«إِنَّمَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي الأَئِمَّةَ الْمُضِلِّيْنَ»
Sesungguhnya tidak lain apa yang aku takutkan terhadap umatku adalah para pemimpin yang menyesatkan (HR Ahmad, Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, ad-Darimi, Ibnu Hibban, al-Hakim dan al-Baihaqi)
Hadis ini diriwayatkan dari jalur Tsauban, maula Nabi saw, Syadad bin Aws, Abu Darda’ dan Abu Dzar al-Gifari. Dalam sebagian lafal Tsauban, hadis di atas merupakan bagian dari hadis yang lebih panjang.
Dalam lafal dalam riwayat dari Syadad bin Aws, Nabi saw. bersabda:
إِنِّى لاَ أَخَافُ عَلَى أُمَّتِى إِلاَّ الأَئِمَّةَ الْمُضِلِّينَ …
Sungguh aku tidak khawatir atas umatku kecuali para pemimpin yang menyesatkan (HR Ahmad, Ibnu Hibban).
Dalam riwayat dari Abu Darda’ menggunakan redaksi superlatif. Nabi saw. bersabda:
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَيْكُمُ الأَئِمَّةُ الْمُضِلُّونَ
Sungguh yang paling aku takutkan atas kalian adalah para pemimpin yang menyesatkan (HR Ahmad dan ad-Darimi).
Abu Dzar menuturkan: Aku pernah datang ke rumah Nabi saw. pada satu hari dan aku mendengar beliau bersabda:
غَيْرُ الدَّجَّالِ أَخْوَفُ عَلَى أُمَّتِي مِنَ الدَّجَّالِ»، فَلَمَّا خَشِيتُ أَنْ يَدْخُلَ، قُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ أَيُّ شَيْءٍ أَخْوَفُ عَلَى أُمَّتِكَ مِنَ الدَّجَّالِ؟ قَالَ: الأَئِمَّةَ الْمُضِلِّينَ
“Selain Dajal ada yang lebih aku takutkan atas umatku daripada Dajjal.” Ketika aku khawatir beliau masuk lagi, aku katakan, “Ya Rasulullah, apakah yang lebih engkau takutkan atas umatmu daripada Dajal?” Beliau bersabda, “Para pemimpin yang menyesatkan.” (HR Ahmad).
Menurut Muhammad Syamsul Haq al-‘Azhim Abadi Abu Thayyib di dalam ‘Awn al-Ma’bûd dan al-Mubarakfuri di dalam Tuhfah al-Akhwadzi, al-a’immah al-mudhillûn adalah yang menyerukan bid’ah, kefasikan dan amoralitas (al-fujûr). Al-Minawi di dalam At-Taysîr bi Syarh Jâmi’ ash-Shaghîr menjelaskan bahwa al-a’immah al-mudhillûn adalah para pemimpin yang melenceng dan menyimpang dari kebenaran.
Al-A’immah adalah bentuk jamak dari imâm, yaitu pemimpin atau panutan. Al-Mudhillûn adalah bentuk jamak dari al-mudhillu, yaitu yang menjauhkan manusia dari kebenaran dan mencondongkan mereka pada kebatilan. Jadi al-a’immatu al-mudhillûn yaitu pemimpin atau panutan yang menjauhkan manusia dari kebenaran dan mencondongkan mereka pada kebatilan.
Abdur Rauf al-Minawi di dalam Faydh al-Qadîr mengutip pengarah al-Mathâmih, “Nabi saw. sangat perhatian terhadap kebaikan umatnya. Beliau menginginkan kelangsungan kebaikan umatnya. Karena itu beliau mengkhawatirkan atas mereka kerusakan (fasad) para pemimpin. Pasalnya, kerusakan mereka merusak sistem karena mereka adalah pemimpin manusia. Jika mereka rusak, niscaya rakyat menjadi rusak. Demikian juga para ulama; jika mereka rusak maka khalayak pun menjadi rusak karena para ulama sejatinya menjadi pelita yang menerangi kegelapan.”
