HTI

Telaah Kitab (Al Waie)

Qadhi dan Qadhi Qudhat

Dalam negara Khilafah ada lembaga yang disebut lembaga peradilan (al-qadhâ’). Tugasnya adalah mengatasi setiap kasus kezaliman, penyelewengan dan pelanggaran, baik yang dilakukan oleh rakyat maupun penguasa. Tentu lembaga ini membutuhkan seorang pemimpin (amir). Apakah Khalifah yang memimpin sendiri lembaga ini atau Khalifah mengangkat seorang qâdhi al-qudhâh (kepala qâdhi)?

Telaah Kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam: Pasal 76, yang berbunyi:

 

Khalifah mengangkat Qâdhi al-Qudhât yang berasal dari kalangan laki-laki, balig, merdeka, Muslim, berakal, adil dan ahli fikih. Jika Khalifah memberi dia wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan Qâdhi Mazhâlim, maka Qâdhi al-Qudhât wajib seorang mujtahid.

Qâdhi al-Qudhât memiliki wewenang mengangkat para qâdhi, memberikan peringatan dan memberhentikan mereka dari jabatannya, sesuai dengan peraturan administratif yang berlaku. Para pegawai peradilan terikat dengan kepala kantor peradilan, yang mengatur urusan administrasi untuk lembaga peradilan (Hizbut Tahrir, Masyrû’ Dustûr Dawlah al-Khilâfah, hlm. 21).

 

Adapun Pasal 77 berbunyi:

 

Para qâdhi terbagi dalam tiga golongan: (1) Qâdhi (biasa), yaitu qâdhi yang berwenang menyelesaikan perselisihan antar masyarakat dalam urusan muamalat dan ‘uqûbât. (2) Al-Muhtasib, yakni qâdhi yang berwenang menyelesaikan berbagai pelanggaran yang merugikan hak-hak jamaah (masyarakat). (3) Qâdhi Mazhâlim, yang berwenang mengatasi perselisihan yang terjadi di antara rakyat dan negara (Hizbut Tahrir, Masyrû’ Dustûr Dawlah al-Khilâfah, hlm. 21).

 

Pengangkatan Qâdhi al-Qudhât

Pada dasarnya Khalifah berhak mengangkat wali untuk kekuasan (wewenang) khusus atas suatu urusan di setiap penjuru negara. Khalifah juga berhak mengangkat wali untuk kekuasaan khusus atas suatu urusan di tempat tertentu. Ini seperti halnya Khalifah berhak mengangkat wali untuk kekuasaan secara umum di tempat tertentu.

Khalifah berhak menunjuk amîr (pimpinan) jihad, amîr haji dan amîr kharâj. Khalifah juga berhak mengangkat amîr (kepala) peradilan dan memberi dia wewenang untuk menunjuk para qâdhi (hakim) serta memberhentikan dan mendisiplinkan mereka (melalui tata tertib). Khalifah pun berhak memberi amîr jihad wewenang untuk menunjuk para komandan dan instruktur tentara, mendisiplinkan dan memberhentikan mereka.

Dengan demikian, Khalifah boleh mengangkat qâdhi al-qudhâh (kepala qâdhi), yakni mengangkat amîr (kepala) peradilan. Keberadaan qâdh ial-qudhâh atau amîr peradilan adalah sebagai hâkim (penguasa), bukan pegawai (karyawan), sebab ia telah diberi wewenang atau kekuasaan. Ia seperti amîr (pemimpin) atau wali untuk mengurusi urusan dari berbagai urusan. Hanya saja ia tidak dianggap sebagai mu’âwin (pembantu) Khalifah di peradilan. Ini karena pengangkatannya secara khusus dalam kasus-kasus peradilan saja, baik khusus untuk beberapa kasus atau umum untuk semua kasus peradilan. Adapun mu’âwin Khalifah diangkat dengan wewenang umum untuk semua urusan. Dengan demikian Khalifah berhak meminta bantuannya dalam setiap urusan. Ini tidak seperti qâdhi al-qudhâh yang wewenangnya hanya urusan peradilan saja (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 241).

