Pengantar Redaksi:
Setiap Ramadhan, yang menonjol dari umat ini adalah meningkatnya ritualitas ibadah—tentu di luar shaum—seperti: shalat tarawih, qiyâmul-layl, tilawah al-Quran, zikir, ataupun ritual ibadah lainnya. Semuanya terkesan sangat personal. Memang, kegiatan seputar dakwah juga meningkat. Namun, sering itu pun lebih ditujukan pada perbaikan individual. Padahal pada masa lalu, pada Ramadhanlah di antaranya terjadi peristiwa bersejarah yang ditorehkan umat Islam, yang berimbas besar secara politik. Perang Badar, Fathu Makkah, dll terjadi pada bulan Ramadhan. Demikian pula sejumlah peristiwa besar lainnya yang fenomenal. Pertanyaannya: Mengapa saat ini umat Islam malah dalam keadaan terus terpuruk dalam berbagai aspek kehidupan, padahal berpuluh-puluh kali mereka menjalani Ramadhan? Mengapa Ramadhan saat ini seperti tidak berefek secara sosial, apalagi politik? Mengapa Ramadhan saat ini tidak mendorong umat Islam segera meujudkan ketakwaan secara hakiki dengan cara menerapkan syariah-Nya secara kâffah dalam seluruh aspek kehidupan mereka? Bukankah takwa adalah hikmah yang dikehendaki dari puasa?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, kali ini Redaksi mewawancarai Ketua DPP HTI, Ustadz Yasin Muthahhar.
Menurut Ustadz, seperti apa seharusnya Ramadhan dimaknai?
Pada bulan ini Allah mewajibkan untuk berpuasa (QS al-Baqarah ayat 183). Dalam ayat ini Allah tidak hanya mewajibkan berpuasa kepada kaum beriman. Allah juga menjelaskan hikmah kewajiban berpuasa, yakni untuk mwujudkan ketakwaan. Karena itu tidak salah jika ada orang memaknai Ramadhan sebagai momentum peningkatan ruhiyah dan ibadah mahdhah. Itu adalah suatu kebaikan. Dengan begitu diharapkan akan muncul pribadi-pribadi yang bertakwa selepas Ramadhan.
Ketakwaan individu ini adalah salah satu pilar penting membangun kehidupan yang diridhai Allah SWT dengan menjalankan syariah Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Bukankah yang pertama dibangun oleh Rasulullah saw. adalah membangun ketakwaan individu?
Namun, perlu diingat bahwa Rasulullah saw. tidak berhenti pada ketakwaan individu. Beliau juga membangun ketakwaan yang bersifat komunal, yakni ketakwaan dalam seluruh sendi kehidupan. Ketakwaan ini harus ada di manapun kita berada dan ketika kita mengerjakan amal apapun dalam kehidupan ini.
Rasulullah pernah berwasiat kepada Abu Dzar al-Ghifari ketika ia berpamitan untuk pulang ke negerinya, “IttaqilLah haytsuma kunta.” Artinya, “Bertakwalah engkau kepada Allah di mana saja engkau berada.”
Karena itu sebenarnya Ramadhan bukan hanya mengajarkan aspek spiritual yang bersifat individual. Ramadhan juga mengajarkan bahwa aspek spiritual itu harus diwujudkan dalam kehidupan komunal umat Islam. Aspek spiritual dalam kehidupan sosial dan poliik ini bukan berarti kita harus membawa-bawa tasbih (untuk berzikir) ke mana pun kita pergi, di manapun kita berada. Maksudnya, kita harus selalu menyadari hubungan kita dengan Allah (idrak shilah bilLâh) saat menjalankan aktivitas apapun dalam hidup ini. Inilah salah satu nilai ketakwaan yang diajarkan di bulan Ramadhan. Orang yang berpuasa selalu merasakan pengawasan Allah SWT, di manapun dan kapan pun dia berada.
Jika kita sudah memiliki kesadaran seperti itu, kita akan menjalankan semua aktivitas kita sesuai dengan perintah dan larangan Allah SWT. Yang diperintahkan kita jalankan. Yang dilarang kita tinggalkan.
