HTI

Berita Dalam Negeri

Negara Ini Mau Dibawa Kemana?

Mendagri Cabut Ribuan Perda, Termasuk Pelarangan Miras. Begitu bunyi salah satu headline sebuah media massa nasional. Sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengagendakan pencabutan 3.266 perda yang dianggap menghambat investasi. Menyusul instruksi tersebut, Kemendagri mengidentifikasi perda-perda yang tumpang-tindih dan yang bertentangan dengan regulasi-regulasi di pusat. Akhirnya, Kementerian Dalam Negeri akan mencabut 3.266 peraturan daerah yang dianggap menghambat investasi dan pembangunan tersebut. Di antara perda yang akan dicabut tersebut, sebagaimana diakui oleh Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, adalah perda berisi pelarangan terhadap minuman beralkohol.

Masyarakat pun bereaksi. Sodik Mudjahid mengkritik pencabutan peraturan daerah (Perda) tentang pelarangan minuman keras (miras) yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo. Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI tersebut mengatakan, “Apapun alasannya, rencana pencabutan tersebut sama sekali tidak tepat. Indonesia tengah mengalami status darurat kekerasan yang dipicu oleh minuman beralkohol.”

Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Fahira menegaskan, “Saya mau ingatkan, yang paling bahaya dari sebuah pemerintahan adalah jika dia sudah kehilangan sensitivitasnya terhadap persoalan yang dihadapi masyarakatnya”.

Ia menambahkan, “Ada aturan saja miras masih jadi momok, apalagi kalau aturan mau dicabut. Saya nggak habis pikir, pemerintah ini maunya apa sih?”

Secara syar’i pun minuman keras (khamr) ini jelas keharamannya. Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأنْصَابُ وَالأزْلامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Hai orang-orang yang beriman, sesungguh-nya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala dan mengundi nasib dengan panah adalah perbuatan keji yang termasuk perbuatan setan. Karena itu jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan (QS al-Maidah [5]: 90).

 

Khamr adalah penyakit, bukan obat. Rasulullah saw. bersabda, “Khamr itu bukan obat, melainkan penyakit.” (HR at-Turmudzi).

Wajar banyak pihak geram. Dengan alasan menghambat investasi, perda miras hendak dicabut. Saya sampaikan kepada para tokoh yang saya temui, “Sikap Pemerintah demikian sebenarnya mengisyaratkan bahwa investasi yang dimaksudkan adalah investasi yang menghalalkan segala cara; investasi yang didasarkan pada neoliberalisme!”

Liberalisasi tak berhenti dalam berbagai bidang. Beberapa waktu lalu, dalam acara Jelang Sahur di TVRI juga terjadi. Tajuk acara itu, “Ramadhan yang menyatukan”. Dalam salah satu acaranya, ada dua orang wanita yang mengenakan jilbab. Seorang mengenakan jilbab berwarna kuning dan seorang lagi merah. Yang menyakitkan, dalam jilbab keduanya membentang strip di bagian tengah dari dada hingga kaki dan pinggang membentuk salib besar dan mencolok. Terlihat mereka mengenakan jilbab dengan salib besar di bagian depannya. Dari sini tidak salah bila orang menyimpulkan dengan geram, “Oh, ini toh yang dimaksud dengan tajuk ‘Ramadhan yang menyatukan’ itu?” Liberalisasi tengah terjadi secara sistematik.

Awal Juni 2016, Presiden Jokowi merencanakan mengimpor orang asing untuk menjadi rektor perguruan tinggi.   Sontak saja komentar bertebaran. Kawan saya hanya mengatakan, “Sapi diimpor. Bawang diimpor. Garam diimpor. Gula diimpor. Kedelai diimpor. Sekarang, rektor diimpor! Mental terjajah.”

Saya hanya mengatakan kepada dia, “Sekarang ini memang semua diliberalisasi. Lihat saja, kasus reklamasi. Pantai dan laut milik umum diserahkan kepada swasta, bahkan asing. Ujungnya adalah penjajahan, neoimperialisme. Sayang banyak orang yang justru menikmatinya.”

Sebelumnya, pada awal Mei 2016, Kementerian agama menyelenggarakan Perkemahan Rohis Nasional II. Pesertanya 1800 pengurus Kerohanian Islam se-Indonesia. Tema yang diusung adalah “Membangun Generasi Muda yang Ramah dan Bermartabat”.  Tema yang tampak dari luar bagus. Apa tujuannya? “Nilai-nilai Islam yang toleran harus terus dijaga oleh para anggota Rohis,” ujar Direktur Pendidikan Agama Islam (PAI) Kementerian Agama RI, Amin Haedari.

Lalu apa hakikat toleran yang diinginkan? Apa makna ramah dan bermartabat yang dikehendaki? Rupanya yang dimaksudkan adalah menyamadudukkan semua agama. Salah satunya terlihat pada suatu sesi saat ada para peserta mengenakan pakaian adat dan ada pula peserta yang mengenakan pakaian khas agama bukan Islam seperti pakaian biksu dan pendeta dengan kalung salib. Dari sini terlihat toleransi dan ramah yang dimaksudkan tidak lebih dari mencampurbaurkan ajaran agama. Liberalisasi agama sedang dicekokkan!

Negeri ini tengah diseret oleh neoliberalisme yang berujung pada neoimperialisme. Hal ini bukanlah isapan jempol belaka. Mari kita tengok Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo. Usai memberikan ceramah dalam simposium mewaspadai PKI, beliau menyampaikan, “PKI berbahaya, tetapi yang lebih berbahaya neokapitalisme, neoliberalisme.” (2/6/2016).

Ucapan seorang panglima tentu lahir dari pengamatan dan realitas yang ada.

Apa akhir dari neoliberalisme? Bila neoliberalisme ini terus dijalankan maka ujungnya adalah kegagalan. Pada akhir Mei 2016, Departemen penelitian dari Dana Moneter Internasional (IMF) mengeluarkan laporan berjudul, “Neoliberalism: Oversold?” Mereka mengakui bahwa neoliberalisme telah gagal. Laporan itu sepertinya adalah tanda-tanda kematian ideologi ini. Persoalannya adalah negeri mayoritas Muslim ini justru tengah melaju dengan kencang diseret neoliberalisme. Sebagai rasa tanggung jawab, kita patut mempertanyakan, “Negara ini mau dibawa kemana?” Sebagai rasa cinta, kita pun patut berjuang menyelamatkan negeri zamrud khatulistiwa ini. [Muhammad Rahmat Kurnia; DPP Hizbut Tahrir Indonesia]

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*