HTI

Iqtishadiyah

Tax Amnesty: Mengejar Setoran Dari Para Pelanggar Hukum

Saat ini Rancangan Undang-undang (RUU) Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) sedang dibahas Pemerintah bersama DPR. RUU ini ditargetkan dapat dimplementasikan mulai Juli hingga akhir tahun 2016. UU ini mendesak bagi Pemerintah mengingat pendapatan yang berasal dari pengampunan pajak akan menjadi salah satu sumber penerimaan pada APBN-P 2016.

Pengampunan pajak (tax amnesty) sendiri berarti penghapusan pajak yang diberikan kepada wajib pajak yang selama ini belum pernah atau tidak sepenuhnya membayar pajak atas harta mereka baik berupa penghapusan pajak terutang, sanksi administrasi perpajakan dan sanksi pidana di bidang perpajakan dalam jangka yang ditetapkan UU. Data dan informasi mereka juga wajib dirahasiakan pejabat terkait. Syaratnya, wajib pajak tersebut mau membayar uang tebusan. Nilai uang tebusan tersebut ditentukan berdasarkan nilai aset yang dilaporkan dikali dengan tarif tebusan yang ditetapkan UU. Selain itu, jika harta yang dilaporkan tersebut berada di luar negeri dan direpatriasi atau dibawa masuk ke Indonesia, maka harta tersebut dikenakan tarif repatriasi yang nilainya juga ditetapkan UU.

Sebagai contoh, jika pada bulan pertama pemberlakukan UU Penghapusan Pajak, seorang wajib pajak mengajukan penghapusan pajak atas hartanya yang selama ini disimpan di Singapura sebesar Rp 10 triliun maka ia diwajibkan membayar uang tebusan. Dengan tariff tebusan, misalnya, 2%, maka nilai uang tebusannya sebesar Rp 200 miliar. Selain itu, wajib pajak tersebut juga harus membayar uang repatriasi. Dengan tarif repatriasi, misalnya, 3% maka nilainya sebesar Rp 300 miliar. Uang tebusan dan repatriasi masuk ke kas Pemerintah, sementara dana yang direpatriasi harus disimpan di bank yang ditunjuk Pemerintah atau diinvestasikan ke obligasi milik Pemerintah atau BUMN dalam jangka waktu tertentu.

 

Mengejar Setoran

Meskipun masa pemberlakukan UU Pengampunan Pajak hanya berlaku sepanjang enam bulan pada tahun 2016, Pemerintah memperkirakan pendapatan yang dapat diraup dari kebijakan itu dapat mencapai Rp 165 triliun. Adapun dana repatriasi yang diperkirakan masuk ke Indonesia dapat mencapai Rp 1.000 triliun. Uang tersebut nantinya akan menjadi sumber baru pendapatan APBN mengingat pendapatan pajak saat ini diperkirakan realisasinya di bawah target akibat pertumbuhan ekonomiyang melambat. Pada APBN 2016, pendapatan pajak ditargetkan sebesar Rp 1,546,7 triliun. Tahun lalu, dari target penerimaan pajak sebesar Rp 1.469 triliun, yang tercapai hanya sebesar Rp 1.240 atau sebesar 85% dari target. Akibatnya, defisit yang dipatok 2,1% melar menjadi 2,6% dari PDB. Pembengkakan defisit tersebut praktis membuat pembiayaan dalam bentuk utang naik dari Rp 222 triliun menjadi Rp 318 triliun.

Manfaat lain yang diharapkan Pemerintah dari tax amnesty adalah masuknya dana penduduk Indonesia yang selama ini disimpan di luar negeri. Menurut McKensey, ada sekitar USD250 miliar atau sekitar Rp 3.250 triliun kekayaan orang-orang kaya Indonesia (High Net Worth Individuals) yang disimpan di luar negeri. Dari jumlah itu, USD200 disimpan di Singapura baik dalam bentuk real estate, deposito dan saham. Bank Indonesia dengan menggunakan data Global Financial Integrity: Illicit Financial Flows Report 2015, memperkirakan nilai dana yang tidak jelas sumbernya yang berasal dari Indonesia yang ditaruh di luar negeri mencapai Rp 3.147 triliun.

Masuknya sebagian dana tersebut ke dalam perekonomian nasional, menurut Pemerintah, akan menjadi energi baru untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Nilai rupiah akan menguat. Likuiditas perbankan akan meningkat sehingga diharapkan dapat mendorong pertumbuhan kredit. Uang yang diinvestasikan dalam bentuk obligasi dan saham juga akan meningkatkan sumber pembiayaan pembangunan dan kegiatan bisnis.

