Al-Mâni’ berasal dari kata mana’a–yamna’u–man’[an]; artinya mencegah, menghalangi, menolak. Al-Mâni’ adalah bentuk ism fâ’il (kata benda pelaku) dari mana’a. Karena itu secara bahasa al-mâni’ artinya yang mencegah, yang menghalangi atau yang menolak.Hanya saja, istilah al-mâni’ dipakai oleh para ulama ushul fikih sebagai haqîqah ‘urfiyah untuk menunjuk pada konotasi tertentu dalam disiplin ilmu ushul fikih. Para ulama ushul fikih memasukkan al-mâni’ sebagai bagian dari khithâb al-wadh’i.Ibnu an-Najar di dalam Syarh al-Kawâkib al-Munîr menjelaskan, al-mâni’ adalah apa yang keberadaannya mengharuskan ketiadaaan dan ketiadaannya tidak berkonsekuensi ada dan tidak ada karena sendirinya (li dzâtihi). Pengertian itu sekaligus membedakan al-mâni’ dari sebab dan syarat.
Keberadaan al-mâni’ yang berkonsekuensi pada ketiadaan membedakan dengan as-sabab, karena as-sabab itu keberadaannya berkonsekuensi pada adanya musabab. Adapun ketiadaan al-mâni’ tidak berkonsekuensi pada ada dan tidak ada. Hal itu membedakan al-mâni’ dari syarat. Karena ketiadaan syarat berkonsekuensi pada tidak adanya al-masyrûth (yang disyaratkan). Adapun kata li dzâtihi (karena dirinya sendiri) membedakan dari pengaitan al-mâni’ karena adanya sebab lain, sebab konsekuensi ada hukum bukan karena tidak adanya al-mâni’, tetapi karena adanya sebab lain. Seperti orang murtad yang membunuh anaknya, maka dia dibunuh karena riddah, dan dia tidak dibunuh sebagai qishâsh sebab status bapak itu menghalangi qishâsh.
Muhammad bin Abdullah az-Zarkasyi menjelaskan di dalam Bahr al-Muhîth bahwa al-mâni’ merupakan lawan dari syarat. Al-Mâni’ adalah apa yang keberadaannya berkonsekuensi pada tidak adanya hukum. Contohnya seperti utang bersama dengan wajibnya zakat dan status bapak dengan qishâsh. Aspek antagonis di sini bahwa syarat itu jika tidak ada maka hukum juga tidak ada. Adapun al-mâni’ sebaliknya; adanya al-mâni’ berkonsekuensi pada tidak adanya hukum. Jadi adanya al-mâni’ dan tidak adanya syarat adalah sama dalam hal berkonsekuensi pada tidak adanya hukum. Tidak adanya al-mâni’ dan adanya syarat juga sama dalam hal bahwa keduanya tidak berkonsekuensi pada ada dan tidak adanya hukum.
Al-Mâni’ merupakan bagian dari hukum wadh’i. Artinya, itu merupakan seruan Asy-Syâri’ yang berkaitan dengan hukum. Karena itu, agar sesuatu menjadi mâni’ secara syar’i maka harus ada dalil syariah yang menunjukkannya. Jika tidak ada maka tidak bisa dinilai sebagai mâni secara syar’i.
Contoh, hilangnya akal dan pra-balig menjadi mâni’ sebab nas syariah menunjukkan bahwa pra-balig dan hilang akal karena tidur atau gila menghalangi taklif hukum sesuai sabda Rasul saw.:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الْمَجْنُونِ حَتَّى يَفِيقَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَبْلُغَ
Diangkat pena dari tiga golongan: dari orang yang tidur hingga ia bangun; dari orang gila hingga ia sembuh; dari anak kecil hingga ia balig (HR al-Baihaqi)
Contoh lain, tidak mampu menjadi mâni’ dari kewajiban berhaji. Hal itu berdasarkan firman Allah SWT:
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً
Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah (QS Ali Imran [3]: 97)
Jadi al-mâni’ adalah apa yang ditunjukkan oleh nas syariah atau dalil sam’i bahwa eksistensinya meniscayakan antitesis dari apa yang ia halangi. Menurut Syaikh Atha’ bin Khalil Abu ar-Rasytah dalam Taysîr al-Wushûl ilâ al-Ushûl, al-mâni’ adalah setiap sifat yang mengikat yang ditunjukkan oleh dalil sam’i bahwa keberadaannya meniscayakan adanya ‘illat (alasan) yang menafikan ‘illat (sebab) sesuatu yang ia halangi. Dengan ungkapan lain, al-mâni’ adalah setiap apa yang meniscayakan adanya ‘illat yang menafikan ‘illat apa yang dihalangi.
Pengertian itu menjelaskan bahwa al-mâni’ itu bisa saja membatalkan as-sabab atau membatalkan hukum. Imam asy-Syawkani dalam Irsyâd al-Fuhûl mengartikan al-mâni’ adalah apa yang keberadaannya meniscayakan tidak adanya hukum atau batalnya sebab.
Pengertian di atas sekaligus menjelaskan klasifikasi al-mâni. Imam al-Amidi dalam Al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm menjelaskan bahwa al-mâni’ diklasifikasikan menjadi dua: mâni’ al-hukmi dan mâni’ as-sabab.
Menurut al-Amidi, mâni’ al-hukmi adalah setiap sifat yang eksis, nyata dan mengikat yang karena hikmah tuntutannya meniscayakan bertahannya antitesis hukum sebab, disertai bertahannya hikmah sebab. Adapun mâni’ as-sabab, menurut al-Amidi, yaitu setiap sifat yang eksistensinya menghilangkan hikmah sebab secara yakin.
