HTI

Ta'rifat (Al Waie)

Syarat dalam Akad

Syarat, sebagaimana yang didefinisikan oleh Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, adalah sesuatu yang menjadi sifat penyempurna al-masyrûth (yang dipersyaratkan) dalam apa yang dituntut oleh al-masyrûth itu, atau dalam apa yang dituntut oleh hukum tentang al-masyrûth itu. Apa yang dituntut oleh hukum al-masyrûth kembali pada hukum taklîfi, sedangkan apa yang dituntut oleh al-masyrûth itu sendiri kembali pada hukum wadh’i. Ketiadaan syarat itu mengharuskan tidak adanya al-masyrûth, tetapi adanya syarat itu tidak meniscayakan adanya al-masyrûth.

Akad merupakan bagian dari hukum wadh’i karena akad merupakan sebab (as-sabab). Karena itu syarat dalam akad merupakan sesuatu yang dituntut oleh akad itu, yaitu apa saja yang harus terpenuhi agar akad itu ada. Jika tidak terpenuhi, akad itu tidak ada.

Syariah telah menyatakan syarat-syarat yang harus dipenuhi di dalam akad. Syarat seperti ini ada dua jenis. Pertama: Syarat umum dan disebut syarat in’iqâd. Tanpa syarat in’iqâd, akad tidak terakadkan dan menjadi batil. Kedua: Syarat sah, yaitu syarat spesifik yang dinyatakan oleh syariah untuk suatu akad tertentu.

Syarat umum, yakni syarat in’iqâd dalam semua akad secara umum seperti dijelaskan oleh Syaikh Yusuf as-Sabatin di dalam Al-Buyû’ al-Qadîmah wa al-Mu’âshirah (Dar al-Bayariq, 2002), ada tujuh. Pertama: Kelayakan dua pihak yang berakad. Keduanya, yaitu pihak yang menyatakan ijab dan pihak yang menyatakan qabul, harus memiliki sifat yang dinyatakan oleh syariah untuk bisa melangsungkan akad, yakni balig dan berakal. Untuk akad tertentu (misal jual-beli yang nilainya kecil dan tanpa tawar-menawar) cukup mumayyiz.

Kedua: Kapasitas obyek akad bagi berlakunya hukum akad. Contoh, akad atas bangkai tidak bisa berlakukan, sebab bangkai dalam pandangan syariah tidak termasuk harta. Akad rahn (agunan) atas barang yang cepat rusak, seperti makanan, tidak terakadkan sebab barang itu cepat rusak sehingga tidak layak untuk ditahan (disimpan).

Ketiga: Akad itu tidak dilarang oleh nas syariah. Jika dilarang, akadnya tidak berlaku dan batil. Akad yang pada saat diakadkan tidak ada orang yang memiliki wilâyah (wewenang) syar’i padanya tidak berlaku dan jadi batil. Kontrak kerja atas kemaksiatan, akadnya batil dan tidak berlaku. Kaidah yang ada:

كُلُّ عَقْدٍ يَصْدُرُ وَلاَ يُوْجَدْ مَنْ يَمْلِكُ حَقَّ اِجَازَتِهِ وَاِنْفَاذِهِ عِنْدَ صُدُوْرِهِ يَكُوْنُ بَاطِلاً

Setiap akad yang keluar dan tidak ada orang yang memiliki hak melaksanakan dan mengimplementasikannya ketika akad itu dikeluarkan maka akad itu batil.

 

Keempat: Akad harus memenuhi syarat spesifiknya, yakni syarat sahnya.

Kelima: Akad itu berfaedah. Akad seseorang untuk mempekerjakan istrinya mengurus rumah tidak berlaku karena syariah telah mewajibkan mengurus rumah atas istri menurut kemampuannya tanpa perlu diakadkan.

Keenam: Ijab tetap sah hingga terjadi qabul. Jika orang yang menyatakan ijab menarik ijab (penawaran)-nya sebelum adanya qabul, maka akad tidak berlaku.