Dalam hal ini memang tidak ada dalil bahwa Rasulullah saw. pernah mengangkat qâdhi al-qudhâh; tidak ada dalil bahwa salah seorang dari Khulafaur Rasyidin pernah mengangkat qâdhi al-qudhâh; juga tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa para qâdhi di ibukota negara menunjuk orang yang akan mewakili mereka untuk menjalan peradilan di kota-kota dan desa-desa, dari mulai era Khulafaur Rasyidin hingga era Kekhilafahan Bani Umayyah.

Pengangkatan pertama qâdhi al-qudhâh oleh Khalifah terjadi pada masa Harun ar-Rasyid. Qâdhi pertama yang disebut dengan sebutan ini adalah Qâdhi Abu Yusuf al-Kindi. Ia adalah seorang mujtahid terkemuka, sahabat Abu Hanifah. Dengan demikian pengangkatan qâdhi al-qudhâh termasuk perkara yang dibolehkan. Artinya, Khalifah boleh mengangkat seorang qâdhi yang diberi wewenang untuk menunjuk para qâdhi di bawahnya dan memberhentikan mereka. Qâdhi ini disebut dengan qâdhi al-qudhâh (kepala qâdhi).

Seorang qâdhi al-qudhâh harus memenuhi persyaratan qâdhi dan penguasa (hâkim) sekaligus yaitu: laki-laki, balig, merdeka, Muslim, berakal, adil dan ahli fikih sebagai syarat kompetensi tugasnya. Sebab, Rasulullah saw. telah mencela orang bodoh yang memutuskan perkara dan menjadikan dia masuk neraka. Beliau bersabda:

وَرَجُلٌ قَضَى لِلنَّاسِ عَلَى جَهْلٍ فَهُوَ فِي النَّارِ

Seorang yang mengadili perkara masyarakat dalam keadaan bodoh, ia masuk neraka (HR al-Hakim).

 

Jadi, seorang qâdhi disyaratkan harus seorang ahli fikih. Adapun qâdhi al-qudhâh disyaratkan seorang mujtahid jika ia diberi wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan qâdhi mazhâlim. Sebab, peradilan mazhâlim mengharuskan adanya kemampuan berijtihad, sebagaimana hal ini dijelaskan pada pasal 78. Adapun apa yang terdapat dalam pasal 76 ini, yaitu tentang pengangkatan para pegawai pengadilan, maka mereka adalah para pekerja, dan dalil pengangkatan mereka adalah dalil tentang kebolehan mengupah pekerja (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 242).

 

Macam-macam Qâdhi

Qâdhi dalam sistem peradilan Islam ada tiga macam. Pertama: Qâdhi biasa, yaitu qâdhi yang berwenang menyelesaikan perselisihan antarmasyarakat dalam urusan muamalat dan ‘uqûbat. Kedua: Al-Muhtasib, yaitu qâdhi yang berwenang menyelesaikan berbagai pelanggaran yang merugikan hak-hak jamaah (masyarakat). Ketiga: Qâdhi Mazhâlim, yaitu qâdhi yang berwenang mengatasi perselisihan yang terjadi antara rakyat dan negara.

Dalil mengenai peradilan yang menyelesaikan perselisihan atau sengketa di antara anggota masyarakat adalah perbuatan Rasulullah saw. dan pengangkatan Muadz bin Jabal oleh beliau sebagai qâdhi di Yaman. Adapun dalil untuk peradilan yang menyelesaikan masalah berbagai penyimpangan (mukhâlafât) yang dapat membahayakan hak-hak jamaah dan yang disebut sebagai al-muhtasib, maka hal ini ditetapkan berdasarkan perbuatan dan sabda Rasulullah saw.:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ غَشَّ

Tidak termasuk dari golongan kami siapa saja yang suka menipu (HR Ahmad).

