Syarat (asy-syarthu) secara bahasa merupakan bentuk mashdar dari syaratha–yasyruthu–syarth[an]. Bentuk jamaknya syurûth. Kata tersebut secara bahasa bermakna ilzâm asy-syay’i wa iltizâmahu (mengharuskan sesuatu dan komitmen/terikat dengan sesuatu tersebut).
Adapun syarath, bentuk jamaknya asyrâth. Maknanya adalah tanda, sebagaimana dinyatakan di dalam QS Muhammad [47]: 18.
Dalam istilah para ulama ushul, Imam asy-Syaukani di dalam Irsyâd al-Fuhûl menjelaskan, syarat adalah apa yang ketiadaannya mengharuskan ketidaan hukum atau ketiadaan sebab.
Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan, syarat adalah sesuatu yang berupa sifat penyempurna al-masyrûth (apa yang dipersyaratkan) dalam apa yang dituntut oleh al-masyrûth itu, atau dalam apa yang dituntut oleh hukum tentang al-masyrûth itu.
Sifat penyempurna al-masyrûth dalam hal yang dituntut oleh hukum tentang al-masyrûth itu kembali pada hukum taklîfi. Yang memerlukan sifat yang menyempurnakan dalam kondisi ini bukan al-masyrûth, tetapi hukum tentang al-masyrûth itu. Misalnya, shalat adalah al-masyrûth. Syarat shalat, yakni situasi yang menyempurnakan shalat, bukan untuk shalat itu sendiri, yakni tatacaranya; tetapi sifat penyempurna itu adalah untuk hukum tentang al-masyrûth, yakni kewajiban penunaian shalat. Jadi kewajiban penunaian shalat mengharuskan syarat, yaitu wudhu. Syarat di sini menyempurnakan apa yang dituntut oleh hukum tentang al-masyrûth. Al-Masyrûth di sini, yakni shalat, merupakan khithâb taklîfi. Maka dari itu, syarat dalam kondisi ini kembali pada khithâb at-taklîf.
Contoh lain syarat seperti ini adalah syarat menutup aurat dalam shalat, niat pada malam hari untuk puasa Ramadhan, dsb.
Adapun syarat yang dituntut oleh al-masyrûth itu sendiri kembali pada khithâb al-wadh’i. Yang memerlukan sifat penyempurna dalam kondisi ini adalah al-masyrûth itu sendiri. Misalnya, nishâb zakat adalah al-masyrûth. Al-Masyrûth ini memerlukan sifat penyempurna, yaitu haul. Syarat di sini bukan kembali pada hukum, yakni penunaian zakat. Jadi, di sini tidak dikatakan haul itu adalah syarat dalam kewajiban penunaian zakat. Namun, haul itu adalah syarat pada nishâb sehingga di dalamnya wajib zakat. Jadi, syarat itu adalah syarat pada nishâb, yakni syarat pada al-masyrûth itu sendiri. Al-Masyrûth itu adalah khithâb al-wadh’i sehingga syarat tersebut kembali pada khithâb al-wadh’i.
Faktnya, ketiadaan kedua macam syarat itu mengharuskan ketiadaan al-masyrûth, tetapi keberadaannya tidak mengharuskan keberadaan al-masyrûth. Shalat tidak ada tanpa adanya wudhu. Akan tetapi, adanya wudhu tidak berarti telah ada shalat. Zakat pada nishâb tidak ada tanpa haul. Namun, haul kadang terjadi pada nishâb, sementara zakatnya tidak ada karena nishâb itu berubah atau adanya utang atau yang lain. Jadi, adanya syarat tidak berkonsekuensi pada adanya yang lain. Namun, ketiadaan syarat berakibat pada ketiadaan yang lain.
Dari sinilah, sebagian ulama ushul mendefinisikan syarat adalah apa yang ketiadaannya mengharuskan ketiadaan al-masyrûth, sementara keberadaannya tidak mengharuskan ada dan tidak adanya al-masyrûth. Ketiadaannya mengharuskan ketiadaan al-masyrûth membedakan syarat dari al-mâni’, karena ketiadaan al-mâni’ tidak mempengaruhi hukum.
Adapun keberadaan syarat yang tidak berpengaruh pada ada dan tidak adanya al-masyrûth membedakan syarat dari sebab. Pasalnya, adanya sebab menentukan adanya musabab.
Sifat syarat dan rukun sama, yaitu ketiadaannya mengharuskan ketiadaan yang lain. Hanya saja, syarat berbeda dengan rukun. Rukun adalah bagian integral sesuatu, bukan terpisah darinya, dan sesuatu itu tidak akan sempurna tanpa rukun. Misalnya rukuk di dalam shalat merupakan bagian integral dari shalat dan tidak terpisah dari shalat. Oleh karena itu rukuk disebut rukun, dan bukan syarat.
Rukun itu berbeda dengan syarat. Syarat adalah sifat penyempurna untuk al-masyrûth dan ia terpisah dari dan bukan bagian dari al-masyrûth. Wudhu adalah syarat sah shalat dan bukan bagian dari shalat. Ihshân adalah syarat rajam dalam zina. ihshân bukan bagian dari zina itu, tetapi merupakan sifat penyempurna pelaku zina sehingga wajib rajam. Ijab qabul dalam akad nikah adalah rukun karena ijab dan qabul adalah bagian integral dari akad itu sendiri. Adapun adanya dua orang saksi merupakan syarat, yang terpisah dari akad, tetapi menyempurnakan akad itu.
