HTI

Fokus (Al Waie)

Sekularisasi Ramadhan


Marhaban ya Ramadhan. Alhamdu-lillah, kita telah kembali memasuki bulan yang begitu dinanti-nantikan kedatangan oleh miliaran umat Islam di seluruh penjuru dunia. Pada bulan ini umat Islam akan disibukkan dengan beragam aktivitas ibadah untuk mengisi hari-hari sepanjang bulan Ramadhan; baik ibadah wajib maupun amalan sunnah seperti membaca al-Quran, shalat tarawih berjamaah di masjid, dilanjutkan dengan qiyamul lail di sepertiga malam, shalat rawatib, memberikan menu sahur ataupun berbuka puasa, hadir di majelis-majelis ilmu dan aktivitas ibadah ritual-spiritual lainnya. Inilah sekilas gambaran bulan Ramadhan yang kita lihat dan rasakan.

 

Sekularisasi Ramadhan

Spiritualitas sebagian umat Islam pada bulan Ramadhan memang meningkat. Mereka sibuk memperbanyak ibadah ritual pada bulan Ramadhan ini. Namun sayang, sebagian dari mereka tidak terlihat sibuk dalam masalah keumatan. Keshalihannya hanya terlihat dalam aspek pribadi dan ibadahnya saja. Adapun dalam masalah social-kemasyarakatan, yakni kepedulian terhadap nasib urusan umat/rakyat secara keseluruhan, tidak terlihat.

Pada bulan Ramadhan, kita juga masih bisa menyaksikan bagaimana individu-individu Muslim yang secara pribadi terlihat shalih masih melakukan hal-hal yang itu sesungguhnya bertentangan dengan syariah Islam. Bagaimana mudahnya kita melihat para wanita Muslimah yang menuju ke Masjid untuk melaksanakan ibadah shalat, khususnya shalat tarawih berjamaah, tidak menutup aurat. Auratnya hanya di tutup saat melaksanakan ibadah shalat. Sehabis shalat, aurat kembali terlihat.

Kita juga dengan mudahnya bisa melihat bagaimana sebagian umat Islam masih mempraktikkan muamalah ribawi. Padahal banyak sekali dalil yang menunjukan betapa besarnya dosa riba. Rasulullah saw., misalnya, bersabda, “Riba itu memiliki 73 pintu. Yang paling ringan dosanya adalah seperti seseorang yang menzinai ibunya sendiri (HR al-Hakim dalam Al-Mustadrak dan al-Baihaqi dalam Su’ab al-Imân).

Bulan Ramadhan juga identik dengan istilah ngabuburit atau buka puasa bersama. Sayang, itu dilakukan juga dengan yang bukan mahram, bahkan bersama pacar. AstaghfirulLâh! Terjadilah ikhtilath, sedangkan ikhtilath jelas-jelas diharamkan di dalam Islam.

Lebih dari itu, terkait dengan kondisi perpolitikan, masih banyak umat Islam yang abai terhadap berbagai kebijakan Pemerintah yang zalim. Mereka juga tidak peduli dengan hukum-hukum yang bertentangan dengan syariah Islam yang diterapkan oleh negara, yakni yang berasal dari ideologi Kapitalisme-sekular. Padahal individu Muslim tersebut sedang beribadah kepada Allah, yakni menjalankan ibadah puasa Ramadhan.

Ibadah sendiri diartikan sebagai aktivitas menjadikan ketaatan dan ketundukan hanya kepada Allah SWT serta berhukum hanya dengan syariah-Nya. Allahlah Yang menciptakan makhluk-Nya. Tidak ada sekutu bagi Allah SWT dalam penciptaan ini. Karena itu, Dia harus dijadikan sebagai satu-satunya yang berhak memerintah. Allah SWT berfirman:

أَلا لَهُ الْخَلْقُ وَالأمْرُ

Ingatlah menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah (QS al-A’raf [7]: 54).

 

Allah SWT juga berfirman:

إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ

Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah (QS Al-An’am [6]: 57).

 

Artinya, seharusnya umat Islam paham dan sadar bahwa Allahlah satu-satunya yang berhak menghalalkan, mengharamkan dan membuat peraturan. Siapapun yang mengklaim berhak ditaati secara mutlak dan berhak membuat peraturan secara mutlak, sungguh ia telah menjadi sekutu bagi Allah SWT dan menempatkan dirinya sebagai tuhan yang lain selain Allah. Setiap orang yang memberikan hak tersebut kepada manusia dan mengakui, bahwa manusia berhak untuk melakukan itu, maka ia benar-benar telah menyembah mereka. Allah SWT berfirman:

اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ

Mereka menjadikan para pendeta dan para rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah (QS at-Taubah [9]: 31).