Selain itu, dalam jangka panjang, data basis pajak baik orang dan harta yang menjadi objek pajak akan meningkat. Dengan demikian potensi penerimaan pajak Indonesia akan semakin besar. Penerimaan pajak Indonesia yang diukur terhadap besar PDB (tax ratio) pun—yang saat ini hanya sekitar 12%—akan naik mendekati negara-negara maju yang berada pada kisaran 24% atau negara berpendapatan menengah yang berada dalam kisaran 16%-18%.

Sekadar catatan, upaya untuk meningkatkan tax ratio ini merupakan salah satu bagian dari target Millenium Development Goals (MDGs) yang menjadi komitmen Pemerintah Indonesia bersama sejumlah negara.

Meskipun demikian, tidak sedikit yang menyangsikan optimisme Pemerintah tersebut. Pasalnya, orang-orang yang mendapat pengampunan pajak, meskipun dibebaskan dari segala tuntutan yang terkait dengan pajak dan datanya dirahasiakan, mereka tidak dijamin dari tuntutan pidana atas tindakan kriminal yang menjadi sebab kepemilikan aset mereka. Padahal diperkirakan banyak dari dana-dana yang diparkir di luar negari tersebut berasal dari pendapatan ilegal seperti pendapatan yang diperoleh dari hasil korupsi, transaksi narkoba, kegiatan penangkapan ikan secara ilegal, pertambangan ilegal, dan pembalakan hutan secara liar. Jika para penegak hukum dapat melacak sumber pendapatan tersebut maka wajib pajak pelapor dapat diseret ke meja hijau. Bagi para pemilik dana akan lebih aman menyimpan dana mereka di luar negeri terutama di negara-negara yang pajaknya rendah (tax haven) seperti Singapura.

Di sisi lain, tax amnesty memberikan rasa ketidakadilan kepada para wajib pajak yang selama ini taat dalam membayar pajak. Kebijakan ini dapat memicu wajib pajak yang patuh untuk ikut mengemplang pajak dengan harapan bahwa suatu saat Pemerintah akan memberikan pengampunan kepada mereka. Sebagaimana diketahui, Pemerintah Indonesia telah beberapa kali melakukan pengampunan pajak yakni pada tahun 1964, 1984 dan 2007.

 

Problem Kapitalisme

Di negera-negara Kapitalisme, pajak adalah pilar utama penerimaan negara terutama Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi dan badan dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Di Indonesia, pendapatan perpajakan terhadap APBN mencapai sekitar 82% dari total penerimaan negara. Meskipun demikian, nilainya masih dianggap kurang oleh Pemerintah karena rasionnya terhadap PDB (tax ratio) masih dikisaran 12%. Di sisi lain, porsi pendapatan dari Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) seperti royalti pertambangan dan pendapatan BUMN terus turun.

Oleh karena itu, Pemerintah terus memperluas basis dan objek kena pajak di samping mengutak-atik tarif pajak untuk meningkatkan penerimaan. Tarif pajak penghasilan orang pribadi ditetapkan secara progresif. Artinya, semakin tinggi pendapatan seseorang maka tarif pajak yang dikenakan kepada dia semakin tinggi. Di Indonesia, tarif pajak penghasilan pribadi mulai dari 5%-30%. Rinciannya, 5% untuk penghasilan bersih kena pajak hingga 50 juta; 15% untuk penghasilan 50 juta-250 juta; 25% untuk penghasilan 250 juta-500 juta; dan 30% untuk penghasilan di atas 500 juta. Jika penghasilan bersih seorang direksi, misalnya, sebesar Rp 2 miliar dalam setahun maka sekitar Rp 600 juta harus disetor ke negara. Di banyak negara tarif pajak penghasilan tertinggi bahkan hampir mencapai separuh pendapatan seperti di Jerman (47,5%), Spanyol (47%), Prancis (45%), Inggris (45%), Cina (45%) dan Amerika Serikat (40%).

Tarif pajak yang tinggi tersebut tentu saja membuat banyak orang terutama yang kaya merasa keberatan meski pendapatannya diperoleh secara legal. Pasalnya, semakin produktif mereka dalam menghasilkan kekayaan maka persentasi kekayaan yang ditarik negara akan semakin besar. Oleh karena itu, banyak wajib pajak melakukan berbagai cara untuk mengurangi kewajibannya seperti memanipulasi laporan keuangan, menyuap petugas pajak hingga menyembunyikan kekayaan mereka di negara-negara tax haven, negara yang memiliki tarif pajak yang rendah dan kerahasiaan informasi keuangan seseorang dijaga secara hukum seperti Sigapura, Swiss, Hongkong, Mauritius, dan Panama. Sebagian lagi memilih untuk berpindah kewarganegaraan seperti yang dilakukan salah satu pendiri Facebook, Eduardo Saverin, yang melepas kewarganegaraannya di AS untuk menjadi warga Singapura demi menghindari pajak yang tinggi. Terbongkarnya Panama Papers yang sempat membuat heboh beberapa negara, menjadi bukti banyaknya orang kaya termasuk dari Indonesia yang menyimpan harta mereka di negara-tax haven demi mengurangi pengeluaran untuk pajak, di samping motif untuk mempermudah kegiatan bisnis, dan upaya untuk menyembunyikan harta yang diperoleh secara ilegal.

