Sudah tertancap iman yang kuat. Mengakar. Yang bukan hanya berasal dari perasaan hati melainkan proses berpikir shahih, dan kepasrahan total terhadap segala sesuatu yang berasal dari sisi Allah SWT.
Isi kepala berupa pemikiran-pemahaman Islam. Sehingga amal (baik zhahir maupun bathin) senantiasa diikat dengan aturan Allah SWT. saja. Sadar, hakikat penciptaan manusia sebagai Khalifah di bumi. Sebuah tanggung jawab besar, kewajiban yang sudah dilekatkan perindividu. Dakwah memperjuangkan kembali kehidupan Islam yang sempat terputus sejak Khilafah runtuh tahun 1342H (1924 M). Inilah orientasi hidup yang sesungguhnya. Berpaling atau meninggalkannya, dosa.
Musuh Islam bersekutu. Jadi secara logika saja, jika dakwah dilakukan sendiri atau tanpa struktur (jama’ah) yang rapi dan benar, tentu mustahil meraih kemenangan. Maka harus bersatu! Berada dalam barisan dakwah yang bermanhaj Nabi saw. Itulah golongan orang-orang yang beruntung (Lihat QS. Aali-’Imraan (3):104).
Betapa tidak? Berjamaah, selain meringankan kerja, sebenarnya menjaga diri untuk terus lurus (ikhlas dalam niat, benar dalam amal), memacu peningkatan kualitas ibadah berstandar level Shahabat/Shahabiyah, dan fastabiqul khayrat. Inilah kenormalan yang seharusnya dimiliki setiap orang yang sudah melebur dalam aktivitas dakwah berjamah. Anti futur.
Ibadah seperti konsisten berinteraksi dengan al-Quran, menambah tsaqafah lewat banyak membaca buku-buku dan menghadiri majelis-majelis ilmu, berusaha memperjuangkan yang sunnah sehingga rela meninggalkan yang mubah, dan sudah pasti memelihara diri dari segala bentuk kemaksiatan yang mengandung murka Allah SWT, mengokohkan pendirian dan langkah.
Halaqah sebagai jantung dan dakwah sebagai nafas. Untuk menjaga keduanya dibutuhkan ketaatan yang terbangun atas keimanan terhadap Allah SWT, Rasul saw. dan syariah Islam. Takwa. Berpijak dari akidah Islam, Idrak sillaah billaah. Menjadi dasar aktivitas hari-hari. Seberapa besar dayanya, sebesar itu pula fungsi bisa dijalankan. [Mufridaturahma; (Pelajar, Cibinong)]