 

Adi bin Hatim—sebelumnya seorang Nasrani—berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami tidak menyembah mereka.” Rasulullah saw. bersabda, “Bukankah mereka itu mengharamkan apa yang telah Allah halalkan dan kalian pun mengharamkannya? Mereka menghalalkan apa yang telah Allah haramkan dan kalian pun menghalalkannya?”Adi berkata, “Tentu seperti itu.” Rasulullah saw. bersabda, “Itulah bentuk penyembahan kepada mereka.” (HR Ahmad dan Tirmidzi).

Umat Islam juga masih ada yang tidak mempermasalahkan ihwal memilih seorang pemimpin. Bahkan ada tokoh yang menyatakan bahwa memilih pemimpin non-Muslim yang jujur itu lebih baik daripada memilih pemimpin Muslim namun zalim. Na’ûdzubilLâhi min dzâlik.

Padahal di dalam Islam jelas haram memilih pemimpin dari kalangan orang-orang kafir, baik kafir ahlul kitab maupun dari kalangan kafir musyrik.

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengambil sebagai pemimpin jkalian orang-orang yang membuat agama kalian menjadi bahan ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelum kalian dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Bertakwalah kalian kepada Allah jika kalian betul-betul kaum Mukmin (QS al-Maidah [5]: 57).

 

Sebagian umat Islam juga masih banyak yang tidak peduli terhadap nasib umat Islam lainnya yang berada di belahan dunia lain. Rasa peduli yang muncul pada bulan puasa masih sebatas di negaranya saja, khususnya terkait nasib fakir-miskin. Adapun terhadap nasib umat Islam di belahan dunia lain, rasa kepedulian itu masih kurang. Yang ada hanyalah rasa kasihan, bukan kepedulian yang menggerakan dirinya untuk turut serta berjuang demi membebaskan umat Islam dari segala macam bentuk penindasan. Masih banyak umat yang tidak peduli terhadap nasib saudara-saudara mereka di Palestina, Myanmar, Chechnya, Irak, Suriah, dan negeri-negeri Muslim lainnya.

Mengapa hal ini bisa terjadi? Dalam pikiran mayoritas umat Islam, bulan Ramadhan seolah bulan yang khusus untuk beribadah saja kepada Allah SWT. Bulan Ramadhan telah dianggap sebagai waktu yang khusus untuk urusan ritual, spiritual dan keakhiratan. Oleh karena itu, semua kegiatan pada bulan Ramadhan juga akan bernuansa spiritual, ritual dan religius. Pada bulan suci ini, aktivitas yang dianggap duniawi harus ditinggalkan atau minimal dikurangi. Tampaknya latar belakang pemikiran inilah yang mendorong sebagian umat Islam untuk menjauhkan aktivitas politik pada bulan Ramadhan. Tidak lain karena politik dianggap sebagai aktivitas duniawi dan cenderung kotor; kalau disatukan atau dimasukkan ke dalam aktivitas Ramadhan dianggap akan mengotori kesucian bulan Ramadhan.

Cara pandang seperti itu merupakan cara pandang sekular. Sekularisme adalah paham yang memisahkan urusan dunia dengan urusan akhirat. Urusan dunia terserah manusia, sementara urusan akhirat diserahkan pada agama. Agama tidak boleh dibawa-bawa dalam urusan dunia. Sebaliknya, urusan dunia tidak boleh dikaitkan dengan urusan akhirat atau agama. Dalam konteks waktu, dengan cara pandang sekular, seakan-akan ada waktu-waktu yang khusus untuk akhirat; yang harian adalah waktu-waktu shalat lima waktu, yang mingguan adalah hari Jumat, dan yang tahunan adalah Ramadhan.

