…وَمَنْ أَتَى أَبْوَابَ السُّلْطَانِ افْتُتِنَ وَمَا ازْدَادَ عَبْدٌ مِنَ السُّلْطَانِ قُرْباً إِلاَّ ازْدَادَ مِنَ اللَّهِ بُعْداً
“…Siapa saja yang mendatangi pintu-pintu penguasa, dia terkena fitnah. Tidaklah seorang hamba bertambah dekat dengan penguasa kecuali bertambah jauh dari Allah.” (HR Ahmad dalam Musnad, hadis no. 9071 dan 9934; al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubrâ, hadis no. 20752; Ishaq Ibnu Rahawaih dalam Musnad-nya, hadis no. 429).
Ibnu ‘Abbas ra meriwayatkan hadis tersebut dengan lafal lebih pendek. Rasulullah saw. bersabda:
…وَمَنْ أَتَى السُّلْطَانَ افْتُتِنَ
“…Siapa saja yang mendatangi penguasa, dia terkena fitnah.” (HR Abu Dawud dalam Sunan-nya, hadis no. 2861; at-Tirmidzi dalam Sunan-nya, hadis no. 2256; Ahmad dalam Musnad, hadis no. 3421; al-Baihaqi dalam Sunan al-Kubrâ, hadis no. 20750).
Abu Dawud meriwayatkan dalam Sunan-nya hadits no. 2862 dari Abu Hurairah ra, dari Nabi saw:
وَمَنْ لَزِمَ السُّلْطَانَ افْتُتِنَ وَمَا ازْدَادَ عَبْدٌ مِنَ السُّلْطَانِ دُنُوًّا إِلاَّ ازْدَادَ مِنَ اللَّهِ بُعْدًا
“Dan siapa saja yang menemani penguasa, niscaya dia terkena fitnah, dan tidaklah seorang hamba bertambah dekat dari penguasa kecuali bertambah jauh dari Allah”.
Al-Minawi di dalam Faydh al-Qadîr saat menjelaskan riwayat Abu Hurairah ra. mengatakan, “Hal itu karena orang yang menghampiri para penguasa ada kalanya menoleh pada kenikmatan-kenikmatan mereka sehingga ia meremehkan kenikmatan dari Allah kepada dirinya; atau ia tidak mengingkari para penguasa, padahal hal itu wajib, sehingga dengan itu dia telah berbuat fasik dan sempitlah hati mereka dengan tampaknya kezaliman para penguasa dan ketercelaan perbuatan mereka; dan ada kalanya ia akan berambisi pada dunia para penguasa itu dan hal itu adalah as-suhtu (kebinasaan).”
Al-Mubarakfuri di dalam Tuhfah al-Akhwadzi menjelaskan riwayat Abu Hurairah ra. di atas, “Siapa yang mendatangi pintu-pintu penguasa, yakni tanpa keperluan dan kebutuhan atas kedatangannya itu, uftutina dengan redaksi pasif, yakni dia terjatuh dalam fitnah. Sebabnya, jika dia menyetujui penguasa dalam apa yang dilakukan oleh penguasa itu dan dia membiarkannya maka dia telah membahayakan agamanya; dan jika dia menyalahi penguasa maka dia bisa membahayakan dunianya.”
Al-Mubarakfuri juga mengutip al-Muzhhir yang mengatakan, “Siapa saja yang menemui penguasa dan bermanis muka kepada penguasa tersebut, niscaya dia jatuh di dalam fitnah. Adapun orang yang tidak bermanis muka, menasihati penguasa dan melakukan amar makruf nahi mungkar kepada penguasa tersebut maka itu merupakan jihad yang paling afdhal.”
Tentang bahaya dekat dengan penguasa itu, al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Îmân meriwayatkan bahwa Ali bin Abi Thalib ra. telah memperingatkan, “Takutlah kalian terhadap pintu-pintu para penguasa.”
