Tak ada yang paling membahagiakan perempuan, melainkan ketika hidup di bawah sistem Khilafah Islam. Bahkan meski mereka hidup sebagai kaum minoritas, mereka tetap merasakan kebahagiaan melebihi ketika mereka hidup di bawah kekuasaan lain. Perlindungan yang diberikan negara Khilafah pun tidak hanya bagi perempuan, namun juga keluarga dan komunitas mereka. Tidak seperti dalam sistem demokrasi kapitalis saat ini, kaum non-Muslim yang notabene minoritas di negeri ini bahkan kerap melakukan tirani atas kaum kaum Muslim yang mayoritas. Kerukunan umat beragama pun koyak.
Khilafah Islam mampu mengatur kaum non-Muslim dan mendudukkan mereka sebagai bagian dari sebuah masyarakat Islam yang maju. Hak dan kewajiban mereka diatur. Keberadaan mereka, sekalipun minoritas, tetap mendapatkan perlindungan selama mereka tidak mengancam keutuhan dan eksistensi Daulah.
Pengaturan non-Muslim dalam Khilafah didasarkan pada konsep bahwa Islam adalah rahmat bagi seluruh alam, baik bagi Muslim dan non-Muslim, laki-laki maupun perempuan (Lihat: QS al-Anbiya [21]: 107).
Karena itu Daulah Islam membolehkan non-Muslim menjadi warga negara dengan syarat mereka tunduk pada peraturan Daulah. Syariah Islam juga telah merinci hukum-hukum yang mengatur non-Muslim yang hidup di dalam Negara Khilafah.
Hak dan Kewajiban Non-Muslim
Dalam hukum Islam, warganegara Khilafah yang non-Muslim disebut sebagai kafir dzimmi. Istilah dzimmi berasal dari kata dzimmah, yang berarti “kewajiban untuk memenuhi perjanjian”. Dalam Rancangan UUD Daulah Islam (Masyru’ ad-Dustur pasal 5) dikatakan bahwa setiap warga negara (Khilafah) Islam mendapatkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban sesuai dengan ketentuan syariah.
Oleh karena itu non-Muslim yang menjadi warga Khilafah mendapat perlakuan yang sama dengan warga Muslim. Tidak boleh ada diskriminasi antara Muslim dan dzimmi. Negara harus menjaga dan melindungi keyakinan, kehormatan, akal, kehidupan dan harta benda mereka. Non-Muslim atau kafir dzimmi berhak mendapatkan perlindungan, pelayanan dan perlakuan baik dari Negara Islam.
Imam al-Qarafi menyinggung masalah tanggung jawab negara (Khilafah) terhadap ahludz-dzimmah. Ia menyatakan, ”Kaum Muslim memiliki tanggung jawab terhadap para ahludz-dzimmah untuk menyantuni, memenuhi kebutuhan kaum miskin mereka, memberi makan mereka yang kelaparan, menyediakan pakaian untuk mereka, memperlakukan mereka dengan baik, bahkan memaafkan kesalahan mereka dalam kehidupan bertetangga sekalipun kaum Muslim memang memiliki posisi yang lebih tinggi dari mereka. Umat Islam juga harus memberikan masukan-masukan pada mereka berkenaan dengan masalah yang mereka hadapi dan melindungi mereka dari siapa pun yang bermaksud menyakiti mereka, mencuri dari mereka, atau merampas hak-hak mereka.”
Selain mendapatkan hak perlindungan dan kesejahteraan, non-Muslim juga berkewajiban menjalankan kewajiban-kewajiban sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh peraturan dan konstitusi Khilafah. Pengaturan kewajiban bagi non-Muslim ini didasarkan pada ketentuan syariah, bukan pandangan akal dari Khalifah semata. Hal ini karena hubungan antara Muslim dan non-Muslim merupakan bagian dari taklîf (beban hukum) yang harus diatur berdasarkan syariah Islam.
Cara Berpakaian Non-Muslim
Salah satu persoalan yang cukup penting dalam masyarakat Islam adalah pengaturan pakaian, terutama pakaian perempuan. Jika Muslimah diwajibkan menggunakan jilbab (baju luar terusan) dan khimar (kerudung), maka perempuan non-Muslim pun harus terikat dengan peraturan negara. Dalam Masyrû’ Dustûr (Rancangan UUD) Dawlah Khilâfah dinyatakan: “Non-Muslim diperlakukan dalam perkara makanan dan pakaian menurut agama mereka dalam cakupan apa yang dibolehkan oleh hukum-hukum syariah.”
Dalam masalah pakaian ini, perempuan non-Muslim terikat dengan dua batasan. Pertama: Batasan menurut agama mereka. Mereka diperkenankan untuk berpakaian sesuai agama mereka. Pakaian sesuai agama mereka adalah pakaian agamawan mereka dan agamawati mereka, yaitu pakaian rahib dan pendeta serta pakaian rahib perempuan. Ini adalah pakaian yang disetujui dalam agama mereka. Laki-laki dan perempuan non-Muslim ini boleh mengenakan pakaian ini.
Kedua: Batasan yang ditetapkan oleh hukum-hukum syariah, yaitu hukum-hukum kehidupan umum yang mencakup seluruh rakyat, baik Muslim maupun non-Muslim, untuk laki-laki dan perempuan.
Jadi pada dasarnya pakaian mereka dalam kehidupan umum adalah sama dengan perempuan Muslim. Pakaian sesuai agama mereka hanyalah pengecualian. Artinya, selain pakaian agama mereka, diberlakukan atas mereka hukum-hukum syariah dalam kehidupan umum. Hal ini berlaku untuk laki-laki dan perempuan.