Ketujuh: Kesatuan majelis akad, yaitu kondisi saat kedua pihak menerima negosiasi akad hingga menyetujuinya. Jika majelis akad bubar sebelum terjadi qabul, akadnya tidak berlaku. Misal, keduanya berpisah, salah satunya menolak, atau melakukan aktivitas atau tasharruf lainnya. Dadalam hal ini dkecualikan qabul penerima wasiat. Qabul atau penolakan-nya disyaratkan harus terjadi setelah kematian pemberi wasiat. Begitu juga wakalah dan wakaf, jika wakil atau penerima wakaf tidak ada di tempat (ghayb), maka majelisnya dinilai ketika wakil atau penerima wakaf mengetahuinya. Jika wakil atau penerima wakaf tidak menolaknya, akad wakalah dan wakaf itu berlaku sempurna.

Adapun syarat sah, yaitu syarat yang secara spesifik dinyatakan oleh syariah untuk akad tertentu. Contoh, penyerahan barang untuk akad pemindahan kepemilikan. Syarat penyerahan agunan kepada penerima agunan (al-murtahin) (QS al-Baqarah [2]: 283). Syarat adanya dua orang saksi dalam akad nikah karena Allah SWT mensyaratkan dua orang saksi yang adil dalam hal rujuk (QS ath-Thalaq [65]: 2). Sesuai mafhûm muwâfaqah ‘min bâb al-awlâ’, dua orang saksi adil lebih disyaratkan untuk pembentukan ikatan pernikahan, yakni akad nikah.

Selain syarat yang dinyatakan oleh nas, syariah juga memebolehkan kedua pihak mensyaratkan syarat yang mereka mau. Apa saja boleh disyaratkan kecuali apa yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram. Rasul saw. bersabda:

الْمُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوْطِهِمْ اِلاَّ شَرْطًا حَرَّمَ حَلاَلاً اَوْ أَحَلَّ حَرَامًا

Kaum Muslim terikat dengan syarat-syarat mereka kecuali syarat yang mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram (HR at-Tirmidzi).

 

Hanya saja, jika syarat yang boleh disyaratkan itu menyalahi ketentuan syariah maka syarat itu batal demi hukum meski akadnya bisa tetap sah. Aisyah ra. menuturkan, ia pernah akan membeli Barirah dari tuannya untuk dimerdekakan, tetapi tuannya Barirah mensyaratkan wala’ (loyalitas) Barirah tetap untuk mereka. Rasul saw. mendengar hal itu dan diberitahu oleh Aisyah, lalu beliau bersabda kepada Aisyah, “Belilah dan terima syarat mereka (isytarithî lahum al-walâ’), wala’ itu tidak lain untuk orang yang memerdekakan.

Setelah Aisyah melakukan itu, Rasul saw. berpidato. Beliau memuji Allah SWT dan bersabda:

«مَا بَالُ رِجَالٍ يَشْتَرِطُوْنَ شُرُوْطًا لَيْسَتْ فِي كِتَابِ اللَّهِ مَا كَانَ مِنْ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ قَضَاءُ اللَّهِ أَحَقُّ وَشَرْطُ اللَّهِ أَوْثَقُ»

Tiada gunanya orang mensyaratkan syarat-syarat yang tidak ada di dalam Kitabullah. Syarat apapun yang tidak ada di dalam Kitabullah adalah batil meski seratus syarat. Ketetapan Allah lebih layak (diikuti) dan syarat Allah lebih kuat (dipegangi) (HR al-Bukhari, Malik dan Ibn Majah).

 

Laysa fî Kitâbillah maknanya tidak ada dalam hukum Kitabullah, yakni menyalahi hukum syariah. Syarat dari tuannya Barirah itu menyalahi hukum syariah. Sebabnya, hukum syaraiah menetapkan bahwa wala’ (loyalitas) itu untuk orang yang memerdekakan. Meski begitu, Rasul saw. tetap menyuruh Aisyah ra menerimanya, dan setelahnya Rasul menjelas-kan bahwa syarat itu menyalahi hukum syariah dan batal demi hukum.

