Turki saat ini masuk dalam kelompok dua puluh negara dengan perekonomian terbesar di dunia (G-20), peringkat ke-18, dua tingkat di bawah Indonesia. PDB perkapita negara ini menurut IMF sebesar USD 9.437 pada tahun 2015, naik dari 10 tahun lalu yang mencapai USD 7.638. Pertumbuhan industri manufaktur dan jasa terutama di sektor pariwisata serta pesatnya pembangunan infrastruktur negara ini membuat ekonomi negara ini mengalami kemajuan cukup signifikan. Beberapa perusahaan dari negara ini juga mampu menjadi perusahaan kelas dunia seperti Turk Telekom dan Turkish Airlines.
Hanya saja, pertumbuhan ekonomi negara ini sangat tidak stabil. Dalam sepuluh tahun terakhir (2006-2015), rata-rata pertumbuhan ekonomi Turki mencapai 3,8 persen. Beberapa kali negara ini mengalami pertumbuhan ekonomi negatif baik akibat kerentanan ekonomi domestik maupun kuatnya dampak krisis global dan regional seperti yang terjadi pada tahun 1999, 2001 dan 2008.
Tingkat inflasi di negara ini pun cukup tinggi. Dalam sepuluh tahun terakhir angkanya mencapai 8,3 persen. Angka ini selalu di atas target yang ditetapkan oleh Bank Sentral negara itu.
Kemajuan ekonomi yang dicapai Turki pun tidak membuat tingkat kesejahteraan terdistribusi dengan baik. Dalam 10 tahun terakhir rata-rata tingkat pengangguran terbuka negara dengan populasi 78 juta jiwa ini mencapai 9,9 persen. Pada tahun 2015, mengutip data IMF, pengangguran menyentuh angka 10,5 persen dari total angkatan kerja di negara tersebut. Koefisien gini, angka yang mengukur tingkat ketimpangan pendapatan penduduk, juga cukup tinggi yakni 0,42. Ketimpangan tersebut hampir sama dengan Indonesia.
Untuk mendorong pertumbuhan ekonominya, juga ambisinya menjadi bagian dari Uni Eropa, Turki secara massif melakukan liberalisasi ekonomi, termasuk di sektor perdagangan dan investasi. Bahkan menurut Pemerintah Amerika Serikat, Turki merupakan salah satu negara yang paling liberal dari sisi regulasi di antara negara-negara OECD (Organisation for Economic Co-operation and Development) dalam menarik investasi langsung dari negara luar negeri. Peraturan investasi di negara itu dianggap sangat sederhana dan sesuai dengan strandar internasional. Semua investor di negara itu, investor lokal maupun asing, diperlakukan sama baik. Pemerintah juga tidak membatasi atau mengontrol investasi pada sektor-sektor tertentu. Dengan kata lain, regulasi investasi di negara itu sejalan dengan apa yang telah ditetapkan oleh WTO; tidak ada regulasi yang menghambat akses investasi di negara itu.1
Di sektor perdagangan, Turki gencar menggalang kerjasama pasar bebas (free trade) dengan berbagai negara. Hingga saat ini, 60 persen mitra dagang Turki adalah negara-negara Eropa terutama dengan negara-negara yang tergabung dengan Uni Eropa yang mencapai 40 persen. Selain karena letak geografis yang berdekatan, sejak tahun 1995 Turki juga telah ikut dalam perjanjian perdagangan bebas di kawasan tersebut (European Free Trade Assosiation).
Hingga saat ini, menurut Kementerian Perdagangan Turki, ada 19 negara yang telah menjalin perjanjian perdangangan bebas dengan negara tersebut, termasuk dengan Israel. Turki juga berencana memperluas perdagangan bebas dengan sejumlah negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jepang dan Kanada.2 Dengan kebijakan tersebut hambatan tarif dan non tarif negara itu dipangkas sehingga aliran barang dan jasa akan menjadi lebih lancar.
