewajiban setiap individu Muslim (Lihat: Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, II/91).

Kata al-ma’rûf dan al-munkar dalam ayat ini bersifat umum, mencakup seluruh perkara makruf dan mungkar, termasuk di dalamnya yang berkaitan dengan penguasa dan kekuasaan yang dia jalankan. Bahkan dakwah yang ditujukan kepada penguasa melebihi keutamaan dari yang lainnya. Pasalnya, banyak perkara makruf dan mungkar yang bergantung pada baik dan buruknya penguasa. Tak heran bila Rasulullah Saw menempatkan aktivitas mengoreksi penguasa sebagai jihad yang paling utama:

أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَة عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ

Jihad yang paling utama adalah perkataan yang haq kepada pemimpin yang zalim (HR Abu Dawud dan at-Tirmidzi).

Alhasil, dakwah yang ditujukan kepada pe-nguasa merupakan aktivitas politik yang agung.

Keempat, ayat-ayat yang berkaitan dengan sistem ekonomi seperti distribusi kekayaan, jaminan pemenuhan kebutuhan pokok, larangan riba, perjudian, menimbun emas dan perak termasuk mata uang lainnya, dll (Lihat: QS al-Hasyr [59]:7; QS al-Baqarah [2]: 278; QS al-Maidah [5]:90; QS at-Taubah [9]:34; dll). Semua ayat ini juga termasuk aspek politik, karena menyangkut pengaturan urusan rakyat.

Mengharuskan Khilafah

Sekali lagi, patut ditegaskan bahwa aspek-aspek politik yang terhimpun dalam seruan al-Quran tersebut merupakan perkara yang wajib dilaksanakan sebagaimana aspek ruhiah. Oleh karena itu, menggemakan bulan Ramadhan sebagai syahrul-Qur’an seharusnya tidak terbatas pada aspek yang sifatnya ruhiah belaka, namun juga aspek politiknya, baik dengan cara membaca, mengkaji maupun mengamalkan seruan-seruannya. Hanya saja, pengamalan seruan-seruan al-Quran dalam aspek politik tersebut meniscayakan adanya negara. Itulah Negara Khilafah sebagai satu-satunya institusi syar’i dalam penerapan Islam. Tanpa Khilafah terbukti banyak hukum Islam menjadi terlantar dan tidak bisa diterapkan. WalLâhu a’lam. [Abu Muhtadi, L.C.]

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*