Dari elaborasi ketentuan syariah bisa disimpulkan hukum-hukum tentang syarat di dalam akad, selain syarat in’iqâd dan syarat sah, antara lain:

 

  1. Syarat yang sah dan mengikat.

Pertama: Syarat yang diwajibkan oleh akad. Misalnya, syarat jaminan adanya cacat, selesainya jasa yang dikontrak, penyerahan upah kepada pekerja, dsb.

Kedua: Syarat pokok untuk kepentingan salah satu atau kedua pihak. Misal, syarat spesifikasi obyek, waktu dan cara penyerahan harga/sewa, dsb. Jika tidak terpenuhi, pihak yang mensyaratkan berhak mem-faskh (membubarkan) akad. Dalilnya riwayat at-Tirmidzi di atas.

Ketiga: Syarat yang bukan konsekuensi akad (muqtadhâ al-‘aqd), tidak menyalahi konsekuensi akad dan ada kemaslahatan untuk satau atu atau kedua pihak. Misal, syarat penyerahan mobil setelah dikendari sampai rumah penjual; syarat rumah yang dijual ditempati oleh penjual satu tahun baru diserahkan; syarat barang diantar ke rumah pembeli, dsb. Imam al-Bukhari dan Muslim meriwayatkan, Jabir bin Abdullah pernah menjual unta kepada Nabi saw. dan ia mensyaratkan unta itu dia kendari sampai ke Madinah, baru diserahkan kepada Nabi saw.

 

  1. Syarat yang membatalkan akad:

Pertama: Syarat yang membatalkan akad sejak asal, sSeperti, syarat berupa akad lain. Rasul saw. bersabda:

لاَ يَحِلُّ سَلَفٌ وَبَيْعٌ وَلاَ شَرْطَانٍ فِيْ بَيْعٍ

Tidak halal salaf dan jual-beli dan tidak halal dua syarat dalam satu jual-beli (HR an-Nasai, at-Tirmidzi, ad-Daraquthni dan al-Hakim).

 

Misal, ber-syirkah menjadi pemodal dengan syarat dipekerjakan di syirkah itu; jual-beli properti dengan syarat sertifikatnya dititipkan (diwadiahkan) pada penjual atau pihak lain; jual-beli rumah dengan syarat rumah itu disewa oleh penjual, dsb.

Kedua: Syarat yang menjadikan jual-beli tidak bisa terakadkan. Misal, syarat yang menggantungkan jual-beli pada terjadinya sesuatu, seperti menjual rumah jika orangtua atau istri setuju.

Ketiga: Syarat yang tidak jelas. Jika syarat itu tidak jelas (majhûl) maka akadnya batil. Misal, jual-beli rumah dengan syarat ditempati dulu oleh penjual tanpa batas waktu yang jelas. Ibnu Abi Syaibah di dalam Mushannaf-nya meriwayatkan, Tamim ad-Dari pernah menjual rumah dan ia mensyaratkan untuk ia tempati tanpa batas waktu jelas. Lalu Rasul saw. membatalkan jual-beli itu sekaligus syaratnya.

 

  1. Syarat yang batil, sedangkan akadnya tetap absah.

Itulah syarat yang menyalahi konsekuensi atau hukum akad. Misal, syarat penjual tidak menjamin atas cacat pada barang; pembeli tidak boleh memindahkan kepemilikan (misalnya, menghibahkan atau menjual barang yang dibeli secara kredit sampai sudah lunas; dsb. Rasul saw. bersabda:

كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِيْ كِتَابِ اللهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَاِنْ كَانَ مِائَةَ شَرْطٍ

Semua syarat yang tidak ada di dalam Kitabullah maka ia batil meskipun seratus syarat (HR Ibnu Majah, Ahmad dan Ibnu Hibban).

 

WalLâh a’lam bi ash-shawwâb. [Yoyok Rudianto]

 

 

 

 

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*