 

Rasulullah saw. juga pernah menemukan seorang penipu. Lalu beliau mencegah dia. Qais bin Abi Gharazah al-Kinani mengatakan: Kami pernah menjual beberapa wasaq di Madinah. Kami disebut samasirah (makelar). Lalu ia berkata, “Kemudian Rasulullah saw. mendatangi kami dan beliau menyebut kami dengan sebutan yang lebih baik dari sebutan yang kami buat sendiri. Beliau bersabda:

يَا مَعْشَرَ التُّجَّارِ، إِنَّ الْبَيْعَ يَحْضُرُهُ اللَّغْوُ وَالْحَلْفُ، فَشُوْبُوْهُ بِالصَّدَقَةِ

Wahai para pedagang, sesungguhnya jual-beli itu sering dicampuri dengan permainan dan sumpah (palsu). Karena itu kalian harus menyertai jual-beli itu dengan sedekah (HR al-Hakim).

 

Imam Ahmad juga meriwayatkan dari jalan Abu Minhal: Sesungguhnya Zaid bin Arqam dan Bara’ bin Azib adalah dua orang yang saling bekerjasama. Keduanya membeli perak dengan cara tunai dan kredit. Hal itu sampai kepada Rasulullah saw. Lalu beliau memerintahkan keduanya:

أَنَّ مَا كَانَ بِنَقْدٍ فَأَجِيْزُوهُ، وَمَا كَانَ بِنَسِيْئَةٍ فَرُدُّوْهُ

Sesungguhnya apa yang dibeli secara tunai, aku bolehkan; sedangkan yang dibeli secara kredit harus kalian kembalikan.

 

Semua itu merupakan peradilan hisbah. Penamaan peradilan yang menyelesaikan berbagai perselisihan yang dapat membahayakan hak-hak masyarakat dengan sebutan hisbah merupakan istilah untuk menyebut aktivitas tertentu dalam Negara Islam, yaitu aktivitas memonitoring para pedagang (pelaku bisnis), majikan (pemilik perusahan) dan pekerja untuk mencegah mereka dari melakukan penipuan dalam perdagangan, pekerjaan dan hasil-hasil produksinya; juga memonitoring penggunaan takaran dan timbangan yang dapat merugikan masyarakat. Aktivitas itulah yang telah dijelaskan oleh Rasulullah saw. Beliau telah memerintahkan aktivitas itu dan mengurusi langsung penyelesaian perkara dalam masalah tersebut. Hal itu tampak jelas dalam hadis Bara’ bin Azib ketika beliau melarang kedua pihak dari melakukantransaksi riba nasî’ah. Dengan demikian, dalil untuk peradilan hisbah adalah as-Sunnah.

Termasuk dalil peradilan hisbah adalah pengangkatan Said bin al-‘Ash oleh Rasulullah saw. sebagai amil untuk mengurusi pasar di Makkah setelah Pembebasan Makkah. Khalifah Umar bin al-Khaththab juga pernah mengangkat Asy-Syifa’,seorang wanita dari kaumnya, yaitu Ummu Sulaiman bin Abi Hatsmah, sebagai qâdhî hisbah di pasar. Khalifah Umar juga pernah mengangkat Abdullah bin Utbah menjadi qâdhî hisbah di pasar Madinah. Bahkan Khalifah Umar pernah melaksanakan sendiri pengadilan hisbah. Beliau berkeliling di pasar-pasar sebagaimana yang pernah dilakukan oleh Rasulullah saw. Khalifah terus melakukan sendiri aktivitas hisbah sampai masa Khalifah al-Mahdi. Kemudian ia menjadikan hisbah sebagai instansi tersendiri dan akhirnya menjadi bagian dari struktur peradilan. Pada masa Harun ar-Rasyid, al-muhtasib (qâdhi hisbah) berkeliling di pasar, memeriksa timbangan dan takaran dari penipuan, juga mengawasi transaksi-transaksi para pedagang (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 244; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 112; Zallum, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 186).