Apakah Ramadhan mengandung pelajaran secara sosial dan politik?
Jelas itu. Sebagaimana tadi saya jelaskan, ada hikmah yang dituju dari pensyariatan puasa Ramadhan, yakni mewujudkan ketakwaan diri individu dan ketakwaan komunal dalam diri umat.
Al-‘Alim Syaikh Atha’ Abu Rasytah, Amir Hizbut Tahrir saat ini, menuturkan masalah ini dalam kitabnya, Taysîr fi at-Tafsîr saat menjelaskan QS al-Baqarah ayat 183. Di poin ketiga, beliau menjelaskan bahwa Allah telah menjadikan takwa sebagai hikmah berpuasa. Kata beliau, takwa adalah takut kepada Allah, taat kepada-Nya serta menyiapkan diri untuk bertemu dengan-Nya. Sebagaimana didefinisikan oleh sebagian Sahabat Nabi saw., takwa adalah: al-khawf min al-Jalîl wa al-‘amal bi at-tanzîl wa al-isti’dâd li yaw mar-rahîl (takut oleh Allah Yang Mahaagung, mengamalkan al-Quran dan menyiapkan diri untuk menghadapi Hari Kebangkitan.”
Dari definisi takwa di atas jelas bahwa ketakwaan akan terwujud dengan mengamalkan al-Quran. Mengamalkan al-Quran maknanya adalah menjadikan al-Quran dustûr al-hayah. Semua aktivitas dalam kehidupan ini, ibadah, ekonomi, politik dan kenegaraan selalu bermuara pada al-Quran.
Apakah Ramadhan juga mengajarkan kepada umat tentang persatuan?
Iya, benar sekali. Puasa adalah salah satu simbol persatuan umat. Kita diajarkan untuk memulai dan mengakhiri puasa di tanggal yang sama. Jumhur ulama berpendapat bahwa kaum Muslim wajib memulai dan mengakhiri shaum secara serentak, yakni dalam satu tanggal yang sama meski bisa jadi jamnya berbeda.
Ramadhan juga mengajarkan kita untuk bersatu dalam satu syariah, yakni yang berasal dari Rabbul’ alamîn. Pada bulan ini semua umat Islam berpuasa pada siang hari dengan tatacara yang sama. Pada malam harinya semua menjalankan “Qiyam Ramadhan” dengan cara yang sama. Karena itu seharusnya kaum Muslim tergerak hatinya untuk mewujudkan persatuan dalam kehidupan nyata, bukan hanya bersatu ketika berpuasa saja, tetapi bersatu sebaai ummah wâhidah, dengan syariah wâhidah dan dalam dawlah wâhidah.
Dulu, dalam bulan Ramadhan, Rasul saw. dan para Sahabat, juga generasi sesudahnya, banyak merealisasi sejarah besar. Apa rahasianya?
Ya, karena bagi orang yang beriman, puasa itu bukan melemahkan, tetapi justru akan menguatkan. Mengapa demikian? Karena puasa sebenarnya adalah cara untuk menghimpun kekuatan tanpa tanding dalam kehidupan kaum Mukmin. Itulah quwwah rûhiyyah. Kekuatan spiritual. Kekuatan ini lahir dari keimanan yang mendalam. Kekuatan ini lahir karena memiliki koneksi yang kuat dengan Allah SWT. Jadi puasa itu ibarat charger. Ibarat batere, jika aspek ruhiah kita melemah, segeralah diisi; segeralah dikuatkan kembali. Salah satunya dengan puasa, juga dengan shalat, tilawah, zikir dan doa. Karena itu tidak aneh jika generasi terdahulu kita menjadikan Ramadhan ini sebagai bulan untuk mencapai perkara-kara besar dalam kehidupan. Banyak peristiwa besar yang membutuhkan pengorban ekstra baik fisik maupun materil terjadi justru pada bulan Ramadhan, saat kaum Muslim lapar dan dahaga.
Kita juga menjadi mengerti mengapa puasa diwajibkan semasa dengan permulaan jihad dalam sejarah kaum Muslim. Puasa Ramadhan pertama dan Perang Badar al-Kubra sama-sama terjadi pada tahun kedua hiriyah.
