Negara Khilafah merupakan bagian tak terpisahkan dari syariah Islam; sama seperti shalat, zakat, puasa dan hukum Islam yang lain. Keberadaannya ditetapkan sebagai metode syar’i untuk menerapkan ajaran Islam secara kâffah dan menyebarkan dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Memberangus negara Khilafah (sekularisasi) tidak ada ubahnya dengan memberangus ajaran shalat, zakat dan puasa dari Islam.
Para ulama sepakat bahwa eksistensi Khilafah (Imamah) bagi kaum Muslim adalah wajib. Syaikh Wahbah al-Zuhaili di dalam Kitab Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu menyatakan, “Mayoritas ulama Islam (yakni Ahlus Sunnah, Murjiah, Syiah, dan Muktazilah selain sekelompok dari mereka dan Khawarij kecuali Najdat) berpendapat bahwa Imamah merupakan perkara wajib atau fardlu secara pasti.”
Penegasan ini antara lain dinyatakan oleh At-Taftazani Syarh al-‘Aqâ’id an-Nasafiyah; Al-Asy’ari, Maqâlât al-Islâmiyyîn wa Ikhtilâf al-Mushallîn; Syaikh ad-Dahlawi, Hujjat al-AlLâh al-Bâlighah, Al-Khathib al-Baghdhadi, Ushûl ad-Dîn; Al-Mawardi, Al-Ahkâm as-Sulthâniyyah.
Ibnu Hazm berkata, “Seluruh ulama Ahlus Sunnah, seluruh Murjiah, seluruh Syiah dan seluruh Khawarij sepakat atas kewajiban Imamah (Khilafah); sepakat atas kewajiban umat wajib mengikuti imam adil yang menerapkan hukum-hukum Allah di tengah-tengah mereka dan mengatur urusan mereka dengan hukum-hukum syariah yang datang dari Rasulullah saw.—kecuali kelompok Najdat.”
Keberadaan negara Khilafah sebagai perkara fardhu dan urgen bagi kaum Muslim juga ditunjukkan oleh perilaku Sahabat, Tabi’ûn dan generasi berikutnya. Dalam konteks historis, kaum Muslim pernah diperintah oleh 104 khalifah. Mereka adalah: 5 khalifah dari Khulafaur Rasyidin; 14 khalifah dari Dinasti Umayah; 18 khalifah dari Dinasti ‘Abbasiyah; diikuti dari Bani Buwaih 8 orang khalifah; dari Bani Seljuk 11 orang khalifah, dari sini pusat pemerintahan dipindahkan ke Kairo, yang kemudian dilanjutkan oleh 18 orang khalifah. Setelah itu khilafah berpindah kepada Bani ‘Utsman. Dari Bani ini terdapat 30 orang khalifah dari para khalifah ‘Utsmaniyyah (Majalah Al-Khilafah al-Islaamiyyah, Ed.1, Sya’ban 1315 H/1995, lihat hlm. 6 dan seterusnya). Khalifah terakhir adalah ‘Abdul Majid II (tahun 1340-1342 H/1922-1924 M).
Namun, sejak tahun 1924 hingga sekarang, keberadaan Khilafah telah lenyap dari kehidupan kaum Muslim akibat makar orang-orang kafir. Akibatnya, urusan mereka tidak lagi diatur dengan hukum syariah. Syariah Islam diberangus dari kehidupan negara dan masyarakat oleh para penguasa sekular, lalu diganti dengan hukum-hukum kufur buatan manusia. Akidah Islam tidak lagi dijadikan asas penyelenggaraan urusan negara dan masyarakat, lalu diganti dengan ideologi kufur. Kejahatan penguasa sekular tidak terhenti di situ. Mereka juga menjejalkan kepada anak-anak kaum Muslim paham demokrasi, sekularisme dan liberalisme untuk menghancurkan keterikatan kaum Muslim dengan akidah dan syariah Islam, sekaligus mencegah setiap upaya yang ditujukan untuk mengembalikan syariah dan negara Khilafah dalam kehidupan umat Islam.