Di antara bahayanya, al-Baihaqi dalam Syu’ab al-Îmân meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra. yang berkata, “Sesungguhnya di pintu-pintu penguasa ada berbagai fitnah seperti tempat menderum unta. Tidaklah kalian mendapatkan sesuatu dari dunia mereka kecuali mereka mendapatkan semisalnya dari agama kalian.”
Hadis ini memperingatkan dari salah satu keburukan yang bisa muncul dari kekuasaan. Kekuasaan bukan hanya menjadi tanggung jawab besar bagi pemegangnya saja. Namun, orang yang dekat dengan kekuasaan atau dekat dengan penguasa untuk kepentingan dirinya atau untuk sesuatu duniawi pun akan ikut korup dan terimbas oleh keburukan kekuasaan dan penguasa.
Kedekatan dengan kekuasaan atau penguasa bukan dalam makna secara sederhana berupa kedekatan fisik atau kekerabatan. Namun, kedekatan tanpa sikap kritis; kedekatan yang tidak lagi bisa melihat keburukan dan kesalahan penguasa; kedekatan yang tidak lagi bisa bersikap kritis dan mengoreksi penguasa; kedekatan dengan mendukung kekuasaan dan penguasa meski dalam kesalahan dan keburukan.
Hadis ini mengisyaratkan agar orang tetap independen, jauh dari pengaruh kekuasaan dan penguasa. Dengan begitu ia tetap bisa awas, tidak kehilangan daya kritis, mampu bersikap kritis, menasihati penguasa, melakukan amar makruf nahi mungkar dan mengoreksi penguasa.
Hadis ini menunjukkan besarnya perhatian Islam agar kekuasaan tetap akuntabel, juga agar umat bisa menjalankan kewajibannya dengan baik dalam mengawasi dan mengoreksi kekuasaan. Hal itu akan terealisasi dengan baik jika umat tetap independen jauh dari pengaruh kekuasaan dan penguasa sehingga tetap awas terhadap praktik kekuasaan dan mampu mengoreksi penguasa.
Ulama dan tokoh umat merupakan aktor penting dalam hal itu. Karena itu ulama dan tokoh umat haruslah menjaga jarak dari kekuasaan dan penguasa sehingga tetap independen, bebas dari pengaruh dan tidak terkooptasi oleh kekuasaan dan penguasa.
Untuk itu para ulama salafus salih cenderung menjaga jarak dengan penguasa, tidak mau mendatangi dan mengetuk-ngetuk pintu penguasa. Bukan mereka yang datang kepada penguasa, sebaliknya penguasa yang datang kepada mereka untuk mendapatkan nasihat, kritikan dan pencerahan.
Sejarah umat Islam penuh dengan contoh para ulama yang tetap menjaga ‘izzah-nya, tidak mendekat ke kekuasaan dan penguasa, menjaga agar tidak terkooptasi oleh penguasa dan tetap menjalankan kewajiban amar makruf nahi mungkar terhadap penguasa. Untuk itu kita mendapati banyak ulama terdahulu tidak mau datang kepada penguasa, kecuali untuk menasihati dan melakukan amar makruf nahi mungkar terhadap penguasa tersebut. Untuk menjaga semua itu, para ulama dulu bahkan enggan menerima pemberian penguasa, agar tidak terikat utang budi. Imam Sufyan ats-Tsauri pernah berkata, “Aku tidak khawatir dengan penghinaan mereka (penguasa) kepadaku. Aku justru khawatir dengan penghormatan dan pemuliaan mereka sehingga hatiku cenderung kepada mereka.”
Kalaupun para ulama mendatangi penguasa bukan untuk mendekati penguasa, tetapi untuk melakukan amar makruf nahi mungkar, apalagi ketika penguasa banyak melakukan keburukan, penyimpangan dan kezaliman. Hadis “Sayyidu asy-syuhadâ” dan “Afdhal al-jihâd” selalu terngiang di benak mereka.
Jika umat Islam, khususnya ulama dan tokoh mereka, memperhatikan peringatan hadis ini, niscaya umat terus ada dalam kebaikan.
WalLâh a’lam bi ash-shawâb. [Yoyok Rudianto].