Menurut syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyah Juz III, mâni’ al-hukmi adalah washf[un] zhâhir[un] mundhabith[un] yastalzimu wujûduhu ‘aksa mâ yaqtadhîhi al-hukmu (sifat yang nyata dan mengikat yang eksistensinya meniscayakan antitesis dari apa yang dituntut (diharuskan) oleh hukum). Adapun mâni’ as-sabab, adalah washf[un] zhâhir[un] mundhabith[un] yastalzimu wujûduhu ‘aksa mâ yaqtadhîhi as-sabab (sifat yang nyata dan mengikat yang eksistensinya meniscayakan antitesis dari apa yang diharuskan (dituntut) oleh sebab).
Contoh mâni’ al-hukmi adalah status hubungan bapak-anak dalam masalah qishâsh dengan adanya pembunuhan yang disengaja. Maksudnya, jika bapak membunuh anaknya dengan sengaja maka hubungan bapak anak itu menjadi mâni’ (penghalang) atas penjatuhan qishâsh terhadap dirinya seraya status bapak masih tetap ada. Pembunuhan menjadi mâni’ bagi anak yang membunuh bapaknya untuk bisa mewarisi dari bapaknya. Padahal hubungan bapak anak itu mengharuskan pewarisan. Contoh lain, haid dan nifas menjadi mâni’ dari kewajiban shalat meski sebab shalat yaitu masuknya waktu itu, eksis.
Contoh mâni’ as-sabab, seperti utang dalam hal zakat atas harta yang telah mencapai nishâb dan telah berlalu satu haul. Sebab, utang itu menghalangi dari bertahannya nishâb yang merupakan as-sabab secara sempurna. Nishâb (as-sabab) mengharuskan wajibnya zakat dengan telah berlalunya satu haul, sementara utang (al-mâni’) mengharuskan antitesis dari apa yang diharuskan oleh as-sabab itu. Artinya, utang itu mengharuskan tidak adanya kewajiban zakat meski ada nishâb dan berlalu atasnya satu haul. Utang yang menjadi mâni’ untuk as-sabab ini adalah utang yang mengurangi nishâb, yakni jumlah harta yang ada jika dikurangi utang maka kurang dari nishâb.
Contoh lain adalah tidak bebasnya barang yang dijual, yakni barang yang dijual itu terikat dengan kewajiban tertentu, misalnya dijadikan agunan. Hal itu menjadi mâni’ dari jual-beli yang menjadi sebab kepemilikan. Artinya, tidak bebasnya barang yang dijual itu menghalangi kepemilikan atas barang tersebut, artinya mâni’ di sini (tidak bebasnya barang yang dijual) mengharuskan antitesis dari apa yang diharuskan oleh sebab (jual-beli) yaitu kepemilikan.
Dilihat dari sisi tuntutan (ath-thalab) dan pelaksanaan (al-adâ‘), al-mâni’ bisa diklasifikasikan menjadi dua jenis. Pertama: Al-Mâni’ yang menghalangi dari tuntutan dan sekaligus pelaksanaan. Artinya, al-mâni’ di sini tidak mungkin ada bersama tuntutan dan pelaksanaan sekaligus. Contohnya adalah hilang akal karena tidur dan gila. Hal itu menghalangi tuntutan shalat, puasa, jual-beli, ijarah dan hukum-hukum lainnya; sekaligus menghalangi pelaksanaannya. Orang yang hilang akal, misalnya orang yang sedang tidur atau orang yang gila, tidak dituntut untuk shalat, puasa dan sebagainya; sekaligus ia tidak boleh melaksanakan shalat, puasa dan sebagainya itu. Hilang akal itu menjadi mâni’ (penghalang) dari asal tuntutan sebab akal menjadi syarat terkaitnya khithâb (seruan) dengan perbuatan mukallaf sebab akal adalah manâth taklîf. Contoh lain, haid dan nifas menjadi mâni’ untuk shalat, puasa, masuk masjid dan sekaligus menghalangi pelaksanaannya. Haid dan nifas itu menjadi mâni dari asal thalab sebab suci dari haid dan nifas merupakan syarat shalat, puasa dan masuk masjid.
Kedua: Al-Mâni’ yang menghalangi tuntutan, tetapi tidak menghalangi pelaksanaan. Artinya, dengan adanya al-mâni’ itu, seorang mukallaf tidak dituntut dengan hukum tersebut, tetapi dia tidak dilarang untuk melaksanakannya dan jika ia melaksanakannya maka sah. Contoh, jenis kelamin perempuan merupakan mâni’ dari tuntutan kewajiban shalat Jumat dan pra-balig menjadi mâni’ untuk puasa dan shalat. Artinya, perempuan tidak diwajibkan shalat Jumat, dan anak pra-balig tidak diwajikan shalat dan puasa. Namun, perempuan tidak dilarang menunaikan shalat dan anak pra-balig tidak dilarang menunaikan shalat dan puasa. Jadi jika perempuan melaksanakan shalat Jumat atau anak pra-balig menunaikan shalat dan puasa maka sah. Contoh lainnya, safar merupakan mâni’ dari tuntutan puasa dan shalat dengan bilangan rakaat penuh. Akan tetapi, jika seorang musafir berpuasa atau melaksanakan shalat dengan bilangan rakaat penuh dan tidak meng-qashar-nya maka boleh dan sah. Begitu juga semua sebab rukhshah merupakan mâni’ dari tuntutan dan bukan mâni’ dari pelaksanaan.
Begitulah, eksistensi al-mâni’ meniscayakan antitesis dari hukum dan membatalkan as-sabab. Jika al-mâni’ itu ada maka hukum tidak ada dan sebab serta konsekuensinya batal.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yoyok Rudianto]