Baginda Nabi saw. bersabda, “Sungguh, tali Islam akan lepas satu demi satu. Ketika satu lepas, orang pun mengikatnya dengan tali berikutnya. Pertama kali yang lepas adalah pemerintahan dan yang terakhir adalah shalat.” (HR Ahmad dan al-Hakim).
Islam adalah agama sempurna yang menjadi rahmat bagi semesta alam. Sekalipun belum terwujud kembali secara kâffah, kerahmatan Islam masih terasa dalam lingkup yang amat terbatas. Namun, sebagai sebaik-baik insan, sudah seyogyanya kaum Muslim berusaha sekuat tenaga untuk menjadikan hukum Allah SWT terlaksana sepenuhnya dalam kehidupan, dalam sistem pemerintahan, hingga semua tali Islam terangkai kembali dengan utuh. Harapan itu tidak mustahil, bukan utopis ataupun ahistoris mengingat realitas kedigdayaan Khilafah terpatri dengan tinta emas sejarah.
Dengan menapaki jejak Khilafah Islamiyah di Indonesia, sungguh tergambar kekuatan Islam sebagai ideologi. Tabiat ideologi meniscayakan penyebarluasannya ke seluruh penjuru bumi. Dakwah Islam menjadi nyawa setiap kali kaum Muslim menaklukkan sebuah negeri atau memasuki negeri tersebut secara damai. Penyebaran Islam tidak bisa dipisahkan dari tatsqîf. Proses ini berjalan dengan elok karena para ulama yang menyertai futûhât mempersiapkan benak dan akal para mualaf untuk mempelajari dan memahami tsaqâfah, pengetahuan yang bersumber dari akidah Islam. Dengan demikian setiap negeri baru itu memiliki keseragaman, tumbuh menjadi negeri berpemerintahan Islam. Demikian pula yang terjadi di Indonesia. Pengaruh tsaqâfah Islam tampak jelas dalam struktur kekuasan dan peran yang dilakoni umat dalam menentukan sejarah Indonesia.
Peran Umat Islam Sebelum Kemerdekaan
Sejarah Indonesia ditandai dengan penjajahan kaum kafir yang bertujuan merampas kekayaan (gold), menjalankan misi kristenisasi (gospel) dan menguasai wilayah (glory). Portugis menyerang Kepulauan Nusantara pada abad 16 dan 17 sehingga pada tahun 1511 Malaka jatuh ke tangan Portugis. Pendudukan ini memicu semangat jihad hingga jauh ke Tanah Jawa dan dimobilisasi oleh para penguasa. Pati Unus—menantu Raden Fattah Raja Demak dan keturunan Muballigh Parsi bergelar Syaikh Khaliqul Idrus—diangkat menjadi panglima gabungan yang membawahi armada Banten, Demak dan Cirebon. Tugas utamanya merebut kembali Tanah Malaka. Pada tahun 1513 dikirim ekspedisi Jihad I yang mencoba masuk ke benteng Portugis di Malaka, tetapi gagal dan armada itu kembali ke Tanah Jawa.
Kegagalan ini membuahkan strategi baru dengan menyiapkan armada berkekuatan 375 kapal perang yang dibuat di Gowa, Sulawesi. Pasukan jihad ini menuju Malaka pada tahun 1521. Namun, atas kehendak Allah, kapal yang ditumpangi Pati Unus terkena peluru meriam dan menjadikan ia syahid. Mujahid yang tersisa bertempur selama tiga hari tiga malam sehingga menimbulkan korban yang sangat besar di pihak Portugis.
Kepemimpinan Pati Unus diambil-alih oleh Fadhlulah Khan, yang diangkat Sunan Gunung Jati sebagai panglima armada gabungan. Fadhlulah Khan—tersohor dengan nama Fatahillah—berhasil mengusir Portugis dari Sunda Kelapa pada tahun 1527.
Terkait dengan hubungan Indonesia dengan Khilafah, pada tahun 1519, armada Khilafah Utsmani dikabarkan akan membebaskan Malaka. Namun, dalam perjalanannya hanya sebagian armada yang sampai di Aceh karena dialihkan untuk memadamkan pemberontakan di Yaman. Sebanyak 500 pasukan Utsmani tiba di Aceh pada tahun 1566 dan membantu Aceh menyerang Portugis di Malaka pada tahun 1568.