Ketentuan pakaian dalam kehidupan umum ini berlaku atas seluruh individu rakyat, Muslim dan non-Muslim. Tidak dikecualikan untuk non-Muslim kecuali pakaian sesuai agama mereka. Selain itu, mereka wajib menutup aurat, tidak ber-tabarruj dan wajib mengenakan jilbab dan kerudung. Celana panjang tidak dibolehkan dalam kehidupan umum karena termasuk tabarruj meski hal itu menutup aurat.
Fakta sejarah menyatakan bahwa sepanjang masa Khilafah, para wanita baik Muslimah maupun non-Muslimah mengenakan jilbab, yakni pakaian yang luas di atas pakaian dalam rumah dan mereka menutupi kepala mereka. Sebagian kampung yang di situ ada Muslimah dan non-Muslimah, pakaian mereka tidak bisa dibedakan, hingga setelah hancurnya Khilafah.
Pengaruh hal itu masih ada sampai pada batas tertentu. Jika kita bisa bertanya kepada wanita yang berusia lanjut di atas tujuh puluh tahun dan delapan puluhan, niscaya mereka mengatakan tentang kesaksian mereka untuk sebagian kampung di Palestina bagaimana mereka melihat para wanita Nasrani dan Muslimah dalam pakaian yang serupa di kampung-kampung itu. Inilah hal yang bisa menunjukkan bahwa pakaian perempuan non-Muslim dalam kehidupan umum diatur sesuai syariah.
Hak-hak Politik
Syariah juga mengatur hak-hak politik non-Muslim, baik laki-laki maupun perempuan. Di antaranya, mereka memiliki hak untuk memilih dan dipilih sebagai anggota Majelis Umat. Keberadaan mereka sebagai anggota Majelis Umat berfungsi untuk menampung aspirasi kalangan mereka terhadap perlakuan hukum oleh penguasa pada diri mereka, atau untuk mengoreksi kesalahan implementasi hukum Islam atas diri mereka.
Namun, mereka tidak berhak menyuarakan pendapat atas hal-hal yang berkenaan dengan hukum, karena hukum Islam merupakan turunan dari akidah Islam. Dalam hal ini kaum non-Muslim meyakini doktrin asing dan bertentangan dengan akidah Islam. Karena itu opini mereka tidak dibutuhkan dalam masalah hukum.
Anggota Majelis dari kalangan non-Muslim tidak memiliki hak untuk mengkaji pengadopsian yang dilakukan Khalifah dalam hal hukum dan peraturan Islam karena mereka tidak mengimani ajaran Islam. Hak mereka hanyalah untuk menyuarakan pendapat mereka atas ketidakadilan penguasa terhadap mereka, bukan dalam mengekspresikan pendapat atas hukum dan peraturan Islam.
Kaum non-Muslim juga tidak berhak untuk membaiat Khalifah. Tentu karena baiat didasarkan atas akidah Islam dan mereka terhalang untuk itu. Meski demikian, mereka tetap memiliki hak untuk mengadukan pelaksanaan kebijakan Khalifah. Hilangnya hak memilih Khalifah tidak bisa dianggap sebagai perlakuan diskriminatif (sebagaimana dalam sistem demokrasi) atau menomorduakan kelas. Sebab, baiat Khalifah adalah bagian dari ketentuan Islam yang harus dihormati oleh kaum lain sebagaimana mereka wajib menghargai pelaksanaan ibadah kaum Muslim. Hal ini pun tidak menjadi persoalan sepanjang sejarah Khilafah Islam memimpin kaum non-Muslim.
Jaminan Keamanan dan Kesejahteraan
Ketika non-Muslim diwajibkan membayar jizyah (pungutan tahunan, QS at-Taubah [9]: 29), Khilafah juga berkewajiban melindungi mereka. Jizyah diambil tanpa memberatkan mereka karena hanya diambil dari orang-orang dewasa yang sehat akalnya; tidak dari anak kecil, orang gila, atau wanita. Bahkan besarannya dengan mempertimbangkan aspek-aspek kesejahteraan dan kemiskinan.
Jaminan terhadap keamanan kaum dzimmi ini juga tampak dari pernyataan Imam Abu Hanifah, “Bila seorang Muslim membunuh siapapun dari kalangan ahludz-dzimmah, dia wajib dihukum dengan dibunuh pula. Ini berlaku baik pada perempuan maupun lelaki.”
Kesejahteraan mereka dalam Khilafah pun terjamin. Mereka berhak melakukan muamalah (bisnis) dengan kaum Muslim sesuai dengan ketentuan hukum negara. Kaum miskin ahludz-dzimmah (non-Muslim) pun berhak mendapatkan bantuan dari Baitul Mal (Kas Negara).
Ini jelas sangat berbeda dengan perlakuan dunia Barat dan Timur. Mereka membatasi imigran dalam hal perekonomian, bersikap rasis terhadap mereka, serta membuat aturan ketat yang mencegah masuknya kaum imigran. Daulah Islam tidak menerapkan kebijakan macam itu. Siapapun yang ingin menjadi warga negara Khilafah memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara lainnya.
Sultan Bayazid II pernah menerima pengungsi Yahudi yang diusir oleh Raja Katolik Spanyol Ferdinand. Hal yang sama juga dilekukan—setelah Konstantinopel dibebaskan—oleh Muhammad al-Fatih terhadap kaum Yahudi.
Demikianlah di antara hukum-hukum yang mengatur non-Muslim dalam Khilafah. Persamaan dan perbedaan perlakuan pada akhirnya bermuara pada kesejahteraan yang didamba semua golongan, Muslim dan non-Muslim. Tentu, hal ini hanya terjadi saat mereka diatur dengan syariah Islam dalam Daulah Khilafah Islam. [Noor Afeefa]