Karena itu sudah saatnya kita menjadikan Ramadhan ini sebagai momentum untuk menghimpun kekuatan ruhiah di tengah-tengah umat, khususnya para pengemban dakwah dalam memperjuangan tegaknya syariah Allah SWT di muka bumi ini. Ini karena hal-hal yang bersifat spiritual di dalam Islam tidaklah berdiri sendiri, tidak terpisah dari urusan sosial dan dan politik. Seharusnya shalat, puasa, tilawah al-Quran, zikir dan doa menjadi penopang urusan sosial dan politik; penopang perjuangan.
Suatu ketika ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah saw. dan bertanya, “Ya Rasulu llah, sungguh banyak syariah Islam telah aku amalkan. Beritahukanlah kepadaku suatu perkara yang akan menjadi peganganku dalam menjalankan syariah ini?” Rasulullah saw. menjawab, “Layazâlu lisânuka rathb[an] min dzikrilLâh.” Artinya, “Lisanmu harus selalu basah dengan zikir kepada Allah.” SubhânalLâh!
Begitulah Rasulullah saw. mengajari kita untuk menjadikan urusan spiritual sebagai penguat dalam menjalankan perintah-perintah Allah yang lain.
Bagaimana puasa ramadhan bisa menguatkan kepedulian kaum Muslim ter-hadap kondisi umat?
Ramadhan dengan ibadah puasanya mengajarkan kita akan kepedulian. Suatu ketika Nabi Yusuf as. pernah ditanya, “Mengapa engkau berlapar-lapar, padahal engkau adalah penanggung jawab gudang makanan di negeri ini? Nabi Yusuf as. Menjawab, “Aku khawatir jika aku kenyang akan melupakan orang yang lapar.” Kisah ini disebutkan oleh Ali ash-Shabuni dalam Rawa’i’ al-Bayân.
Individu yang berpuasa akan peduli kepada orang lain; peduli terhadap problematika yang menimpat umat di sekitarnya, bahkan di seluruh dunia. Penguasa yang berpuasa seharusnya peduli terhadap rakyatnya. Dia tidak akan membiarkan rakyatnya menderita, tidak akan membuat kebijakan yang menyengsarakan rakyat. Dia akan menjaga rakyatnya dari kebinasaan. Umat yang berpuasa akan peduli terhadap problematika yang menimpa saudaranya sehingga dia tidak akan tinggal diam terhadap kezaliman dan ketidakadilan yang menimpa saudaranya. Umat yang peduli tidak akan membiarkan penguasa di sekitarnya bertindak sewenang-wenang yang akan menyengsarakan rakyat.
Terkait dengan problematika yang menimpa umat Islam saat ini, yang tengah dijajah dan ditindas oleh musuh-musuhnya, seharusnya kaum Muslimin yang berpuasa pada bulan agung ini bersegera mewujudkan kekuatan untuk membebaskan umat ini dari cengkeraman musuh yang kian mendalam. Kekuatan itu adalah kekuatan negara Khilafah yang telah terbukti dulu bisa menyatukan umat Islam di seluruh dunia dan mengantarkan umat ini pada posisi mulia dan berwibawa di hadapan umat yang lain.