Perlawanan jihad tak pernah berhenti di seluruh pelosok negeri. Proses tatsqîf memiliki andil besar dalam menjaga dan menumbuhkan semangat jihad sepanjang sejarah Indonesia. Kaum Muslim pada masa itu mengerti betul status keharamanan pendudukan kafir di tanah ‘usyriyah Indonesia. Pada masa penjajahan Belanda, mayoritas jihad dipimpin para ulama atau penguasa yang mendapat legitimasi dari para ulama. Ada perlawanan Sultan Agung Mataram, misalnya, yang mendapatkan gelar Sultan Abdullah Muhammad Maulana Mataram dari Makkah. Ia menyerang VOC di Batavia tahun 1628 dan 1645). Ada ulama Pasaman bergelar Tuanku Imam Bonjol (Perang Padri 1803-1837). Ada Pangeran Antasari, yang bergelar Panembahan Amiruddin Khalifatul Mukminin (sejak 1859 di Banjar, Kalimantan Selatan), dan sebagainya.
Seruan jihad terus bergema hingga perlawanan Bung Tomo, anggota Sarekat Islam, yang berakhir dengan pertempuran 10 November 1945.
Pada abad dua puluh, perjuangan pembe-basan Indonesia dari kaum kafir melalui babak baru dengan pendirian organisasi politik. Di antaranya, pendirian Sarekat Dagang Islam (SDI) di Solo oleh H. Samanhudi pada tahun 1911, yang kemudian berubah menjadi Sarekat Islam. Setahun berikutnya Kiai Haji Ahmad Dahlan di Yogyakarta mendirikan Muhammadi-yah yang berusaha untuk mengembalikan aja-ran Islam sesuai dengan al-Quran dan Hadis.
Peran Umat Islam Pasca Kemerdekaan
Perjuangan umat Islam pasca kemerdekaan lekat dengan dunia pergerakan. Hal ini seiring dengan keinginan mendirikan Negara Islam yang menerapkan syariah Islam. Pendirian Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia) pada Konggres Umat Islam tanggal 7-8 Nopember 1945 menjadi wadah politik demi merealisasikan tujuan tersebut. Namun, perjuangan ini dikandaskan rezim Soekarno dengan membubarkan Masyumi.
Indoktrinasi yang dijalankan pemerintahan Orde Baru menjadikan gerakan politik Islam sebagai ancaman bagi negara. Rezim Soeharto memberikan stigma ekstrem kanan, Negara Islam Indonesia (NII), SARA dan Anti Pancasila terhadap golongan yang ingin menerapkan syariah Islam. Namun, depolitisasi Islam yang dijalankan rezim ini gagal memberangus Islam sebagai sebuah ideologi. Dinamika pergerakan Islam masih eksis dalam perlawanan politis demi menentang kebijakan yang meminggirkan Islam.
Keteguhan umat dalam menegakkan ‘amar ma’ruf nahi munkar membuahkan hasil pada akhir Orde Baru. Sesaat sebelum kejatuhannya, Soeharto lebih akomodatif terhadap Islam. Pada saat itu dakwah Islam berkembang pesat, termasuk di kampus sebagai pusat perubahan. Kondisi ini membawa berkah yang luar biasa bagi umat. Jika sebelumnya mayoritas umat hanya mengenal Islam ritual, setelah kader-kader dakwah kampus berinteraksi dengan masyarakat, mereka menyebarluaskan Islam sebagai sistem kehidupan yang harus diterapkan secara kâffah. Sejak saat itu, banyak Muslimah mulai menutup auratnya, TPA tumbuh subur mengalahkan TK konvensional, nama-nama islami menggantikan dominasi nama Barat dan Sansekerta, kaum Muslim pun mulai familiar dengan frasa syariah Islam. Bahkan umat mulai menyadari bahwa Islam harus diperjuangkan dalam negara Khilafah.
Peran Umat Islam Saat Ini
Namun, pencerahan umat atas kembalinya Islam ideologis justru meresahkan penjajah kufur era global. Dalam pertemuan APEC tanggal 18-19 November 2015 di Filipina, Presiden AS Barrack Obama dengan masygul mengatakan situasi Indonesia kepada PM Australia Malcolm Turnbull. Menurut dia, Islam sinkretis yang dianut Indonesia kini berubah menjadi lebih fundamentalis. Hal itu ditandai dengan sejumlah besar perempuan Indonesia yang telah mengadopsi jilbab. Hari ini, Islam di Indonesia jauh lebih Arab daripada ketika ia tinggal di sana.
Penjajah tetaplah penjajah, yang menganggap Perang Salib tidak pernah berakhir bila berhadapan dengan Islam ideologi, sekalipun belum mengejawantah dalam bentuk negara. Barat tak akan pernah tidur demi menciptakan proyek-proyek untuk melenyapkan ruang bagi Islam politis untuk menjelma menjadi sebuah pemerintahan.
Karena itu yang dibutuhkan umat saat ini adalah kehadiran dan peran riil partai politik Islam ideologis yang mampu mengungkap kejahatan penjajah dan semua strategi yang dijalankan bersama kompradornya. Parpol ini tak boleh lelah dalam mencerahkan umat akan kewajiban mereka dalam mendirikan kembali Khilafah sesuai dengan hukum syariah.