Di Turki liberalisasi sektor finansial telah dilakukan sejak tahun 1989 ketika negara ini membuka aliran modal asing. Tranfer modal dan finansial diberi kelonggaran tanpa ada pembatasan. Investor asing juga diberi kemudahan untuk berinvestasi di pasar modal, termasuk memperoleh kredit dari perbankan domestik. Aliran modal yang keluar-masuk dengan mudah ini nyatanya membuat sektor finansial negara ini menjadi lebih rapuh sebagaimana halnya negara-negara kapitalis lainnya. Pasca kebijakan deregulasi di sektor finansial tersebut, perekonomian negara ini semakin rapuh terhadap tekanan finansial global. Krisis demi krisis melanda negara ini. Setelah dihantam krisis tahun 2001 yang membuat nilai tukar negara itu, lira, anjlok, Turki lalu mengikuti mandat IMF untuk menetapkan kebijkan nilai tukar mengambang dengan membatasi intervensi Bank Sentral untuk mengendalikan lira.
Pada tahun 2008, Turki ikut terkena imbas krisis finansial global yang bermula di Amerika Serikat dan menjalar ke kawasan Eropa dan Asia. Perekonomian negara ini ikut kolaps yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi yang negatif 4,8 persen, pelemahan nilai tukar dan anjloknya bursa saham.
Dari sisi fiskal, APBN negara ini juga selalu disusun defisit. Dampaknya, utang negara ini terus meningkat. Pada tahun 2015, total utang Pemerintah mencapai 651 triliun lira, atau 33 persen dari PDB negara itu. Rasio utang terhadap PDB tersebut memang menurun dari tahun 2001, ketika negara ini dilanda krisis. Saat itu kekurangan likuiditas akibat meningkatnya aliran modal keluar mendorong Pemerintah menaikkan utangnya hingga rasionya mencapai 78 persen dari PDB. Meskipun demikian, secara nominal total utang negara tersebut dari tahun ke tahun terus mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi. Jika pada tahun 2006, utang Pemerintah perkapita hanya 5,1 juta lira, maka tahun 2015 angkanya mencapai 8,4 juta lira per penduduk.
Selain bersumber dari utang, Pemerintah Turki juga terus melakukan privatisasi sektor publik dalam skala besar untuk membiayai defisit APBN-nya. Tujuan lain dari program privatisasi tersebut adalah komitmen Pemerintah untuk meminimalkan perannya dalam perekonomian. Pada tahun 2012, misalnya, Pemerintah menawarkan penjualan 100 persen saham Bakken Natural Gas, perusahaan distribusi gas terbesar kedua di Turki, serta menawarkan pengelolaan proyek-proyek jalan tol, pembangkit listrik dan bandar udara kepada swasta. Di antara program privatisasi yang cukup besar adalah penjualan 55 persen saham Turk Telekom kepada Oger Telekomünikasyon, perusahaan patungan Italia dan Saudi pada tahun 2005 lalu. Selain itu, 15 persen lainya dijual ke publik.3 Hingga saat ini sejumlah proyek dan asset Pemerintah juga telah masuk dalam daftar untuk diprivatisasi.
Kemajuan Semu
Kondisi ekonomi yang dilalui oleh Turki saat ini tak banyak berbeda dengan negara-negara kapitalis yang masuk dalam kategori negara-negara berkembang seperti Cina, Afrika Selatan, Brazil dan Indonesia. Perekonomian negara-negara ini dalam beberapa masa tumbuh tinggi sehingga dipuja sedemikian rupa. Namun demikian, pertumbuhan tersebut dalam kenyataannya tidak berlangsung secara berkesinambungan akibat tekanan berbagai krisis baik yang terjadi dari dalam negeri maupun akibat imbas dari negara atau kawasan ekonomi lainya. Performa ekonomi yang tampak kuat yang ditandai dengan berkilaunya indikator-indikator ekonomi makronya dengan mudah redup oleh hantaman krisis. Di sisi lain, kemajuan ekonomi tidak membuat distribusi ekonomi semakin baik. Sebaliknya, kesenjangan ekonomi semakin lebar.