 

Pandangan Islam

Praktik sistem Kapitalisme tentu berbeda dengan konsep Islam. Dalam pandangan Islam, negara Khilafah pada dasarnya tidak diperkenankan untuk menarik pajak. Menurut Atha Abu Rasytah, larangan tersebut berdasarkan sabda Rasulullah saw. bersabda:

لا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ

Tidak akan masuk surga para penarik cukai (HR Ahmad).

 

Maksud cukai di sini adalah harta yang ditarik dari pedagang yang melintasi perbatasan negara. Namun, terdapat dalil yang melarang seluruh bentuk penarikan pajak yaitu sabda Rasulullah saw.:

إِنَّ دِمَاءَكُمْ وَأَمْوَالَكُمْ وَأَعْرَاضَكُمْ عَلَيْكُمْ حَرَامٌ كَحُرْمَةِ يَوْمِكُمْ هَذَا فِي بَلَدِكُمْ هَذَا فِي شَهْرِكُمْ هَذَا…

Sesungguhnya darah, harta dan kehormatan kalian haram sebagaimana haramnya hari ini, di negeri ini dan di bulan ini… (HR al-Bukhari Muslim).

Hadis ini menjadi dalil atas ketidakbolehan Pemerintah menarik pajak dalam membiayai penyelenggaraan negara. Negara hanya mengandalkan sumber-sumber pendapatan Baitul Mal telah ditetapkan oleh syariah seperti fai, ghanimah, anfal, kharaj, jizyah, zakat (khusus untuk 8 asnaf), pendapatan dari harta milik umum dan harta milik negara dan sebagainya. Jika sumber-sumber tersebut dikelola dengan baik maka akan cukup untuk membiayai pengeluaran negara.

Hanya saja, jika sumber pendapatan tersebut ternyata tidak mencukupi dalam membiayai pengeluaran yang bersifat wajib yang telah ditetapkan oleh syariah seperti pembayaran gaji pegawai negara, pemberian santunan kepada fakir miskin, pembiayaan aktivitas jihad, penanggulangan bencana, dan pembangunan infrastruktur yang dapat menimbulkan dharar jika tidak dibangun, maka kewajiban tersebut jatuh kepada kaum Muslim dalam bentuk pajak. Meskipun demikian, penarikan pajak tersebut hanya dibebankan kepada mereka yang kaya, yakni mereka yang memiliki kelebihan atas pemenuhan kebutuhan pokok dan sekundernya secara layak. Selain itu, jumlah dana yang ditarik tidak boleh melebih kebutuhan Baitul Mal dalam membiayai pengeluaran wajib tersebut di atas. Penarikan pajak juga bersifat sementara karena akan dihentikan jika kebutuhan tersebut telah terpenuhi.

Akan halnya zakat yang dikenakan atas penghasilan seseorang muslim maka tarifnya hanya sebesar 2,5% dari hartanya jika telah mencapai batas minimal (nishab) yakni setara nilai 85 gram emas dan telah dimiliki selama setahun. Dengan tarif zakat yang bersifat tetap (flat) tersebut maka sebanyak apapun penghasilan seseorang maka ia hanya dikenakan tarif zakat yang sama. Adapun ahlu dzimmah, orang kafir yang tinggal di dalam negara Khilafah Islam, mereka sama sekali tidak dikenakan pajak atas penghasilannya. Mereka hanya membayar jizyah sekali setahun yang nilainya ditetapkan oleh Khalifah berdasarkan pendapatan ahli bahwa nilai tersebut tidak menyusahkan ahlu dzimmah.

Demikianlah, Islam memberikan solusi atas permasalahan negara dalam mengatasi masalah pendapatan dan pengeluarannya. Seluruhnya didasarkan pada dalil-dalil syariah yang bersumber dari Allah SWT, Zat Yang Mahaadil dan Bijaksana.

Konsep tersebut jelas berbeda dengan sistem Kapitalisme seperti di negara ini ketika UU termasuk APBN disusun berdasarkan hawa nafsu manusia. Akibatnya, yang terjadi adalah meluasnya praktik kezaliman Pemerintah. Di antaranya rakyat, termasuk yang miskin, dibebani berbagai bentuk pajak dan pungutan untuk membiayai negara. Di sisi lain kekayaan negara diserahkan pengelolaannya kepada pihak asing. Pada saat yang sama, Pemerintah tak segan berkompromi dengan orang-orang kaya pelangar hukum dengan memberikan pengampunan pajak kepada mereka, tak peduli jika harta mereka diperoleh secara ilegal.

WalLâhu ‘alam bi ash-shawab. [Muhammad Ishaq]

 

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*