Adapun dalil terkait qâdhi mazhâlim adalah perbuatan Rasulullah saw. Dalam hal ini, Rasulullah saw. pernah mengangkat Rasyid bin Abdillah sebagai qâdhi untuk perkara mazhâlim. Rasulullah saw. juga pernah bersabda:

مَنْ أَخَذْتُ لَهُ مَالاً فَهَذَا مَالِي فَلْيَأْخُذْ مِنْهُ، وَمَنْ جَلَدْتُ لَه ظَهْرًا فَهَذَا ظَهْرِي فَلْيَقْتَصَّ مِنْهُ

Siapa saja yang pernah aku ambil hartanya, maka ini hartaku, ambillah. Siapa saja yang pernah aku cambuk punggungnya, maka ini punggungku, balas (qishash)-lah dengan mencambuknya juga.” Hadis ini diriwayatkan oleh Abu Ya’la dari al-Fadhal bin Abbas (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 244).

 

Semua itu tidak lain adalah bentuk peradilan mazhâlim. Sebab, di antara yang termasuk ke dalam cakupan definisi qâdhi mazhâlim adalah memeriksa perkara yang terjadi antara masyarakat dan Khalifah. Dengan demikian dalil tentang qâdhi mazhâlim adalah perbuatan dan sabda Rasulullah saw. Hanya saja, beliau tidak mengangkat qâdhi khusus untuk mengurusi perkara mazhâlim di seluruh wilayah negara. Begitu pula para khalifah sesudahnya. Mereka secara langsung mengurusi perkara mazhâlim. Sebagaimana yang dilakukan oleh Khalifah Ali bin Abi Thalib, meski tidak menetapkan waktu dan cara khusus, setiap kezaliman diselesaikan saat terjadinya, sehingga aktivitas itu menyatu dalam keseluruhan aktivitasnya.

Keadaan semacam itu terus berlangsung hingga masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Dalam hal ini, beliau adalah khalifah pertama yang menyediakan waktu khusus dan cara tertentu untuk menyelesaikan perkara-perkara kezaliman yang terjadi. Untuk itu, ia menetapkan hari khusus guna menyelidiki perkara-perkara kezaliman. Jika ia menemukan kesulitan, ia ajukan kepada qâdhi-nya agar diputuskan. Khalifah Abdul Malik bin Marwan kemudian menyusun wakil-wakil tertentu untuk memeriksa berbagai kezaliman di tengah masyarakat. Lalu disusunlah struktur khusus untuk mengurusi berbagai perkara mazhâlim yang disebut dengan Dâr al-‘Adl.

Dari sisi ini, yakni pengangkatan qâdhi khusus untuk menyelesaikan berbagai perkara mazhâlim adalah boleh. Sebab, setiap kewenangan yang dimiliki oleh Khalifah, maka Khalifah boleh mengangkat orang-orang tertentu untuk mewakili dirinya dalam melaksanakan wewenang itu. Dilihat dari sisi penentuan waktu khusus dan cara tertentu dalam penyelesaian perkara mazhâlim juga boleh karena hal itu termasuk di antara perkara mubah (Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 245; Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah, hlm. 113; Zallum, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, hlm. 186).

WalLâhu a’lam bish-shawâb. [Muhammad Bajuri]

 

Daftar Bacaan

Hizbut Tahrir, Ajhizah Dawlah al-Khilâfah fî al-Hukm wa al-Idârah, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan I, 2005.

Hizbut Tahrir, Masyrû’ Dustûr Dawlah al-Khilâfah, edisi Mu’tamadah, (versi terbaru tanggal 03/06/2014), http://www.hizb-ut-tahrir.info/info/index.php/contents/entry_28722.

Hizbut Tahrir, Muqaddimah ad-Dustûr aw al-Asbâb al-Mujîbah Lahu, Jilid I, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan II, 2009.

Zallum, Asy-Syaikh Abdul Qadim, Nizhâm al-Hukm fî al-Islâm, (Beirut: Darul Ummah), Cetakan VI, 2002.

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*