Paparan di atas menjelaskan bahwa gagasan pemisahan agama dari negara (sekularisme) dalam semua bentuk dan variannya, radikal maupun moderat, merupakan gagasan kufur yang jelas-jelas bertentangan dengan akidah dan syariah Islam.
Khilafah Mengatur Urusan Rakyat dengan Syariah
Fungsi asasi sebuah negara adalah mengatur urusan rakyat dengan aturan tertentu demi mewujudkan kepentingan kolektif. Dengan kata lain, negara adalah institusi politik yang menerapkan aturan di dalam lokalitas tertentu. Negara berkuasa dan berwenang memaksa setiap warga negara untuk mematuhi hukum yang diberlakukan. Negara akan memberikan sanksi kepada siapa saja yang melanggar hukum yang berlaku agar fungsi negara dan masyarakat berjalan dengan baik. Tentu karena keteraturan masyarakat dan kelangsungan pemerintahan di suatu negara hanya terwujud secara sempurna ketika di sana ada kepatuhan rakyat terhadap hukum, juga ada aparat yang memiliki kemampuan “memaksa” warga negaranya untuk selalu tunduk dan patuh kepada hukum.
Hanya saja, sistem pemerintahan dan aturan yang digunakan untuk mengatur urusan rakyat berbeda-beda, bergantung pada ideologi yang dianut oleh penyelenggara negara tersebut. Jika penyelenggara pemerintahan mengadopsi sosialisme-marxisme, sistem pemerintahannya bercorak sosialis-marxis, dan aturan yang diberlakukan adalah aturan sosialis. Jika penyelenggara pemerintahan mengadopsi kapitalisme-sekularisme-liberalisme, sistem pemerintahannya berbentuk demokrasi-sekular-liberal dan aturan yang diterapkan adalah aturan buatan wakil rakyat; agama ditempatkan sebatas urusan privat belaka.
Adapun Khilafah adalah institusi politik syar’i yang tegak di atas asas akidah Islam. Khilafah mengatur seluruh urusan rakyat dengan syariah Islam. Syariah Islam adalah konstitusi sekaligus undang-undang negara yang diterapkan di seluruh wilayah negara Khilafah. Setiap warga negara, apapun bahasa, agama, ras, warna kulit, dan keyakinannya wajib tunduk dan patuh pada syariah Islam. Khalifah, sebagai kepala negara Khilafah, atau orang yang diberi kewenangan oleh Khalifah, berhak memberikan sanksi kepada warga negara yang melanggar syariah Islam. Jika kafir dzimmi, baik ahlul kitab maupun musyrik, melakukan pembunuhan secara sengaja, dijatuhi hukum qishâsh bila keluarga korban tidak memaafkan, dan dikenai diyat jika keluarga korban memaafkan. Demikian juga pelaku zina; ia dijatuhi sanksi rajam jika muhshan dan dicambuk jika ghayru muhshan. Siapa saja yang menjual makanan pada bulan suci Ramadhan bisa dikenai hukuman ta’zir atau diyat jika Khalifah menetapkan larangan menjual makanan pada bulan suci Ramadhan.
Ringkasnya, di dalam sistem Khilafah, seluruh urusan rakyat diatur dengan syariah Islam, tanpa memandang lagi ras, warna kulit, agama dan keyakinan mereka.
Dari sini dapat dipahami bahwa Khilafah berhak memaksa warga negaranya untuk tunduk dan patuh pada konstitusi dan perundang-undangan syariah. Namun, Khilafah dilarang memaksa orang-orang kafir masuk ke dalam agama Islam. Khilafah juga tidak melarang kaum kafir untuk beribadah sesuai dengan agama dan keyakinannya. Khilafah juga tidak membebani kaum kafir untuk melaksanakan syariah Islam yang dalam pelaksanaannya mensyaratkan keimanan dan keislaman seperti shalat, puasa, zakat, dan lain-lain.