Syarat, agar menjadi syarat yang syar’i, baik syarat dalam hukum taklîfi atau hukum wadh’i, harus didasarkan pada dalil yang menunjukkannya secara spesifik. Misalnya wudhu sebagai syarat dalam hukum taklîfi (shalat) dinyatakan secara spesifik dalam QS al-Maidah [5]: 6.
Contoh syarat dalam hukum wadh’i adalah syarat al-hirzu (terjaga/terlindungi) dalam sebab potong tangan pencuri karena Rasul saw menyatakan hal itu. Amru bin Syuaib, dari bapaknya, dari Abdullah bin Amru bin al-‘Ash, bertutur bahwa Rasul saw. pernah ditanya tentang pencurian ternak dan buah, beliau bersabda, “…tidak ada potong tangan dalam ternak kecuali pada ternak yang diteduhi kandang dan harganya mencapai nishab pencurian, di dalamnya ada potong tangan, dan yang tidak sampai harga nishab itu maka di dalamnya ada denda yang sepadan dan sanksi cambuk…tidak ada dalam buah kecuali yang telah dikumpulkan dan terjaga maka apa yang diambil dari tempat pengumpulan/penyimpanan dan harganya mencapai nishab pencurian maka di dalamnya ada potong tangan dan yang harganya tidak mencapai nishab maka di dalamnya ada denda yang sepadan dan sanksi cambuk.” (HR al-Baihaqi).
Syarat-syarat keabsahan akad juga harus dinyatakan oleh nas. Syarat penyerahan agunan dalam akad rahn dinyatakan di dalam QS al-Baqarah [2]: 283. Syarat adanya dua orang saksi dalam akad nikah karena Allah SWT telah mensyaratkan dua orang saksi yang adil dalam hal rujuk (QS ath-Thalaq [65]: 2). Dengan mafhûm “min bâb al-awlâ”, dua orang saksi adil lebih disyaratkan lagi untuk pembentukan ikatan pernikahan, yakni akad nikah.
Hanya saja, dalam hal akad, syariah memberikan legalitas kepada dua pihak yang berakad untuk mensyaratkan syarat-syarat yang mereka kehendaki. Syariah hanya memberikan batasan, bahwa syarat yang menyalahi ketentuan dan hukum syariah batal demi hukum.
Aisyah menuturkan bahwa ia pernah akan membeli Barirah dari tuannya untuk dimerdekakan. Namun, tuannya Barirah mensyaratkan wala’ Barirah tetap untuk mereka. Rasul saw. mendengar hal itu dan diberitahu oleh Aisyah. Lalu beliau bersabda kepada Aisyah, “Belilah dan terima syarat mereka (isytarithî lahum al-walâ’), wala’ itu tidak lain untuk orang yang memerdekakan.”
Setelah Aisyah melakukan itu, Rasul saw. berkhutbah di tengah masyarakat. Beliau memuji Allah SWT dan bersabda:
مَا بَالُ رِجَالٍ يَشْتَرِطُوْنَ شُرُوْطًا لَيْسَتْ فِي كِتَابِ اللَّهِ مَا كَانَ مِنْ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ قَضَاءُ اللَّهِ أَحَقُّ وَشَرْطُ اللَّهِ أَوْثَقُ
Tiada gunanya orang mensyaratkan syarat-syarat yang tidak ada di dalam Kitabullah. Syarat apapun yang tidak ada di dalam Kitabullah adalah batil meski seratus syarat. Ketetapan Allah lebih layak (diikuti) dan syarat Allah lebih kuat (dipegangi). (HR al-Bukhari, Malik dan Ibn Majah).
Syarat dari tuannya Barirah itu menyalahi hukum syariah karena secara syar’i wala’ itu untuk orang yang memerdekakan. Meski demikian, Rasul saw. tetap menyuruh Aisyah menerima syarat itu. Lalu setelah itu Rasul saw. menjelaskan bahwa syarat tersebut menyalahi syariah dan batal demi hukum.
Jadi, makna laysa fî KitâbilLâh adalah tidak ada hukumnya dalam Kitab Allah, yakni menyalahi syariah. Hadis ini menjelaskan kebolehan mensyaratkan syarat apa saja di dalam akad. Hanya saja, syarat yang menyalahi ketentuan syariah adalah batal.
Semua syarat itu boleh disyaratkan kecuali syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. Hal itu berdasarkan sabda Rasul saw.:
الْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ اِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً اَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
Kaum Muslim terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram (HR at-Tirmidzi).
Jadi, syarat-syarat hukum taklîfi dan hukum wadh’i tidak sah dan tidak dinilai sebagai syarat kecuali jika datang dalil yang menjelaskannya sebagai syarat. Hanya saja, dalam akad yang juga bagian dari hukum al-wadh’I, karena akad-akad itu merupakan sebab, syarat apa saja boleh disyaratkan kecuali syarat yang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram. Syarat apa saja yang menyalahi syariah adalah batal demi hukum.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yahya Abdurrahman]