 

Menolak Sekularisme

Paham sekularisme atau cara pandang sekular ini sudah merasuk jauh ke dalam diri kaum Muslim. Saat melaksanakan shalat, seorang wanita Muslimah akan dengan ringan menutup auratnya. Namun, di luar shalat, ia merasa berat melakukannya. Ketika di masjid seseorang merasa begitu dekat dengan Allah dan merasa ada dalam pengawasan-Nya. Namun, di luar masjid—ketika menangani proyek, berjual beli, berbisnis, dan berpolitik, mengurus pemerintahan, dll—seakan Allah begitu jauh dan tidak mengawasi dia. Ketika beribadah ritual (shalat, misalnya) seorang Muslim begitu memperhatikan hukum-hukum syariah seputar shalat; memperhatikan syarat dan rukunnya, juga sah dan batalnya. Namun, di luar itu—ketika memerintah, berpolitik, berdagang, memutuskan perkara dan sebagainya—hukum-hukum syariah bukan saja diabaikan, bahkan dicampakkan.

Padahal bulan Ramadhan bagi umat Islam adalah momentum untuk melakukan instropeksi diri agar Ramadhan jangan sampai menjadi siklus tahunan tanpa makna. Bulan Ramadhan juga harus dijadikan momentum untuk membangkitkan taraf berpikir umat, khususnya taraf berpikir terkait aktivitas politik. Politik di dalam Islam adalah perkara yang ada dan wajib untuk turut serta dalam aktivitas politik. Aktivitas politik adalah segala aktivitas yang terkait dengan pengaturan urusan masyarakat (ri’âyah syu’ûn al-ummah), baik yang terkait dengan kekuasaan (as-sulthân) sebagai subyek (al-hâkim) yang melakukan pengaturan urusan masyarakat secara langsung, maupun yang terkait dengan umat sebagai obyek (al-mahkûm) yang melakukan pengawasan (muhâsabah) terhadap aktivitas kekuasaan dalam mengatur urusan masyarakat.

 

Pentingnya Dakwah Politik

Bentuk dakwah politik bisa bermacam-macam. Misalnya melakukan perjuangan politik (al-kifâh as-siyâsî), seperti mengkritik penguasa yang menjadi pelayan kepentingan Barat, mengkritik kebijakan penguasa yang menjalankan agenda neoliberalisme, dan sebagainya.

Dakwah politik penting untuk dilaksanakan oleh umat Islam. Mengapa? Pertama: karena dakwah politik inilah yang dulu dicontohkan oleh Rasulullah saw. selama 13 tahun di Makkah. Rasulullah saw. waktu itu melakukan perjuangan politik (al-kifâh as-siyâsî) dengan mengecam para pemimpin Quraisy, membongkar kejahatan dan rencana mereka yang bertujuan untuk menghancurkan dakwah Islam yang dilaksanakan Rasulullah saw., dan sebagainya. Rasulullah saw. juga melakukan perang pemikiran (as-shirâ’ al-fikrî) dengan menyerang ide-ide kufur, misalnya ide menyekutukan Allah (syirik), mencela penyembahan berhala, mencela kecurangan dalam menimbang dan menakar, mencela perbuatan membunuh anak-anak karena takut miskin, dan sebagainya.

Dengan demikian, melaksanakan dakwah politik sesungguhnya adalah aktivitas meneladani Rasulullah saw. sebagai uswatun hasanah yang diwajibkan Islam atas kaum Muslim (QS al-Ahzab [33]: 21).

Kedua: karena dakwah politik inilah yang relevan dengan masalah utama (qâdhiyah mashîriyah) umat Islam sekarang. Masalah utama umat adalah mengembalikan hukum yang diturunkan oleh Allah SWT dengan jalan menegakkan kembali negara Khilafah, dengan cara mengangkat seorang khalifah bagi kaum Muslim. Masalah utama umat ini dengan sendirinya menuntut aktivitas yang relevan pula, yaitu aktivitas politik (‘amal siyâsî). Sebab, aktivitas menegakkan kembali Khilafah ini tiada lain adalah aktivitas politik, karena Khilafah adalah sebuah institusi politik. Mengangkat seorang khalifah (nashb al-khalîfah) juga merupakan aktivitas politik, karena khalifah adalah pimpinan tertinggi institusi politik Islam tersebut.

Semoga pada bulan Ramadhan ini, saat aspek ruhiyah seorang Muslim menjadi lebih baik, diharapkan juga mampu meningkatkan kesadarannya terkait dengan aktivitas politik, aktivitas untuk menegakan kembali institusi politik yang bernama Khilafah Islamiyah. Amin. WalLâhu ‘alam. [Adi Victoria; (Humas HTI Kaltim)]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*