HTI

Ibrah (Al Waie)

Muhammad Bin Sirin

Muhammad bin Sirin dilahirkan di Basrah tahun 33 H. Ia adalah maula Anas bin Malik. Ia pernah bertemu dengan 30 orang Sahabat Nabi saw.

Muhammad bin Jarir ath-Thabari berkata, “Ibnu Sirin adalah seorang ulama yang sangat fakih, ‘alim, wara’, berakhlak tinggi dan memiliki banyak hadis yang dipersaksikan oleh para ahlul ilmi dan kemuliaan.” (Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala’, 4/601).

Hal sama dikemukan oleh Ibnu Saad.

Tentang kefakihannya, Utsman al-Bhitti berkata. “Tidak ada di Kota Bashrah seorang pun yang paling memahami putusan hukum syariah selain Muhammad bin Sirin.” (Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala’, 4/6o8).

Bahkan Ibnu Yunus berkata, “Ibnu Sirin lebih pandai daripada Al-Hasan a-Bashri dalam berbagai hal.”

Ibn Sirin juga ahli ibadah. Ia selalu melakukan puasa Dawud (Ibn Saad, Ath-Thabaqat al-Kubra, 7/200).

Ia pun selalu banyak berzikir mengingat Allah SWT. Abu Awanah mengatakan, “Tak seorang pun melihat Ibn Sirin tanpa sedang berzikir kepada Allah SWT.” (Ibnu Hajar Asqalani, Tahdzib at-Tahdzib, 9/241)

Terkait kewaraannya, Bakr bin Abdillah al-Muzani berkata, “Siapa ingin melihat seorang yang paling wara’ yang pernah aku jumpai, lihatlah Muhammad bin Sirin”. (Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala’ 4/614).

Al-Khathib al-Baghdadi juga berkomentar, “Muhammad bin Sirin adalah seorang ulama yang dikenal kewaraannya pada zamannya.”  (Al-Baghdadi, Tarikh Baghdad, 5/300).

Terkait itu, Gubernur Irak pada zamannya, misalnya, pernah hendak memberikan uang kepada dirinya sebesar 40 ribu dirham (sekitar Rp 2,8 miliar). Namun, Ibn Sirin menolak. Keponakannya merasa heran, mengapa ia harus menolak pemberian itu. Ia mengingatkan keponakannya seraya berkata, “Ketahuilah, dia memberi aku hadiah karena dia menyangka aku ini orang baik. Kalau aku baik maka aku tidak pantas untuk menerima uang itu. Sebaliknya, jika aku tidak sebaik yang ia sangka, lebih tidak pantas lagi aku mengambil hadiah itu.” (Dr. Abdurrahman Ra’at Basya, Shuwaru min Hayati at-Tabi’in).

Dalam keseharian, Muhammad bin Sirin membagi waktunya untuk melakukan tiga aktivitas: beribadah, mencari ilmu dan berdagang. Sebelum subuh sampai waktu dhuha ia berada di Masjid al-Basrah. Di sana ia belajar dan mengajar berbagai pengetahuan Islam. Setelah dhuha hingga sore hari ia berdagang di pasar. Ketika berdagang ia selalu menghidupkan suasana ibadah dengan senantiasa melakukan zikir dan amar makruf nahi munkar. Malam harinya ia khususkan untuk bermunajat kepada Allah SWT.

Dalam menggeluti dunia perdagangan, ia sangat berhati-hati sekali. Ia khawatir kalau-kalau terjebak ke dalam masalah yang haram.

Suatu ketika, ada seseorang menagih hutang kepadanya sebanyak dua dirham. Ia sendiri tidak merasa berhutang. Orang tersebut tetap bersikukuh dengan tuduhannya. Dengan penuh paksa, ia meminta Muhammad bin Sirin untuk melakukan sumpah. Ketika ia hendak bersumpah, banyak orang yang merasa heran mengapa ia menuruti kemauan si penuduh itu. Salah seorang rekan Muhammad bin Sirin bertanya, “Syaikh, mengapa Anda mau bersumpah hanya untuk masalah sepele, dua keping dirham, padahal baru saja kemarin Anda telah merelakan 30 ribu dirham untuk diinfakkan kepada orang lain.”

Lantas Muhammad bin Sirin menjawab, “Iya, saya bersumpah karena saya tahu bahwa orang itu memang telah berdusta. Jika saya tidak bersumpah, berarti ia akan memakan barang yang haram.”

Terkait keberaniannya dalam menentang kemungkaran, Ibn Sirin pernah dipanggil oleh Gubernur Irak, Umar bin Hubairah. Gubernur menyambut kedatangannya dengan meriah. Setelah berbasa-basi sejenak, sang gubernur bertanya kepada, “Bagaimana pendapat Syaikh tentang kehidupan di negeri ini?”

Tanpa basa-basi, Ibn Sirin menjawab, “Kezaliman hampir merata di negeri ini. Saya melihat Anda selaku pemimpin kurang perhatian terhadap rakyat kecil.”

Belum lagi Muhammad bin Sirin selesai berbicara, keponakannya yang juga ikut ke istana gubernur mencubit lengan Muhammad bin Sirin agar ia menghentikan kritikan pedasnya kepada sang gubernur. Dengan tegas ia berkata kepada keponakannya itu, “Diamlah engkau! Kalau saya tidak mengkritik gubernur, nanti sayalah yang akan ditanya di akhirat. Apa yang saya lakukan merupakan persaksian dan amanah umat. Siapa saja yang menyembunyikan amanah ini, niscaya ia berdosa.” (Dr. Abdurrahman Ra’at Basya, Shuwar min Hayah at-Tabi’in).

Kelebihan lainnya yang ada pada diri Ibnu Sirin adalah akhlak mulia yang senantiasa menghiasi kehidupannya. Ibnu Auf menuturkan, jika ada orang-orang yang menyebutkan kejelekan seseorang di hadapan Ibnu Sirin, maka ia justru menyebutkan hal terbaik dari orang itu yang ia ketahui.

Terkait akhlaknya pula, Hafshah binti Sirin mengatakan, “Aku tidak pernah melihat Muhamad bin Sirin bersuara keras di hadapan ibunya. Jika ia berkata-kata dengan ibunya, ia seperti seorang yang berbisik-bisik (sangat lembut) (Adz-Dzahabi, Siyar A’lam an-Nubala’).

Salah satu nasihat emas Muhammad bin Sirin yang sering dinukilkan oleh para ulama adalah ucapannya, “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama. Karena itu perhatikanlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.”

Muhammad bin Sirin meninggal dalam usia 77 tahun di Bashrah, seratus hari setelah Hasan al-Bashri wafat, yakni tahun 110 H. Wa mâ tawfîqî illâ bilLâh. [Arief B. Iskandar]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*