Dalam konteks ini ad-Darimi meriwayatkan dari Ziyad bin Hudair yang menuturkan: Umar bin Khathab berkata kepadaku, “Apakah engkau tahu apa yang menghancurkan Islam?” Aku katakan, “Tidak.” Umar ra. berkata:
يَهْدِمُهُ زَلَّةُ الْعَالِمِ وَجِدَالُ الْمُنَافِقِ بِالْكِتَابِ وَحُكْمُ اْلأَئِمَّةِ الْمُضِلِّينَ.
Yang menghancurkan Islam adalah tergelincirnya orang yang berilmu, perdebatan orang munafik dengan al-kitab (al-Quran) dan pemerintahan para pemimpin yang menyesatkan.
Imam secara bahasa adalah siapa saja yang dijadikan panutan atau diikuti seperti imam shalat yang diikuti oleh makmun. Imam itu mencakup ulama, tokoh dan penguasa. Al-A’immah al-mudhillûn yakni para pemimpin (ulama, tokoh atau penguasa) yang menyimpang dari kebenaran, menyimpang dari petunjuk Allah SWT, menyimpang dari ketentuan Islam, atau menyeru orang pada sesuatu yang menyalahi atau menyimpang dari Islam.
Keberadaan al-a’immah al-mudhillûn yang demikian sangat besar pengaruhnya terhadap umat. Sebabnya, keberadaan pemimpin itu diiikuti oleh banyak orang. Jika mereka menyimpang apalagi mengajak atau menyeru pada sesuatu yang menyimpang dari Islam maka akan banyak orang yang juga ikut menyimpang karena mengikuti mereka.
Ulama termasuk dalam cakupan makna al-a’immah itu. Jika ulama itu mudhillûn maka akan sangat merusak umat. Ad-Darimi menuturkan, Sa’id bin Jubair ditanya tentang tanda-tanda kebinasaan masyarakat, ia menjawab, “Jika ulama mereka telah rusak”.
Al-A’immah al-mudhillûn dari ulama disebut juga ulama sû’. Asy-Syathibi di dalam Al-Muwâfaqât (1/76) menjelaskan, “Ulama sû’ adalah ulama yang tidak beramal sesuai dengan apa yang ia ketahui.”
Selain itu, karakter ulama’ sû’, seperti yang dijelaskan oleh adz-Dzhabi dalam Siyar al-A’lâm an-Nubalâ’ (VII/125), adalah ulama salâthin, yaitu ulama yang mempercantik kezaliman dan ketidakadilan yang dilakukan oleh penguasa; ulama yang memutarbalikan kebatilan menjadi kebenaran untuk penguasa; atau ulama yang diam saja (di hadapan penguasa) padahal ia mampu menjelaskan kebenaran.
Al-A’immah al-mudhillûn dalam wujud para penguasa yang menerapkan hukum, membuat kebijakan publik, maka pengaruh dan dampak merusaknya bagi masyarakat dan Islam jauh lebih besar lagi. Sebab, satu hukum atau kebijakan yang menyimpang dari Islam, sudah barang tentu pengaruh dan efek buruknya menimpa semua orang karena hukum itu diberlakukan terhadap semua orang.
Jika al-a’immah al-mudhillûn dari ulama dan penguasa itu berkolaborasi maka hasilnya adalah bencana sangat besar bagi umat. Benar seperti yang dikatakan Umar bin al-Khtahab, kolaborasi kedua jenis al-a’immah al-mudhillûn itu menghancurkan Islam. Islam tinggal nama, paling banter hanya eksis dalam urusan pribadi dan keluarga, sementara eksistensinya di tengah kehidupan tidak ada. Umat Islam pun tinggal sebutan.
Dari semua itu kita bisa paham mengapa al-a’immah al-mudhillûn itu termasuk yang paling ditakutkan Nabi saw. atas umat Islam. Ironisnya, justru saat ini apa yang ditakutkan oleh Nabi saw. terjadi pada umat Islam. Tentu saja menjadi tanggung jawab umat untuk memperbaikinya, di antaranya dengan perjuangan untuk merealisasi penerapan syariah secara menyeluruh.
WalLâh a’lam bi ash-shawwâb. [Yoyok Rudianto]