Inilah fenomena lazim pada negara-negara kapitalis sebagaimanya yang ditunjukkan oleh sejarah negara-negara maju yang terlebih dulu menganut sistem ini, seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa yang saat ini masih terpuruk akibat krisis finansial yang terjadi sejak tahun 2008 lalu. Sistem ekonomi kapitalisme yang dibangun atas prinsip liberalisme membuat setiap aktivitas ekonomi tunduk pada kepentingan pelaku ekonomi. Di sisi lain, peran Pemerintah direduksi sedemikian rupa hanya sebagai regulator. Dalam banyak hal, penguasaan kegiatan ekonomi beralih dari Pemerintah kepada pemodal yang selanjutnya mampu mempengaruhi regulasi yang dibuat pemerintah. Hingga saat ini, misalnya, tidak ada kemajuan berarti pada regulasi di sektor finansial di Amerika Serikat meski telah diakui bahwa sumber petaka krisis tahun 2008 lalu akibat kebijakan deregulasi pada sektor ini. Ini karena hubungan pemerintah dan investor raksasa di sektor finansial sangat kuat dan saling mendukung.
Dominasi sistem kapitalisme di Turki dan negara-negara di dunia ini bukanlah tanpa rekayasa. Untuk menjaga agar sistem kapitalisme liberal dapat berjalan efektif, lembaga-lembaga multilateral dibuat untuk mengawasi peran pemerintah agar tunduk pada ideologi. Di bidang perdagangan dan investasi negara-negara di dunia ini dikontrol oleh WTO, di bidang moneter dan finansial ditangani oleh IMF, dan penentuan arah kebijakan pembangunan dimonitor oleh Bank Dunia. Adapun negara-negara yang tidak menjadi bagian dari komunitas global tersebut akan dikucilkan bahkan diembargo.
Karena asasnya yang keropos, bangunan ekonomi sistem ini juga menjadi sangat rapuh. Krisis demi krisis terutama di sektor finansial terus menghantui negara-negara kapitalisme.
Padahal Allah SWT, sebagai Pencipta alam ini, telah menurunkan syariah Islam untuk dijadikan panduan dalam mengatur kehidupan manusia termasuk dalam aspek ekonomi. Sistem paripurna tersebut telah mengatur sedemikian rupa kegiatan ekonomi sehingga tidak hanya mampu menciptakan pertumbuhan yang tinggi, namun juga menghasilkan distribusi kekayaan secara adil kepada seluruh penduduk.
Sistem ekonomi Islam menutup ruang bagi kegiatan ekonomi yang dapat menimbulkan guncangan dan ketidakstabilan ekonomi. Kegiatan ekonomi seperti transaksi riba, perdagangan komoditas secara spekulatif dan perdagangan saham di bursa efek diharamkan di dalam Islam. Penerapan standar moneter yang berbasis emas dan perak juga membuat nilai tukar suatu negara menjadi lebih stabil dibandingkan dengan standar mata uang kertas (fiat money) seperti yang diadopsi oleh seluruh negara dewasa ini.
Hanya saja, sistem tersebut hanya bisa diwujudkan dalam negara yang juga menjadikan Islam sebagai dasar konstitusinya yang dijalankan dengan benar dan penuh amanah. Itulah Khilafah Islam. Sistem pemeritahan Islam ini pernah diterapkan di Turki hingga berakhir pada tahun 1924. Oleh karena itu, hanya dengan kembali menerapkan Islam secara paripurna perekonomian Turki akan tumbuh lebih baik di bawah ridha Allah SWT. Inilah yang menjadi kewajiban pemimpin negeri-negeri Islam, mengatur negara mereka sesuai dengan syariah Islam di bawah institusi Khilafah Islam.
Umat Islam wajib melakukan muhâsabah kepada para penguasa mereka agar kembali ke syariah Islam yang agung, bukan malah membela penguasa yang membebek pada ideologi kapitalisme.
WalLâhu a’lam bi ash-shawâb. [Muhammad Ishak]
Catatan kaki:
1http://www.state.gov/e/eb/rls/othr/ics/2015/241775.htm
2http://yoikk.gov.tr/upload/IDB/FTAsCompatibilityMode.pdf
3http://www.oib.gov.tr/program/uygulamalar/privatization_in_turkey.htm