Imam Izz bin Abdis Salam pernah berkata, “Andai Khilafah itu tiada, jalan-jalan tidak akan aman bagi kita; orang yang paling lemah di antara kita akan menjadi mangsa (rampasan) yang paling kuat dari kita.”,
Begitu juga Hanzhalah al-Katib,salah seorang sekretaris Nabi saw., “Jika Khilafah itu lenyap, akan hilanglah kebaikan dari mereka karena setelah itu mereka akan terhina dan dihinakan., “
Tanpa Khilafah yang menjadi kekuatan bagi umat ini, kita tidak bisa berbuat banyak. Kepedulian pun hanya bisa diwujudkan dengan sekadar berdoa. Padahal kepedulian terhadap umat berarti kita peduli untuk menyelesaikan problematika yang tengah menimpa umat. Untuk itu mutlak kita harus mengetengahkan solusi kepada umat. Solusi satu-satunya hanya dengan penerapan syariah Islam karena syariah Islam datang untuk mewudkan rahmat (maslahat). Syariah bagaikan obat penawar dari penyakit. Siapa saja yang taat menjalankan syariah akan mendapatkan kebaikan. Dia akan beruntung. Siapa saja meninggalkan syariah pasti merugi. Dalam QS al-Isra’ ayat 82 Allah SWT berfirman: Wa Nunazzilu min al-Qur’ân mâ huwa syifâ’ wa rahmah li al-mu’minîn wa lâ yazîdu azh-zhâlimîna illâ khasârâ. Artinya, “Kami menurunkan al-Quran itu sebagai obat dan rahmat bagi kaum Mukmin. Al-Quran tidak akan menambah apa pun bagi kaum yang zalim kecuali kerugian.”
Inilah yang saya maksud dengan aspek sosial dan politik dari ibadah puasa pada bulan Ramadhan yang agung ini. Puasa mewujudkan kepedulian. Kita bersungguh-sungguh berjuang untuk menerapkan syariah sebagai wujud kepedulian kepada umat ini.
Apakah puasa Ramadhan juga mewujudkan kepedulian kaum Muslim terhadap Islam dan al-Quran yang saat ini dipinggirkan?
Betul sekali. sudah semestinya kaum Muslim peduli terhadap al-Quran yang diturunkan pada bulan yang agung ini. Memang benar, akhir-akhir ini kita melihat kepedulian kaum Muslim terhadap al-Quran semakin besar. Namun sayang, kepedulian ini hanya sebatas pada aspek spiritual dari al-Quran, yakni dengan membaca dan menghapalnya. Adapun aspek politik dari al-Quran nyaris tidak tersentuh kecuali oleh sebagain kecil dari umat ini. Aspek politik yang saya maksud adalah al-Quran sebagai sumber hukum dan undan-undang dalam kehidupan. Padahal aspek politik inilah yang akan menjadikan al-Quran akan benar-benar hadir dalam kehidupan kaum Muslim. Selama ini al-Quran hanya hadir dalam majelis tilâwah atau tahfîzh al-Quran di pesantren, di rumah-rumah tahfîzh atau di masjid-masjid. Namun, ketika bermuamalah, baik itu yang bersifat ekonomi atau politik, al-Quran tidak terasa kehadirannya.
Karena itu sebagai umat yang telah dimuliakan oleh Allah dengan al-Quran, kita harus mewujudkan kepedulian terhadap al-Quran sebagai dustur al-hayah dengan cara menerapkan hukum-hukum al-Quran dalam kehidupan. Untuk menerapkan hukum-hukum al-Quran tidak ada cara lain kecuali dengan menformalkannya dalam institusi Khilafah Islamiyah. Karena tidak mungkin hukum-hukum al-Qur’an ini bisa hadir dalam kehidupan tanpa institusi negara yang menerapkan dan mengembannya.
Karena itu syariah Islam yang bersumber dari al-Quran ini tidak boleh dipisahkan dari kekuasaan. Syariah dengan kekuasaan mesti jalan berama-sama. Al-Quran dengan syariahnya, jika dipisahkan dari kekuasaan, akan tersia-sia, seperti yang terjadi saat ini. Sebaliknya, kekuasaan, jika dipisahkan dari al-Quran dan syariahnya, akan menjadi lalim, cenderung korup dan sekadar menjadi alat bagi kelompok yang rakus dan tamak dengan kehidupan dunia, seperti yang kita kita saksikan dan kita rasakan saat ini. Rasulullah saw. jauh-jauh hari telah mengingatkan kita, “Allâ, inna al-Qur’ân wa as-sulthân sayaftariqân fa lâ tufâriqû al-Kitâb.” Artinya, “Ingatlah sesungguhnya al-Quran dan kekuasaan itu akan terpisah. Karena itu janganlah kalian berpisah dari al-Quran (yakni jangan memisahkan al-Quran dari kekuasaan).” (HR ath-Thabrani). []