Untuk itulah Hizbut Tahrir berdiri, berusaha menghimpun umat agar bersama merangkai tali-tali (syariah) Islam yang telah lama terburai. Sebagai partai politik ideologis yang berdiri kokoh di atas pondasi Islam, Hizb akan selalu berada di tengah-tengah umat untuk memberikan kesadaran kepada mereka tentang Islam yang sebenarnya. Hizb adalah partai dakwah, yang tidak melakukan aktivitas lain, selain dakwah.
Partai ini akan memimpin umat dan menjadi pengawas negara. Partai ini memimpin umat untuk menjalankan tugasnya, memprotes kebijakan negara, mengoreksi dan mengubahnya dengan lisan dan tindakan. Dengan berbagai keunggulan yang Hizb miliki, maka tidak ada jalan menuju perubahan hakiki, kecuali mengajak umat bergabung dengan Hizbut Tahrir yang akan mencerdaskan umat dan membebaskan mereka dari penjajahan Barat melalui penegakan Khilafah Islamiyah.
Peran Umat Islam Masa Depan
Masa depan umat Islam adalah Khilafah Islamiyah jilid kedua yang tak lama lagi akan kita jelang. Khilafah merupakan pemerintahan negara yang akuntabel dengan kelengkapan struktur dan perangkatnya. Di sanalah umat akan membantu negara mewujudkan peran politiknya secara optimal: menjalankan fungsi pelayanan terhadap masyarakat dalam mewujudkan kehidupan yang bermartabat dan menyejahterakan. Keberkahan hidup dan keindahan penerapan syariah Allah SWT sajalah yang menjadi filosofi dalam menjalankan hidup bernegara.
Peran politik umat akan berlanjut melalui keterpilihan wakil mereka dalam Majelis Umat. Dalam struktur Kekhilafahan, Majelis Umat benar-benar difungsikan sebagai penyambung suara rakyat kepada Khalifah. Anggota Majelis Umat memiliki hak untuk memberikan pendapat kepada Khalifah dan para pejabat sesuai tatanan syariah. Akuntabilitasnya dijamin oleh ketakwaan individu dan mekanisme sistemik yang syar’i. Dengan begitu, tak perlu ada kekhawatiran akan adanya praktik-praktik kotor yang biasa terjadi dalam hubungan penguasa dan wakil rakyat yang menjadi karakter demokrasi.
Sementara itu, gerakan politik dalam wujud partai politik tetap diakomodasi oleh negara. Bahkan keberadaanya diwajibkan demi memenuhi seruan Allah SWT dalam QS Ali Imran ayat 104. Tujuan pendirian parpol adalah untuk menyerukan Islam, baik dalam konteks menerapkan Islam secara kâffah maupun me-ngajak orang non-Muslim agar bersedia memeluk Islam dengan sukarela. Parpol Islam juga menyerukan yang makruf dan mencegah tindak kemungkaran, baik yang dilakukan oleh masyarakat maupun negara. Misi parpol Islam adalah menjaga dan mempertahankan Khilafah agar tidak sedikit pun melanggar visi dan tujuannya, yakni melangsungkan kehidupan Islam.
Secara spesifik, fungsi dan peranan partai politik ini adalah untuk mewujudkan peran muhâsabah li al-hukkam (mengoreksi penguasa). Inilah peran vital parpol, karena sangat menentukan keberlangsungan penerapan Islam yang diterapkan oleh Khilafah. Pasalnya, para penguasa dalam negara Khilafah adalah manusia, bukan malaikat. Mereka tidak maksum sebagaimana Rasulullah Muhammad saw. Karena itu mereka berpotensi melakukan kesalahan, apalagi dengan kekuasaan yang memusat di tangannya. Ketika ketakwaan yang menjadi benteng mereka melemah, maka kontrol dari rakyat, termasuk partai politik, sangat dibutuhkan untuk meluruskan kebengkokan mereka. Demi menjalankan fungsi dan peran ini, Hizbut Tahrir insya Allah akan tetap eksis hingga Hari Kiamat.
Khatimah
Demikianlah seharusnya peran yang dijalankan umat Islam Indonesia sepanjang masa, bukan peran yang sekadar menjalankan kehidupan seperti “aliran air”, tanpa mengalami benturan demi meningkatkan derajat ketakwaannya. Peran itu, dengan genial dirumuskan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Syakhshiyah Islam Jilid I, yakni peran yang didasari oleh kesadaran bahwa kaum Muslim semestinya memandang kehidupan mereka hanya untuk Islam, dan keberadaan mereka hanya untuk mengemban dakwah Islam. Sebabnya, hanya dengan demikian seluruh manusia dan alam semesta akan merasakan kemuliaan, keagungan dan kerahmatan Islam. WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Pratma Julia Sunjandari; Lajnah Siyasiyah DPP MHTI]