Di luar itu Khilafah akan memberlakukan syariah Islam kepada setiap warga negaranya tanpa memandang agama dan keyakinan warga negaranya.
Di sepanjang lintasan sejarahnya yang panjang, Khilafah Islam dengan syariahnya mampu menciptakan keadilan dan kesejahteraan global; sanggup mengelola kekayaan pluralitas hingga perbedaan agama dan keyakinan tidak menjatuhkan pemeluknya ke dalam konflik dan permusuhan. Tatkala Spanyol berada di bawah kekuasaan Islam, pemeluk tiga agama besar—Yahudi, Nasrani dan Islam—bisa hidup berdampingan dan saling menghormati.
Sebaliknya, ketika penguasa Nasrani menguasai Spanyol, pemeluk agama Yahudi dan Islam dipaksa masuk ke dalam Kristen. Siapa saja yang menolak masuk ke dalam agama Kristen, diusir dari Spanyol atau dihukum mati.
Keberhasilan Khilafah menciptakan keadilan dan kesejahteraan, juga kemampuannya mengelola keragaman yang ada di wilayahnya dengan syariah Islam, menunjukkan bahwa propaganda miring kelompok sekular bahwa “penerapan doktrin agama Islam dalam ranah negara dan masyarakat akan menimbulkan chaos” terbantahkan secara sempurna. Sebaliknya, sekularisme yang menjadi penopang sistem dunia saat ini nyata-nyata menjerumuskan manusia ke lembah penderitaan dan kerusakan.
Makna Lâ Ikrâha fî ad-Dîn
Al-Quran Surat al-Baqarah (2) ayat 256 acapkali dijadikan dalih untuk membenarkan anggapan bahwa negara tidak boleh memaksakan doktrin agama (syariah Islam) kepada warga negaranya. Benarkah anggapan tersebut? Lalu apa makna hakiki yang terkandung di dalam ayat itu? Allah SWT berfirman:
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat. Karena itu siapa saja yang mengingkari thâghût dan mengimani Allah sesungguhnya telah berpegang pada tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui (QS al-Baqarah [2]: 256).
Ayat ini hanya berbicara pada konteks “tidak ada pemaksaan bagi orang kafir untuk masuk ke Islam”. Tentu karena telah tampak kebenaran Islam melalui hujjah dan dalil yang nyata. Ayat ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa Islam membenarkan keyakinan dan agama selain Islam. Ayat ini justru menjelaskan kebatilan paham, keyakinan dan agama selain Islam (thâghût), serta perintah untuk mengingkari thâghût dan mengimani Allah SWT. Namun, walau kebenaran ada di dalam agama Islam, kaum Muslim tidak boleh memaksa penganut agama lain untuk masuk ke dalam Islam.
Imam al-Qurthubi, di dalam Kitab Al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, menyatakan bahwa yang dimaksud dengan ad-dîn pada ayat di atas adalah al–mu’taqad wa al-millah (keyakinan dan agama). Kandungan isi ayat ini, seperti yang dituturkan oleh Imam Ibnu Katsir dalam Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, adalah: seorang Muslim tidak boleh memaksa orang kafir untuk masuk Islam karena kebenaran Islam telah terbukti berdasarkan hujjah yang nyata. Karena itu tidak perlu lagi memaksa para penganut agama lain untuk masuk Islam.
Adapun dalam konteks pengaturan urusan rakyat, Khilafah memiliki kewenangan memaksa seluruh warga negaranya untuk tunduk dan patuh pada syariah Islam. Tentu karena Khilafah bertugas mengatur urusan rakyat hanya dengan syariah Islam. Bahkan Khalifah dilarang mengatur urusan masyarakat dengan aturan selain syariah Islam (Lihat: QS al-Maidah [5]: 49-50).
WalLâhu al-Musta’ân wa Huwa Waliyyu at-Tawfîq. [Fathiy Syamsuddin Ramadhan An-Nawiy]